Wacana Kembalinya Bank Konvensional, Ketua DSA: Jangan Jual Agama Karena Ekonomi

Wacana revisi Qanun Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dengan kemungkinan kembalinya bank konvensional di Aceh mencuat kembali akibat belum maksimalnya layanan bank syariah. Redaksi menerbitkan seri wawancara eksklusif dengan sejumlah narasumber penting. Ini merupakan seri pertama dari 10 seri wawancara.

Awal pekan ini, masyarakat Aceh mengeluhkan gangguan layanan transaksi Bank Syariah Indonesia (BSI), baik via Anjungan Tunai Mandiri (ATM) maupun melalui mobile banking. Gangguan tersebut telah berdampak buruk terhadap dunia usaha di Aceh sehingga memicu protes dari banyak kalangan terutama dari pelaku usaha.

Sejak diberlakukannya Qanun No. 11 Tahun 2008, masyarakat Aceh tidak memiliki pilihan selain menggunakan BSI untuk melakukan transaksi keuangan. Qanun No. 11 Tahun 2008 tentang Lembaga Keuangan Syariah (Qanun LKS) mengamanatkan semua lembaga keuangan yang berada di Aceh harus beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Artinya, lembaga-lembaga keuangan konvensional yang berbasis atau mengandung unsur riba tidak boleh ada di Aceh. Sistem syariah menjadi satu-satunya pilihan bagi masyarakat Aceh.

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Saiful Bahri, mengatakan pihaknya banyak menerima keluhan masyarakat terkait hal tersebut dan mendesak pemerintah mengevaluasi Qanun LKS. Dia menilai Qanun LKS harus ditinjau ulang atau direvisi sehingga memungkinkan bank konvensional kembali beroperasi di Aceh dan memberi alternatif transaksi lain untuk masyarakat.

Rencana merevisi kembali Qanun LKS mendapat tanggapan dari Ketua Dewan Syariah Aceh (DSA) Prof. Dr. M. Shabri Abdul Madjid, SE., M.Ec. Dia tidak sependapat jika bank konvensional kembali hadir di Aceh. Menurutnya Qanun LKS adalah keinginan masyarakat Aceh untuk dapat melepaskan diri dari praktik-praktik ribawi dengan melaksanakan syariat Islam secara menyeluruh dalam perspektif ekonomi.

Berikut wawancara lengkap jurnalis anterokini.com dengan Prof. Dr. M. Shabri Abdul Madjid, SE., M.Ec.

Apa tanggapan Anda atas rencana revisi Qanun Lembaga Keuangan Syariah?

Terkait rencana revisi mungkin perlu dijelaskan terlebih dahulu yang mau direvisi apa? Yang mencuat revisinya itu kalau saya tidak keliru mungkin pasal 4 atau pasal 5. Artinya, di Aceh nanti bisa masuk kembali lembaga keuangan konvensional. Nah, kalau memang itu yang ingin direvisi maka ini sudah bertentangan dengan keinginan lama masyarakat Aceh, cita-cita masyarakat Aceh.

Kelahiran Qanun LKS ini sebenarnya untuk memberi kesempatan seluas-luasnya bagi masyarakat Aceh melaksanakan syariat Islam dalam perspektif ekonomi. Artinya, membebaskan Aceh dari riba. Nah, kalau kita kembali mengundang bank konvensional artinya kembali membiarkan lembaga ribawi itu ada di Aceh.

Kalau gara-gara error sistem yang ada di bank syariah, mengapa larinya harus ke revisi qanun? Seharusnya adalah penguatan lembaga keuangan syariah itu sendiri. Kalau kita lihat UUPA, Undang-Undang Tentang Pokok-Pokok Syariat Islam, fatwa MPU dan sebagainya, memang sudah puluhan tahun ini menjadi cita-cita masyarakat Aceh melaksanakan transaksi sesuai dengan syariat. Mengapa setelah ini sudah berhasil diundangkan -baru berjalan satu tahun lebih, satu tahun beberapa bulan- mengapa begitu cepat untuk merevisinya? Kalau revisi untuk penguatan lembaga keuangan syariah ya silakan, tidak apa-apa, tapi bukan melemahkan pelaksanaan syariat Islam.

