“Masih Ada Budaya Memilih-milih Pekerjaan”

Badan Pusat Statistik (BPS) mengeluarkan data terbaru terkait profil kemiskinan di Aceh pada Jumat, 15 Juli 2022.

Dalam laporan itu tercatat, selama periode September 2021-Maret 2022, persentase penduduk miskin di Aceh turun dari 15,53 persen menjadi 14,64 persen atau turun sebesar 0,89 persen.

BPS mencatat jumlah penduduk miskin di Aceh pada Maret 2022 sebanyak 806,82 ribu jiwa, berkurang 43,40 ribu orang dibandingkan September 2021 yang mencapai 850,26 ribu jiwa. Namun demikian, Aceh masih menjadi provinsi termiskin di Sumatera.

Saiful Mahdi, dosen Statistika pada Universitas Syiah Kuala (USK) mengatakan pemerintah Aceh mestinya khawatir dengan kondisi ini. Menurutnya untuk memperbaiki keadaan tersebut, adalah dengan peningkatan produktivitas. Perlu adanya lapangan kerja produktif sehingga masyarakat mampu memperoleh penghasilan yang lebih tinggi.

Selain itu, lulusan Doctor of Philosophy pada Cornell University, New York, Amerika Serikat ini mengharapkan Pj Gubernur Aceh lebih fokus pada pengentasan kemiskinan, baik di level mikro maupun makro, memperbarui data kemiskinan mayarakat by name by address, dan memastikan perkembangan sektor-sektor riil di Aceh.

Saiful Mahdi, selain sebagai dosen juga merupakan Founding dan First Chair di Jurusan Statistika USK. Bidang minatnya meliputi Ekonometrika Terapan, Statistik Resmi, Statistik Sosial, Demografi, Metode Survei, dan metode kuantitatif untuk analisis kebijakan. Sangat tertarik dengan Total Quality Management (TQM) dan Statistical Process Control/Statistical Quality Control (SPC/SQC), baik untuk aplikasi industri maupun non-industri. Dia meraih gelar M.Sc dengan Beasiswa Fulbright dari University of Vermont Amerika Serikat, dan S.Si dari Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya.

Berikut wawancara lengkap jurnalis anterokini.com dengan Saiful Mahdi.

Variabel apa saja yang menjadi parameter BPS untuk mengukur kemiskinan?

Pertama yang mungkin sering tidak terkomunikasikan dengan khalayak adalah konteks kemiskinan secara mikro dan secara makro. Jadi, yang biasa kita dengar, publikasi, atau bicarakan -dan sepertinya ini yang sedang kita bicarakan- adalah tentang kemiskinan makro di mana secara persentase angka kemiskinan jumlah persentase penduduk miskin di Aceh masih tertinggi di Sumatera walaupun terjadi penurunan.

Ini adalah angka kemiskinan makro yang diukur dengan kebutuhan fisik minimum, baik makanan maupun non-makanan. Jadi, berbeda dengan konsep kemiskinan mikro yang dipakai oleh pemerintah untuk program targeting penurunan angka kemiskinan. Jadi, itu dulu yang harus kita pahami bersama.

Kalau untuk kemiskinan makro, ukurannya seperti yang saya katakan tadi, yaitu tingkat konsumsi masyarakat. Tentu saja karena Aceh secara umum biaya hidupnya lebih tinggi maka garis kemiskinannya biasanya lebih tinggi dari pada provinsi Sumatera Utara atau secara umum di seluruh Sumatera.

Mungkin untuk mudahnya begini, kalau garis kemiskinan di Aceh -saya lupa angka persisnya- katakanlah Rp500.000 per kapita per bulan. Itu artinya, semua orang yang tidak punya pengeluaran dari penghasilan yang Rp500.000 per bulan per orang itu maka dia masuk dalam kategori kelompok miskin atau seseorang memiliki penghasilan Rp495.000 per bulan di Aceh, itu masih masuk kategori orang miskin.

