Wacana Kembalinya Bank Konvensional, Pengusaha: Tinggal Masyarakat Pilih Mana yang Nyaman

Wacana revisi Qanun Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dengan kemungkinan kembalinya bank konvensional di Aceh mencuat kembali akibat belum maksimalnya layanan bank syariah. Redaksi menerbitkan seri wawancara eksklusif dengan sejumlah narasumber penting. Ini merupakan seri ketiga dari 10 seri wawancara.

Rencana DPR Aceh untuk merevisi Qanun Nomor 11 tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah dengan kemungkinan kembalinya bank konvensional di Aceh di sambut baik sejumlah kalangan masyarakat dan pengusaha.

Kebijakan tersebut dinilai tepat untuk memberikan pilihan lain dan mengantisipasi kemungkinan terjadinya kemacetan transaksi seperti pada BSI yang telah mengganggu sektor usaha.
Pengusaha SPBU sekaligus Ketua Hiswana Migas Aceh, Nahrawi Noerdin mengatakan sangat merasakan dampak terganggunya layanan transaski BSI. Dia kecewa karena tidak bisa melakukan penebusan ke Pertamina.

Baginya tidak masalah apapun jenis bank yang beroperasi di Aceh selama tidak merugikan masyarakat, terutama pelaku usaha. Namun, menurutnya alangkah lebih baik jika masyarakat diberi pilihan untuk menggunakan transaksi bank sesuai keinginan sendiri dengan menyediakan jenis pilihan bank lainnya.

Oleh karena itu, dia mendukung revisi Qanun LKS untuk menumbuhkan persaingan bisnis sehat dan kompetitif untuk kemajuan perekonomian yang pada akhirnya akan menguntungkan masyarakat Aceh.

Berikut wawancara lengkap jurnalis anterokini.com dengan Nahrawi Noerdin.

Apa dampak terhadap bisnis Anda sejak adanya kemacetan transaksi di Bank BSI ?

Kalau kemacetannya berpotensi sangat dirugikan karena kami melakukan penebusan hanya di BSI saja yang ada sistem Host to Host. Jadi, memang sangat terasa bagi kami apalagi kami perpanjangan tangan untuk mendistribusikan energi di provinsi Aceh.

Bagaimana kondisi terakhir distribusi BBM di sejumlah SPBU akibat kegagalan transaksi dengan menggunakan layanan bank BSI? Bagaimana update rencana tuntutan kerugian dari BSI ?

Kalau biasanya kami menebus melalui BSI, setelah menyetor dananya langsung keluar namanya sales order di sistem. Kalau tidak kita setor dana maka sales order tidak keluar. Tentu BBM tidak tersedia di SPBU.

Nah, disaat itu terjadi Pertamina turun tangan mengambil alih. Lahirlah kebijakan diberikan skema kredit langsung ke pengusaha. Inilah yang menjadi solusi dalam keadaan urgent, diberikan kredit. Artinya kredit, disediakan pasokan tanpa bayar dulu. Bayar menyusul. Seharusnya BBM ini ditebus dulu satu hari sebelumnya, besok baru dibawa produknya.

Tuntutan untuk BSI sedang kita data kerugiannya seperti apa? Kan perlu proses. Semuanya kita mengambil angka-angka kerugiannya. Kalau memang ada yang dirugikan, nanti kita somasi BSI. Ini butuh waktu karena kita mendata -umumnya Hiswana Migas ini anggotanya di seluruh kabupaten kota- tentu perlu proses waktu. Berapa hari? Belum tahu saya. Nanti kalau sudah terkumpul data kita update lagi.

Selama ini apa saja kesulitan yang Anda alami akibat hanya ada perbankan syariah di Aceh?

Saya rasa begini, mau bank syariah, mau bank konvensional, bagi kami pelaku ini kalau tidak ada dampak yang merugikan pihak pelaku ya welcome saja, silahkan. Kita tidak melarang. Bank syariah, silakan. Konvensional, silakan.