Saya melihat ini satu kemunduran besar dalam pelaksanaan syariat Islam di Aceh khususnya ekonomi syariah. Provinsi Aceh berbeda dengan provinsi lain. Kita punya kewenangan untuk melaksanakan syariat Islam.

Apakah Dewan Syariah Aceh sudah melakukan kajian dan pengawasan atas pelaksanaan Qanun LKS? Apa saja pelanggaran Qanun yang dilakukan Lembaga Keuangan Syariah?

Tugas Dewan Syariah sebenarnya memastikan operasional lembaga keuangan syariah ini dilaksanakan sesuai dengan syariat Islam yang mengacu pada fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Tidak fokus pada bagaimana pelayanan mereka dan sebagainya, tetapi kita hanya memastikan dari aspek-aspek operasional mereka itu sesuai dengan syariah. Di lembaga keuangan syariah termasuk di bank syariah ada Dewan Pengawas Syariah yang memastikan bahwa apa yang mereka lakukan sesuai dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia. Tidak ada pelanggaran yang mereka lakukan. Hanya kemarin digital BSI itu bermasalah, mengapa yang disalahkan qanun?

Kalau saya mengibaratkan begini, seseorang memelihara kucing dalam sebuah kerangkeng atau dalam sebuah kandang yang sudah didesain dengan baik dan nyaman. Tiba-tiba kucingnya sakit. Ketika kucingnya sakit, yang memelihara kucing itu membobol dan merubah kandangnya untuk memelihara anjing atau babi.

Harus kita pisahkan permasalahannya. Orientasinya kalau bicara tentang pelaksanaan syariat Islam maka praktik-praktik riba tidak terjadi di Aceh. Bukan dengan mengorbankan murah, mudah, dan sebagainya.

Nah, arah revisi qanun ini kemana? Kalau mau diarahkan ke penguatan lembaga keuangan syariah. Misalnya, 13 bank syariah yang ada di provinsi Aceh, katakanlah BSI jaringan mereka juga sudah luas di Aceh juga Bank Aceh. BCA Syariah, Mybank Syariah, Permata Syariah, termasuk CIMB Syariah. Mereka itu diharapkan juga untuk memperluas jaringan yang ada di Aceh sehingga ketika satu lembaga bermasalah dalam memberi pelayanan maka kita punya pilihan lain.

Kejadian error-nya mbanking BSI ini menjadi pelajaran penting bagi kita agar kita menjadi nasabah bukan hanya di satu lembaga perbankan syariah, bisa jadi beberapa. Ini juga mendorong masyarakat Aceh bersama-sama untuk menjadi nasabah Bank Aceh Syariah, untuk mendukung bank milik pemerintah Aceh menjadi lebih besar. Bukan dengan mengundang kembali bank konvensional karena itu berarti kita membiarkan praktek riba kembali terjadi di Aceh dan ini tentu sangat bertentangan dengan cita-cita masyarakat Aceh untuk membebaskan bumi Aceh dari riba.

Seorang muslim ketika melaksanakan apapun itu, dia harus melihat dalam konteks ibadah. Kalau kita bicara aktivitas ekonomi maka idealnya adalah bicara aktivitas muamalah yang merupakan bagian dari pelaksanaan syariat Islam.

Dalam pasal 14 ayat 4 disebutkan rasio pembiayaan untuk UMKM minimal 40 persen pada tahun 2022, sementara data Bank Indonesia hanya tercapai 23 persen, bukankah ini pelanggaran? Lalu apa sanksinya?

Coba dilihat, target 40 persen itu tahun berapa? Bukan langsung 40 persen. Ada tahapan. Saya tidak begitu pasti, sepertinya itu 2024 harus 40 persen. Kita melihat pencapaian ini, apakah masing-masing rata-rata bank, secara keseluruhan atau individu? Artinya, lembaga keuangan syariah harus berpihak pada UMKM. Berpihak pada pembiayaan yang berbasis bagi hasil. Padahal pembiayaan untuk UMKM kalau kita lihat peraturan pemerintah, itu hanya sekitar 20%, sedangkan di Aceh harus sampai 40%.