Sumatera Utara garis kemiskinannya itu lebih rendah dari Aceh, katakanlah Rp450.000. Seseorang yang pengeluaran konsumsinya Rp495.000 per bulan di Aceh masuk kategori orang miskin, sementara di Sumatera Utara dia tidak termasuk kelompok orang miskin.

Jika diukur dari kebutuhan konsumsi minimum berdasarkan kebutuhan fisik 2.500 kalori per orang maka seseorang yang miskin di Banda Aceh belum tentu masuk kategori orang miskin di Sumatera Utara.

Oleh karena itu, walaupun tentu saja ini tetap mengkhawatirkan -apalagi Aceh selalu heboh dengan kenyataan bahwa kita adalah wilayah dengan persentase kemiskinan tertinggi di Sumatera- sebenarnya, yang lebih perlu mendapatkan perhatian adalah kemiskinan di tingkat mikro yang diukur berdasarkan sejumlah variabel: tempat tinggal, fasilitas buang air besar, jenis atap rumah, belanja. Jadi, lebih konprehensif ukuran secara mikro.

Apa saja di antara variabel yang menjadi ukuran BPS tersebut yang dapat “diintervensi” melalui program pembangunan?

Kalau kemiskinan makro sangat dipengaruhi oleh, misalnya, inflasi atau secara umum seberapa mahal biaya hidup. Jika sebuah kota biaya hidupnya masih mahal maka angka kemiskinannya bisa jadi akan makin tinggi karena garis kemiskinannya juga lumayan tinggi. Nah, ini dipengaruhi oleh variabel-variabel ekonomi makro, contoh, mengapa Upah Minimum Provinsi (UMP) atau Upah Minimum Regional (UMR) kota Banda Aceh termasuk tinggi? Karena dipengaruhi oleh inflasi, yaitu keadaan ekonomi makro.

Jadi, untuk memperbaiki keadaan tersebut, solusinya adalah peningkatan produktivitas. Perlu adanya lapangan kerja produktif yang memungkinkan masyarakat untuk memperoleh penghasilan lebih tinggi. Itu kalau secara ekonomi makro.
Kalau secara ekonomi mikro, sebenarnya pemerintah kita sudah mempunyai daftar orang yang masuk kategori paling miskin, miskin, nyaris miskin atau rentan miskin. Sampai 40 persen penduduk dengan pendapatan terendah itu ada datanya, by name by address, pada setiap pemerintah provinsi dan kabupaten/kota.

Nah, saya pikir, target pemerintah selama ini adalah tetap bisa melakukan pengurangan angka kemiskinan dengan pendekatan atau targeting di keluarga-keluarga miskin yang sudah ada daftar nama dan alamatnya pada setiap kabupaten/kota di seluruh provinsi, yang bisa diberdayakan.

Selama ini pemerintah sudah melakukannya dengan memberikan bermacam-macam bantuan sosial, misalnya, Program Keluarga Harapan, beasiswa, Kartu Indonesia Pintar, Kartu Indonesia Sehat.

Pengentasan kemiskinan ada dua pendekatan, yaitu mengurangi beban -seperti yang kita sebutkan tadi- dengan sejumlah bantuan sosial: Jaminan Kesehatan Aceh (JKA), beasiswa, KIP, KIS, macam-macam.

Selain itu harus ada usaha untuk memperbesar pekerjaan yang produktif untuk kelompok masyarakat miskin ini. Jadi, mereka perlu mendapatkan pelatihan, pendidikan yang lebih baik, dan memperoleh lapangan kerja yang lebih produktif.

Bappeda Aceh menyebut telah terjadi penurunan persentase kemiskinan di Aceh, tetapi nyatanya Aceh tetap rangking 1 di Sumatera dan nomor 6 di Indonesia, apa tanggapan Anda?