Kalau banyak pilihan alternatifnya tentu persaingannya kan sehat. Artinya, ada beberapa bank bersaing di Aceh, di dalam kapasitas rate-nya selalu kompetitif, yang diuntungkan adalah masyarakat. Masyarakat terlepas dari pengusaha. Berlomba rate-nya. Ada yang memberi katanya bagi hasil 10%, 14%, 9%. Itu bagi hasilnya. Kompetisi yang menguntungkan masyarakat.

Kalau begini, hanya mengandalkan satu bank, sangat dirugikan Aceh ini.

Apa pandangan Anda terhadap rencana revisi Qanun Lembaga Keuangan Syariah?

Saya rasa untuk kemajuan Aceh, ini kita buka selebar-lebarnya. Mau syariah, wellcome. Syariah kan memang mulia, dianjurkan. Namun, ya betul-betul. Jangan cuma mengatakan syariah saja, tapi implementasinya tidak syariah. Memang harus betul-betul kita kawal dari hulu sampai hilir masalah ini. Itu kan butuh proses. Tidak seketika seperti membalik telapak tangan.

Kalau untuk kemajuan Aceh, wellcome. Itu tidak masalah. Kan sudah ada tanggungan dari pemerintah hal-hal yang menyangkut dengan agama ini.

Selama ini bagaimana Anda melihat pelayanan atau bagaimana bank syariah di Aceh ini beroperasi?

Ya, karena memang bank BSI adalah satu-satunya maka kita patokan hanya di BSI. Ini sangat dirugikan kalau hanya satu bank. Maunya kan ada syariah lain. Seperti skema dulu. Kalau BRI maka BRI syariah namanya BRIS. Kalau BNI Syariah, namanya BNIS. Kalau Mandiri, namanya BSM. Kan lebih kooperatif.

Bank ini yang menggunakan masyarakat, dunia bisnis. Masing-masing kan berhak memilih. Tidak boleh ditentukan. Undang-undang mengatakan tidak boleh monopoli. Nah, seperti apa kalau monopoli? Inilah yang terjadi. Efeknya masyarakat yang rasakan.

Hal apa saja yang mesti diperbaiki dari Qanun Lembaga Keuangan Syariah tersebut?

Kalau masalah qanun itu saya kurang paham. Kami pengguna. Pengguna itu simple: saling menguntungkan, jangan saling merugikan. Kalau teknis qanun itu kita tidak ada urusan dengan hal-hal seperti itu. Pokoknya masalah qanun itu yang punya kapasitas: legislatif dan eksekutif. Hari ini saling mengisi, saling menguntungkan sehingga ekonomi Aceh tumbuh. Kalau konsep merugikan, ya sudah, kami tidak usah jadi pengusaha lagi.

Anda sudah bertemu ketua DPRA, hal apa saja yg dibicarakan?

Ya, dibicarakan untuk kemajuan Aceh. Kita kan harus memberi masukan yang terbaik untuk ekonomi Aceh. Tidak ada dalam konteks ini mencederai si A, B, C. Tidak ada. Kita berbicara kemajuan Aceh. Ekonomi ini harus tumbuh.

Apakah Anda optimis bank konvensional akan dapat kembali di Aceh?

Keputusan terakhir, kalau memang untuk kemajuan Aceh kita buka selebar-lebarnya. Ini demi kemajuan. Tinggal masyarakat memilih yang mana nyaman dari sisi pelayanan dan dari banyak aspek-aspek pelayanan. Itu yang menguntungan. Kalau memang satu bank, itu agak susah.

Ini dalam undang-undang sudah dikatakan tidak boleh monopoli. Ini memang sudah saatnya era globalisasi. Mana bisa dibuat tersendat, tersumbat lagi. Jaman namanya demokrasi, mana bisa ditahan-tahan lagi. (Lia Dali)

Berita Terkait

Berita Terkini

Google ads