Kasus Kebakaran Rawatripa, Penasehat Hukum: Dakwaan Jaksa Terbantahkan

Setelah pada persidangan sebelumnya sempat tertunda, majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Meulaboh kembali menggelar sidang lanjutan perkara pembakaran lahan dengan nomor perkara 53/Pidsus/2014/PN-MBO, hari ini, Rabu (7/1/2014).

Kasus yang menyeret Eddy Sutjahyo Busiri, Marjan Nasution dan Anas Muda Siregar, selaku petinggi PT Surya Panen Subur (PT SPS) ini, dimulai pada pukul 16:00 WIB, yang dipimpin oleh Hakim Ketua Rahmawati serta Hakim Anggota Alex Adam Faisal dan Rahma Novatiana.

Agenda sidang hari ini adalah mendengarkan keterangan saksi. Saksi yang dihadirkan adalah Muhammad Nazar bin Abdul Wahab. Nazar dihadirkan sebagai saksi oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) karena yang bersangkutan merupakan pemilik Usaha Dagang (UD) Mon Tani yang bergerak dibidang jual-beli pembasmi hama.

Dalam persidangan hari ini terungkap, bahwa PT SPS secara periodik melakukan pembelian racun tikus jenis Red Gon dan racun regent untuk membasmi hama rayap.

“Saya tahu PT SPS dari seorang staf perusahaan tersebut sejak tahun 2008. Sejak saat itu, usaha akhirnya menjadi mitra PT SPS untuk pengadaan racun pembasmi tikus dan rayap,” terang Nazar dihadapan Majelis Hakim.

Nazar juga menjelaskan, PT SPS selalu memesan racun pembasmi tikus sebanyak 500 Kilogram dalam rentang waktu tiga bulan. Dalam periode yang sama, perusahaan perkebunan dan pengolahan kelapa sawit ini juga memesan racun pembasmi hama rayap sebanyak 20 Kilogram.

Pria kelahiran Sigli yang sudah sejak tahun 1998 membuka usaha yang bergerak di bidang penjualan segala jenis pembasmi hama ini, juga menjelaskan, volume pemesanan PT SPS tidak berkurang, bahkan saat perusahaan itu mengalami kebakaran lahan.

“Saya mendengar PT SPS mengalami kebakaran lahan dari Amar (Staff PT SPS yang selalu mengambil pesanan racun PT SPS di tempat usaha Nazar-red). Namun, perusahaan ini tidak pernah mengurangi jumlah pemesanan racun pembasmi hama di tempat usaha saya.”

Dari keterangan saksi Nazar tersebut, menurut Rivai Kusumanagara selaku Kuasa Hukum PT SPS, dengan sendirinya telah mementahkan dakwaan JPU, yang telah mendakwa PT SPS melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar.

“Dakwaan JPU sudah terbantahkan, secara logika tentu saja sangat tidak mungkin perusahaan melakukan pembakaran hanya untuk membasmi hama tikus. Ini disebabkan karena perusahaan tetap membeli jumlah pembasmi hama yang sama, baik pada saat lahan belum terbakar maupun pada saat lahan sudah terbakar,” jelas Rivai.

Rivai juga menambahkan, dugaan selama ini yang menyatakan bahwa PT SPS melakukan pembakaran adalah untuk membuka lahan juga terbantahkan. Hal tersebut disebabkan karena pada lahan yang terbakar itu telah ditanami sawit dan telah tumbuh setinggi 1,5 meter hingga 2 meter.

“Sangat tidak mungkin perusahaan membakar lahan yang sudah ditanami karena hal tersebut tentu saja akan membuat perusahaan menanggung dua kerugian sekaligus. Nah dalam hal ini, perusahaan seharusnya mendapatkan perlindungan bukan malah dijerat hukum,” ujar Rivai, usai sidang.
Perkara Korporasi Ditunda

Sementara itu, Majelis Hakim terpaksa harus menunda sidang perkara nomor 54/Pidsus/2014/PN-MBO, yang menjerat PT SPS sebagai korporasi yang diwakilkan oleh Arsul Hadiansyah selaku direktur perusahaan tersebut. Penundaan dilakukan karena Rahmat Hidayat, selaku JPU harus menangani perkara pada kasus lain.

Sidang kedua perkara ini akan dilanjutkan pada hari Rabu (21/1) dengan agenda mendengarkan keterangan saksi.

PT SPS Raih Sertifikasi ISPO

Sementara itu, Arsul Hadiansyah yang ditemui usai sidang menjelaskan, perusahaan perkebunan dan pengolahan kelapa sawit yang berada di Kabupaten Nagan Raya itu baru saja meraih Sertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) dari Kementerian Pertanian Republik Indonesia.

Bersama PT SPS, ada enam perusahaan lainnya yang juga mendapatkan sertifikasi ISPO yang diterbitkan pada tanggal 17 September 2014 di Jakarta. Sertifikasi ISPO yang dimiliki oleh PT SPS ini akan berakhir pada 16 September 2019.

“Hal yang membanggakan bagi kami adalah, untuk wilayah Aceh, baru PT SPS yang memiliki sertifikasi ISPO, dan sertifikasi ini setiap tahun akan di audit. Jadi, kita tidak boleh jumawa dengan sertifikasi ini tetapi harus terus menjaga SOP, kualitas dan etos kerja,” ujar Arsul.
Sebagaimana diketahui untuk mendapatkan sertifikasi ISPO setiap perusahaan harus memenuhi syarat kepatuhan aspek/segi hukum, ekonomi, lingkungan, dan sosial sebagaimana diatur peraturan perundangan yang berlaku beserta sanksi bagi mereka yang melanggar.

Setidaknya ada tujuah Prinsip dan Kriteria ISPO Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan. Ketujuh prisip itu meliputi Sistem Perizinan dan Manajemen Perkebunan, Penerapan Pedoman Teknis Budidaya dan Pengolahan Kelapa Sawit, Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan. Selain itu, usaha perkebunan kelapa sawit mesti memiliki tanggung Jawab Terhadap Pekerja, tanggung Jawab Sosial dan Komunitas, Pemberdayaan Kegiatan Ekonomi Masyarakat, dan Peningkatan Usaha Secara Berkelanjutan.

Berita Terkait

Berita Terkini

Google ads