Ini data kemiskinan secara makro dan memang sayangnya kita masih termiskin di Sumatera kalau berdasarkan data itu. Jangan salah, itu persentase jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan, seperti yang saya jelaskan tadi.

Kalau garis kemiskinannya Rp500.000 per orang per bulan maka semua yang penghasilannya di bawah itu masuk kategori miskin. Di Aceh masih 14 sekian persen walaupun sudah turun, tetapi tetap yang paling tinggi di Sumatera dan nomor enam di Indonesia.

Namun, itu persentase, harus dibedakan dengan jumlah penduduk miskin. Kalau jumlah penduduk miskin tertinggi di Sumatera, itu jelas bukan Aceh karena penduduk kita tidak sebanyak penduduk Sumatera Utara, Sumatera Selatan, atau bahkan Riau.

Jumlah orang miskin tertinggi di Sumatera itu adanya di Sumatera Utara, bukan di Aceh. Kalau dipersentasekan karena penduduk Aceh itu 5,3 juta sementara penduduk Sumatera Utara itu dua atau tiga kali lipatnya, katakanlah 10 juta. Jadi, kalau angka 10 persen saja itu sudah 1 juta orang miskin di Sumatera Utara, sementara di Aceh 800 ribu. Itu harus kita bedakan.

Apakah kita perlu sangat khawatir dengan posisi terendah ini secara persentase? Menurut saya, kita harus khawatir. Pemerintah lebih baik fokus pada target penurunan angka kemiskinan di level mikro.

Belajar dari model pengentasan kemiskinan daerah atau negara lain, adakah yang bisa ditiru?

Saya pikir, itu tidak bisa kita serahkan atau kita harapkan sepenuhnya pada pemerintah. Saya kira, seluruh lapisan masyarakat Aceh termasuk akademisi, pengusaha, pihak swasta, dan masyarakat umum perlu bersama-sama mengubah paradigma, misalnya, paradigma tentang pekerjaan harus menjadi PNS, itu kan masih ada dalam masyarakat kita.

Jadi, kemiskinan itu juga sangat dipengaruhi oleh masalah sosial-budaya atau tradisi-tradisi dalam masyarakat. Nah, masyarakat kita masih percaya yang namanya pekerjaan itu kalau sudah menjadi PNS, kalau swasta belum dianggap bekerja padahal banyak reseach menunjukkan pekerjaan sebagai swasta apalagi sektor formal, bahkan yang informal sekalipun, itu lebih produktif dari pada menjadi PNS.

Masyarakat Aceh perlu fokus untuk meningkatkan produktifitas, salah satu caranya adalah dengan tidak memilih-milih pekerjaan. Mau bekerja keras di sektor apa pun dan menjadi yang terbaik di sektor mana pun kita bekerja. Namun, selama ini masyarakat kita menganggap pekerjaan itu harus menjadi pegawai negeri. Selain itu, mungkin karena tradisi budaya kita yang mengatakan, ”Pekerjaan ini untuk perempuan, pekerjaan ini cocoknya untuk laki-laki, pekerjaan ini menuntut bekerja malam untuk meningkatkan produktivitas sehingga tidak bisa dilakukan oleh perempuan.” Itu semua berpengaruh pada angka produktivitas. Nah, kalau produktivitas kita rendah maka sulit untuk mengurangi kemiskinan pada level makro dan level mikro.

Jadi, yang pertama adalah perubahan paradigma. Perubahan mindset masyarakat kita untuk tidak memilih-milih pekerjaan, mau bekerja keras di sektor mana pun, dan pengembangan sektor-sektor produktif di luar pemerintahan, seperti PNS.

Sumber daya Aceh sebenarnya sangat luar biasa, tetapi sayang tidak dimanfaatkan secara produktif. Kebanyakan diekspor keluar Aceh dalam bentuk bahan mentah. Tenaga kerja di Aceh mahal. Mengapa mahal? Karena walaupun kita memiliki tenaga kerja bahkan penganggurannya cukup tinggi, tetapi tidak semua masyarakat kita berkenan bekerja di semua sektor. Masih ada budaya memilih-milih pekerjaan.

