Sejarah Sertifikasi Halal di Indonesia, Awalnya Menandai Produk Babi

Sejumlah masyarakat menanggapi beragam soal logo halal Indonesia yang baru saja dirilis Kementerian Agama (Kemenag).

Di media sosial, warganet ramai menyebut logo Halal Indonesia tersebut terkesan terlalu memaksakan Jawa sentris karena berbentuk seperti gunungan wayang. “Jawa sentris tidak mewakili Indonesia secara keseluruhan,” tulis pemilik akun, mengomentari twit warganet lain yang mengunggah foto label Halal Indonesia.

Di sisi lain, ada juga warganet yang menuliskan komentar bahwa label Halal Indonesia berbentuk menyerupai gunungan wayang. “Lambang wayang,” demikian tulis komentar warganet.

Lantas, bagaimana sejarah awal sertifikasi halal di Indonesia? Sejarah awal label halal Dilansir dari bi.go.id, sertifikasi halal di Indonesia tidak lahir tiba-tiba. Perjalanan sejarahnya dimulai dari labelisasi produk non-halal oleh Departemen Kesehatan pada 1976.

Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah saat itu tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 280 tanggal 10 November 1976 tentang Ketentuan Peredaran dan Penandaan pada Makanan yang Mengandung Bahan Berasal dari Babi.

Surat Keputusan yang ditandatangani Menteri Kesehatan saat itu, Prof Dr GA Siwabessy, mengharuskan semua makanan dan minuman yang mengandung unsur babi ditempeli label bertuliskan “mengandung babi”. Selain itu juga diberi gambar seekor babi utuh berwarna merah di atas dasar putih.

Berdirinya LPPOM MUI Kewenangan sertifikasi produk halal kemudian dilakukan oleh Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI).

Dilansir dari halalmui.org, LPPOM MUI didirikan pada 6 Januari 1989 untuk melakukan pemeriksaan dan sertifikasi halal. LPPOM MUI dibentuk setelah kasus lemak babi di Indonesia yang meresahkan masyarakat pada 1988. Pemerintah/negara meminta MUI berperan aktif dalam meredakan kasus tersebut, dan berdirilah LPPOM.

Nota kesepakatan Untuk memperkuat posisi LPPOM MUI dalam menjalankan fungsi sertifikasi halal, maka pada 1996 ditandatangani nota kesepakatan kerja sama antara Departemen Agama, Departemen Kesehatan, dan MUI. Nota kesepakatan tersebut kemudian disusul dengan penerbitan Keputusan Menteri Agama (KMA) 518 Tahun 2001 dan KMA 519 Tahun 2001. Hal itu menguatkan MUI sebagai lembaga sertifikasi halal serta melakukan pemeriksaan/audit, penetapan fatwa, dan menerbitkan sertifikat halal.

Sertifikasi halal beralih ke Kemenag Kewenangan sertifikasi produk halal yang sebelumnya dilakukan LPPOM MUI, kemudian diambil alih oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kemenag. Dilansir dari kemenag.go.id, sejak 17 Oktober 2019, penyelenggaraan sertifikasi halal di Indonesia menjadi kewenangan BPJPH.

Hal itu sejalan dengan amanat Pasal 72 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal. Sehingga, sejak 17 Oktober 2019, perusahaan dari dalam negeri maupun luar negeri yang akan mengajukan pendaftaran perdana atau perpanjangan sertifikasi halal ke Indonesia harus melalui BPJPH.

Sementara itu, perusahaan, baik dalam maupun luar negeri, yang mengajukan sertifikasi halal ke MUI sebelum 17 Oktober 2019, masih dibenarkan sesuai regulasi. Namun, jika masa berlaku sertifikat halalnya akan berakhir atau sudah kedaluarsa, maka proses perpanjangannya wajib melalui BPJPH.

Sumber: Kompas.com

Berita Terkait

Berita Terkini

Google ads