Maka kita bisa melihat, misalnya BSI mereka hampir mencapai apa yang diinginkan oleh UMKM. Memang ada lembaga-lembaga perbankan syariah yang belum. Kalaupun ini belum sepenuhnya bisa direalisasi, apakah kita akan kembali mengundang bank konvensional? Masalah lain kok solusinya lain. Jadi ini gak nyambung. Sehingga orang bisa melihat, dibalik keinginan untuk mengundang kembali bank konvensional, ini sebenarnya ada agenda yang memang secara sistematis dilakukan. Sejak qanun ini diundangkan, agenda-agenda ini memang direncanakan secara sistematis sehingga pelaksanaan ekonomi syariah di Aceh ini bisa gagal.

Orang juga bertanya, “Mengapa BSI yang diserang? Mengapa tidak bank-bank lain?” Orang menganggap sengaja memang kondisi ini untuk membuat masyarakat Aceh menghadapi permasalahan sehingga masyarakat menjadi tidak sabar, sehingga dengan mudah dia mengatakan, “Ayok kembali ke bank konvensional.”

Padahal menghadirkan kembali bank konvensional ini sebenarnya sangat bertolak belakang dengan keinginan masyarakat Aceh untuk melaksanakan syariat Islam sepenuhnya.

Jika mayoritas pengusaha dan masyarakat Aceh menghendaki Qanun direvisi, mengapa Anda tidak setuju? Dalam kapasitas apa?

Hadir qanun itu untuk apa sebenarnya? Untuk membebaskan bumi Aceh dari praktek riba. Kita memahami bunga bank itu adalah riba dan dosanya sangat luar biasa. Kita harus melihat permasalahan ini dengan kacamata keimanan, bukan dengan kacamata ekonomi.

Kalau orang Islam, walaupun murah dan mudah, tapi itu haram maka tidak boleh. Tidak menjual nilai-nilai keagamaan karena faktor-faktor ekonomi. Kalau orang ingin melaksanakan syariat Islam secara menyeluruh, mengapa kita harus kembali menghadirkan lembaga-lembaga yang ada unsur riba didalamnya? Jadi, orientasinya apa? Orientasinya ingin melaksanakan aktivitas ekonomi sesuai dengan nilai-nilai keislaman atau melaksanakan aktivitas ekonomi yang murah, mudah, cepat, dan tanpa peduli apakah halal atau haram?

Apakah menurut Anda bank syariah di Indonesia sudah sesuai konsep bank Islam? 

Saya dari awal menyebutkan dan itu disebutkan dalam qanun bahwa ia sesuai dengan syariah kalau operasionalnya itu mengikuti fatwa DSN-MUI. Kita harus mengakui memang masih banyak kelemahan lembaga keuangan syariah. Banyak perbaikan yang harus dilakukan, tetapi kalau ketika kita memilih sesuatu itu sudah jelas-jelas haram ya harus kita tinggalkan. Kalau lembaga keuangan syariah belum sepenuhnya syariah, tapi usaha-usaha untuk itu dan bahkan ulama sudah memberi fatwa karena ulama yang punya wewenang untuk mengatakan syariah atau tidak syariah.

Untuk menilai kesyariahan itu, idealnya jangan dari sisi luar. Kita harus melihat secara substansi. Karena kalau kita melihat dari sisi luar, ya ayam haram dengan ayam halal sama saja. Kalau orang disuguhkan satu ayam disembelih secara Islam, satu ayam tidak disembelih secara Islam maka bentuknya sama saja. Orang melihat ya sama saja, tapi kan prosesnya berbeda. Akad yang digunakan berbeda.

Nah, mengapa qanun ingin direvisi? Kalau saya tidak sepakat. Tujuan revisinya apa? Kalau tujuan revisinya untuk kembali mengundang lembaga keuangan konvensional? Karena ada yang memahami bahwa praktek-praktek riba itu mendatangkan kemudaratan bagi masyarakat Aceh.

Allah menjanjikan, kalau suatu negeri masyarakatnya beriman dan bertakwa kepada Allah maka akan diberikan kemakmuran, tetapi sebaliknya kalau kemungkaran terjadi disebuah negeri maka bisa jadi negeri itu akan ditimpa dengan musibah dan sebagainya.