Secara Statistika, apakah parameter yang dipakai BPS perlu direvisi?

Wah, saya kenal betul cara kerja BPS karena kebetulan di jurusan Statistika kita punya salah satu bidang minat, yaitu statistik resmi atau Statistik Pemerintahan dan Kebijakan Publik.

Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa BPS itu adalah salah satu National Statistics Office (NSO). Setiap negara mempunyai NSO dan mereka bekerja sama lewat system ini. BPS adalah salah satu NSO terbaik di dunia. Jadi, saya tidak meragukan kemampuan teman-teman di BPS untuk melakukan pengukuran dan penentuan variabel-variabel kemiskinan.

Namun, cara mengukur kemiskinan itu menggunakan alat pengukuran yang katanya di beberapa negara berkembang belum bisa mengikuti cara di negara-negara maju. Salah satunya adalah belum bisa memperoleh data tentang pendapatan masyarakat. Itu menyangkut kesediaan masyarakat. Bagi saya, masyarakat kita sulit untuk ditanya berapa pendapatannya, lebih mudah menanyakan berapa pengeluarannya.

Oleh karenanya, angka kemiskinan itu hanya berdasarkan pengeluaran kebutuhan minimum 1.200 kilo kalori. Kalau masyarakat sudah siap untuk di-survey oleh BPS untuk menentukan berapa pendapatannya, bukan hanya dari upah dan gaji, tetapi seluruh pendapatan. Dari sisi perpajakan mungkin sudah lebih baik, pelaporan pajak sudah lebih baik maka pada saat itu, bisa jadi, metode pengukuran nanti bisa diperbaiki sehingga kita bisa mendapatkan angka kemiskinan yang lebih akurat.

Namun, untuk sementara ini angka yang disampaikan oleh BPS adalah pilihan terbaik untuk negara kita. Itu adalah angka untuk seluruh Indonesia sehingga kita bisa membandingkan antar wilayah dan antar provinsi.

Apa kritik dan saran Anda untuk Pj Gubernur Aceh dalam pengentasan kemiskinan?

Dengan penjabat gubernur yang baru tentu saja kita punya semangat baru dan berharap agar penjabat gubernur fokus pada pengentasan kemiskinan, baik di level mikro maupun di level makro. Di level mikro dengan mengaktifkan data keluarga miskin. Data itu diperbaiki dan di-update karena sebenarnya update data kemiskinan itu sudah diserahkan kepada provinsi dan kabupaten/kota masing-masing, bahkan terakhir sudah diserahkan kembali kepada BPS.

Jadi, pemerintah provinsi bisa bekerja sama dengan BPS provinsi untuk memastikan data kemiskinan di level mikro itu by name by address dengan daftar nama dan daftar orang miskin sudah jelas. Memang perlu di-update: yang tidak lagi miskin perlu dikeluarkan dari daftar itu, yang tiba-tiba jatuh miskin karena naiknya harga-harga itu perlu dimasukkan ke dalam daftar untuk mendapatkan bantuan sosial. Jadi, itu yang pertama sekali harus dilakukan.

Pada level makro, penjabat gubernur Aceh bisa memastikan perkembangan sektor-sektor riil yang produktif di Aceh. Sektor riil yang produktif itu, misalnya, sektor pengolahan sumber daya alam sehingga kita tidak mengekspor sumber daya alam dalam bentuk bahan mentah. Ada pabrik dan ada pemrosesan yang dilakukan di Aceh sehingga nilai tambahnya bisa dinikmati oleh masyarakat Aceh dan masyarakat Aceh pun menjadi lebih produktif. (Lia Dali)

Berita Terkait

Berita Terkini

Google ads