KUSTA DAN KESADARAN SOSIAL DI ACEH: PERJUANGAN MELAWAN STIGMA DAN KESEMPATAN YANG SAMA

0
85

Kusta atau Lepra adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae (M. leprae). Penyakit ini dapat menyebabkan disabilitas bagi pasien kusta karena menyerang jaringan kulit, sistem saraf perifer dan saluran pernapasan.

Penyebaran dan penularan penyakit kusta dapat terjadi melalui percikan cairan dari saluran pernapasan (droplet) yang terhirup selama kontak dekat dan sering dengan penderita yang belum diobati.

Bakteri Mycobacterium leprae yang telah berinang dalam tubuh manusia memerlukan waktu 6 bulan hingga 40 tahun untuk berkembang, dan hal ini tergantung imun tubuh pasien. Tanda umum yang dijumpai yaitu munculnya ciri khas kehilangan sensasi rasa atau mati rasa penurunan fungsi indera peraba, kelemahan pada area otot dan sendi.

Berdasarkan jenis diketahui ada dua jenis kusta yaitu kusta kering (PB:Pausi Basiler/kuman sedikit) yang ditandai dengan satu atau lebih bintik datar dan tipis, area kulit yang terkena menjadi lumpuh karena kerusakan saraf di bawahnya. Kusta basah (MB: MultiBasiler/kuman banyak), ditandai ruam atau lesi tersebar simetris membentuk benjolan kulit dan diikuti mati rasa, otot terasa lemas.

Pada tahun 1981 Terapi Multidrug (MDT) menjadi pengobatan yang direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia, WHO kepada pasien kusta karena dapat mematikan patogen dan menyembuhkan pasien kusta. Rejimen MDT yang direkomendasikan yaitu dapson, rifampisin dan klofazimin. Pengobatan ini berlangsung selama enam bulan untuk pausi basiler dan 12 bulan untuk kasus multi basiler.

Dalam sejarah modern, kusta disebut juga sebagai penyakit Hansen karena Mycobacterium leprae ditemukan oleh G.A. Hansen (1873). Dalam literatur peninggalan peradaban kuno (sumber WHO), kusta adalah penyakit yang telah ada sejak ribuan tahun lalu dan pandangan tentang kusta dikaitkan dengan kutukan atau balasan atas perbuatan buruk.

Secara global, kusta masih menjadi isu kesehatan dan Indonesia menjadi negara urutan ke-3 dengan kasus kusta terbanyak di dunia. Terhitung hingga tahun 2022, jumlah kasus kusta mencapai 13.487 kasus. Namun, itu masih bisa bertambah seiring kasus yang tidak dilaporkan.

“Penyakit kusta masih menjadi permasalahan yang kompleks, dari 38 Provinsi di Indonesia masih terdapat 7 Provinsi yang belum mencapai eliminasi nasional” kata dr. Sri Linuwih Susetyo Wardhani Menaldi, S.p. KK(K), FINSDV, FAADV, dikutip dari Channel Youtube Katamataku Universitas Indonesia saat menjadi narasumber kuliah umum edukasi penyakit kusta yang digelar secara daring, Rabu (1/09/2023).

Senada dengan Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Imran Pambudi, seperti dikutip dari VOA Indonesia, menyebutkan asih ada 11 Kabupaten/Kota di tanah air yang belum terjadi eliminasi kusta. Temuan terbanyak ada di wilayah timur yakni Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Utara, Gorontalo dan Sulawesi Barat.” kata Imran Pambudi.

Di Aceh, pada akhir tahun 2021 sampai awal 2022 jumlah pasien kusta yang terdaftar sebanyak 260 orang (0,47/10.000) dari 23 Kabupaten/Kota, data tersebut berdasarkan laporan validasi data kusta tahun 2021 dari Kementerian Kesehatan RI.