Saya merasa punya kewajiban untuk memperkuat pelaksanaan syariat Islam di Aceh bukan dengan mendatangkan kembali lembaga konvensional.

Di dunia ini hanya Iran yang menetapkan single banking system. Apakah anda melakukan kajian pelaksanaan single banking system di negara lain?

Ini terkait dengan kajian. Kita bisa melihat, negara Islam yang paling ditakuti oleh Amerika sekarang? Hanya negara Iran yang paling ditakuti oleh Amerika. Coba kita lihat, Irak bagaimana porak-poranda. Libya, negara-negara lain yang tunduk dengan mudah kepada Amerika, tapi sampai hari ini Iran adalah satu-satunya negara yang memiliki kekuatan luar biasa yang mungkin salah satunya karena ekonomi mereka juga kuat.

Kita bisa mengevaluasi, bagaimana kinerja ekonomi Aceh pasca implementasi qanun? Apakah lebih jelek atau bagaimana? Saya menanyakan hal ini kepada BI Perwakilan Aceh, kepada OJK Perwakilan Aceh. Tidak ada dampak buruk yang diberikan oleh qanun. Belum nampak dampak buruk.

Kinerja ekonomi Aceh sekarang yang bermasalah itu bukan karena qanun, tapi itu adalah warisan lama. Seperti diatur dalam qanun bahwa lembaga keuangan syariah berpihak pada UMKM sampai 40 persen pembiayaan bagi hasil, malah ia akan mampu memutuskan mata rantai problema persoalan-persoalan ekonomi yang ada di Aceh.

Cuma masalahnya begini. Ketika seseorang mengidap penyakit komplikasi, penyakitnya parah, ada batuk dan sebagainya. Sama juga seperti sebuah perekonomian, penyakitnya parah: miskin, banyak pengangguran, ketimpangan, dan sebagainya. Nah, orang yang sakit tadi baru minum obat satu hari, dia langsung bilang tidak ampuh. Kan perlu proses. Perlu waktu sebuah regulasi atau obat yang kita minum itu untuk bisa efektif. Mengapa kita tidak bersabar terlebh dahulu? Apakah perlu direvisi atau tidak? Karena kalau hanya satu tahun langsung direvisi ya efeknya itu belum nampak.

Orang juga bisa melihat, ini agak terlalu tergopoh-gopoh. Ini ada agenda tertentu. Masalahnya lain yang direvisi juga lain. Agak susah kita bisa memahami dengan akal yang sehat kalau kita memang masyarakat yang waras. Waras artinya masyarakat Aceh yang melihat problema pelaksanaan itu dengan menggunakan kacamata Islam atau kacamata keimanan.

Pasal berapa dalam Qanun LKS yang melarang operasional bank konvensional? Bukankah hanya menyebutkan kewajiban bank konvensional membuka unit syariah bukan menutup bank konvensional?

Coba dilihat kembali karena yang Anda tanyakan ini memang persoalan yang dulu dikritisi oleh Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) dan saya juga banyak merespon hal itu.

Kalau saya tidak keliru, pasal 5 disebutkan bahwa lembaga keuangan yang beroperasi di Aceh itu berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Ketika disebut berdasarkan prinsip-prinsip syariah artinya secara terstrukturnya harus punya lembaga keuangan syariah. Misalnya, BPJS Kesehatan, induknya kan di Jakarta. Jadi, kalau induknya di Jakarta maka tidak induknya yang harus diubah, tapi yang beroperasi di Aceh harus berubah syariah. Maka yang beroperasi di Aceh itu memang sudah ada unit layanan syariah.

Kalau Bank Aceh induknya di Aceh maka induknya yang harus syariah. Kalau bank-bank lain yang induknya belum syariah ingin membuka unit layanan syariah di Aceh, ya silakan. Tidak ada masalah.

Bukan bermakna bahwa bank konvensional yang ada di Aceh bisa beroperasi dengan catatan membuka unit layanan syariah di Aceh. Ada induknya konvensional, tapi anaknya syariah. Tidak demikian. Jadi, pemahamannya itu harus dilihat dalam konteks yang benar. (Lia Dali)

Berita Terkait

Berita Terkini

Google ads