Namun, diduga masih ada yang tidak terdaftar karena pasien kusta enggan berobat dengan alasan kekhawatiran dianggap (stigma) sebagai pasien kusta yang berbahaya hingga diasingkan secara sosial oleh masyarakat.

Dokter Spesialis Penyakit Kulit dan Kelamin (Dermatovenereology) Rumah Sakit Zainal Abidin (RSZA) Banda Aceh, dr. Sulamsih Sri Budini. Sp.d.V.E, FINSDV mengatakan pasien kusta khawatir akan dikucilkan jika Masyarakat tahu tentang penyakit yang dideritanya.

“Selama ini, mengapa pasien kusta berobat kemari (RSZA) karena di Puskesmas ada yang dikenal dan khawatir satu gampong (Desa) mengetahui kondisinya sehingga ia akan dikucilkan dalam lingkungannya, padahal setiap Puskesmas sudah ada program pengobatan kusta” jelas dr. Sulamsih.

Anggapan atau stigma yang salah tentang penyakit kusta beredar di tengah masyarakat dan diyakini kebenarannya oleh sebagian besar masyarakat bahwa tak hanya pasien kusta, mereka Orang Yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK) atau penyandang disabilitas akibat kusta pun masih dapat menularkan bakteri Mycobacterium Leprae sehingga masyarakat yang takut tidak mau berinteraksi.

“Pasien kusta masih mendapatkan stigma negatif dan diskriminatif. Padahal, seharusnya tindakan ini tidak perlu dilakukan karena pasien kusta sama seperti dengan pasien lainnya dan kusta dapat disembuhkan” jelas dr. Sulamsih.

Ia meyayangkan stigma negatif yang masih melekat sebagai penyakit buruk dan harus dijauhi, karena faktanya qpenyakit kusta bisa disembuhkan dan dicegah sedini mungkin.

Catatan WHO tentang kusta menyebutkan bahwa sepanjang sejarah ratusan tahun lalu pasien kusta juga dikucilkan oleh masyarakat dan keluarga mereka, tak berbeda jauh dengan masa sekarang pengucilan disebabkan karena kurangnya pengetahuan dan kepercayaan yang keliru terhadap pasien kusta dan gejala yang terjadi.

Laporan penelitian tentang kusta menuliskan bahwa pasien kusta merasa sedih dan kecewa pada diri sendiri saat mendapatkan diagnosa kusta, perasaan sedih dan kecewa tersebut merupakan respon terhadap harga diri rendah yang sedang dialami yang ditunjukkan dengan sikap putus asa, menarik diri dan kesedihan yang mendalam.

Stigma dan diskriminasi sosial yang dirasakan oleh pasien kusta membuat mereka terasing secara sosial dan imbas yang dirasakan dapat melebihi gejala fisik yang disebabkan oleh penyakit kusta itu sendiri. 

Meluruskan pemahaman keliru tentang kusta, “Melawan Stigma” menjadi kampanye yang disuarakan secara masif seperti yang dilakukan oleh NLR Indonesia, lembaga nonprofit yang bekerja untuk penanggulangan kusta dan inklusi disabilitas.

Melalui Project Suara Untuk Indonesia Bebas Kusta (SUKA) mengintervensi masyarakat dan aktor-aktor penggerak perubahan untuk bersama-sama mengedukasi dan melakukan berbagai gerakan inovatif untuk mengikis stigma kusta.

Disamping itu, Indonesia juga memiliki target mencapai eliminasi pada tahun 2030 dengan menekankan konsep Three Zero Leprosy. dr. Sri Linuwih mengatakan, “Eliminasi yang dimaksud adalah pengurangan kasus kusta kurang dari 1/10.000 penduduk. Dengan cara terintegrasi, kita bisa mendapatkan atau mencapai eliminasi ini. Kita ingin zero transmission, zero disability, zero stigma & discrimination.” Seru dr. Sri Linuwih.

Artikel ini adalah bagian dari Fellowship “Indonesia Bebas Kusta” NLR Indonesia – KBR