Pengelolaan Bandara dan Pelabuhan Laut di Aceh: Terobosan Strategis Era Mualem-Dek Fadh

Oleh : Uzair, SE, M.Si

“Bandara adalah gerbang, bukan hanya menuju destinasi, tetapi juga menuju berbagai kemungkinan.” — Michael Grant, Ekonom

Pengelolaan bandara dan pelabuhan laut merupakan salah satu kewenangan penting yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Sebagai undang-undang khusus yang memberikan otonomi bagi Aceh, kewenangan ini menjadi instrumen strategis untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, daya saing daerah, dan kesejahteraan masyarakat.

Dalam era kepemimpinan Muzakir Manaf (Mualem) dan Fadhullah (Dek Fadh), penguatan kewenangan Aceh dalam mengelola infrastruktur strategis ini harus diwujudkan melalui Qanun Pengelolaan Bandara dan Pelabuhan. Qanun ini akan menjadi landasan hukum yang memungkinkan Pemerintah Aceh untuk mengambil langkah-langkah inovatif dalam menarik investasi, meningkatkan konektivitas, dan mempercepat pembangunan daerah.

Potensi Pengelolaan Bandara Internasional oleh Operator Global

Melalui kewenangan yang diatur dalam UUPA, Pemerintah Aceh memiliki peluang besar untuk bermitra dengan operator bandara internasional seperti Dubai Airport atau Changi Airport. Contoh sukses pengelolaan bandara oleh operator global dapat dilihat di Indonesia, seperti Bandara Komodo di Nusa Tenggara Timur yang dikelola oleh Changi Airport.

Jika Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda (SIM) dikelola oleh operator kelas dunia, maka bandara ini dapat dikembangkan menjadi hub penerbangan internasional yang strategis. Lokasinya yang berada di jalur penerbangan internasional memberikan potensi besar untuk menjadikannya titik transit utama penerbangan ke Eropa, Timur Tengah, atau Asia, seperti halnya Changi Airport (Singapura), Suvarnabhumi (Bangkok), dan KLIA (Kuala Lumpur).

Selain itu, dengan manajemen profesional, Bandara SIM dapat menjadi pusat perawatan pesawat (aircraft maintenance) untuk maskapai besar seperti Emirates. Sebagai hub internasional, mobilitas masyarakat Aceh akan lebih mudah, dan masyarakat akan memiliki pilihan harga tiket penerbangan yang lebih kompetitif.

Strategi Mualem untuk Mengundang Investasi di Aceh

Salah satu agenda prioritas Muzakir Manaf adalah menciptakan iklim investasi yang kondusif di Aceh. Dengan berkurangnya Dana Otonomi Khusus (Otsus) yang selama ini menjadi salah satu sumber pendanaan utama, Pemerintah Aceh perlu mencari sumber dana alternatif yang berkelanjutan. Dalam hal ini, investasi sektor infrastruktur, pariwisata, dan industri menjadi fokus utama.

Pengelolaan Bandara SIM oleh operator internasional adalah langkah awal yang strategis. Bandara berkelas dunia dengan konektivitas tinggi akan menjadi daya tarik bagi investor global. Sebagai contoh, minat investor Uni Emirat Arab (UEA) dalam pengembangan Pulau Banyak sebelumnya terkendala oleh akses transportasi. Dengan pengelolaan Bandara SIM yang profesional, termasuk penerbangan jarak pendek ke wilayah seperti Singkil, Simeulue, dan Sabang, aksesibilitas investor dan wisatawan akan lebih baik.

Selain itu, Qanun yang mendukung masuknya investasi, seperti regulasi kemudahan perizinan dan insentif pajak bagi investor, harus menjadi prioritas. Langkah ini akan memperkuat daya tarik Aceh sebagai destinasi investasi, khususnya di sektor pariwisata, energi, dan industri halal.

Peluang Pariwisata dan Multiplier Effect

Aceh memiliki potensi wisata yang besar, mulai dari wisata religi, budaya, hingga alam. Dengan adanya penerbangan langsung dari berbagai negara, potensi ini akan semakin terekspos di pasar global. Turis mancanegara akan lebih mudah menjangkau Aceh, dan hal ini akan berdampak pada meningkatnya pendapatan daerah dari sektor pariwisata.

Selain itu, pengelolaan bandara yang baik juga akan membuka peluang bagi pengembangan ekosistem ekonomi lainnya, seperti hotel, restoran, dan layanan transportasi. Dampaknya akan dirasakan oleh masyarakat melalui penciptaan lapangan kerja baru dan peningkatan ekonomi lokal.

Urgensi Qanun Pengelolaan Bandara dan Pelabuhan Laut

Pasal 156 ayat (1) UUPA memberikan kewenangan kepada Pemerintah Aceh untuk mengelola pelabuhan laut dan bandara. Namun, untuk mengoptimalkan kewenangan ini, diperlukan payung hukum yang kuat melalui penyusunan Qanun.

Qanun Pengelolaan Bandara dan Pelabuhan harus dirancang tidak hanya untuk mendukung pengelolaan infrastruktur secara profesional, tetapi juga untuk memberikan ruang bagi masuknya investasi. Regulasi ini harus memuat ketentuan tentang kerja sama internasional, standar operasional global, serta pengelolaan berbasis transparansi dan akuntabilitas.

Dengan adanya qanun dan dukungan pemerintahan Prabowo, bandara Sultan Iskandar Muda dapat dikelola secara profesional oleh operator internasional seperti Dubai Airport, yang akan membuka akses Aceh bagi banyak peluang investasi lainnya.

Rekomendasi dalam RPJM Aceh 2025-2029

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Aceh 2025-2029, pengelolaan Bandara Sultan Iskandar Muda oleh operator internasional dan penyusunan Qanun pendukung investasi harus menjadi prioritas. Langkah ini tidak hanya akan memberikan dampak langsung pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menciptakan efek domino yang positif di berbagai sektor.

Agenda Mualem dan Dek Fadh untuk memperkuat kewenangan Aceh dan menarik investasi global merupakan wujud konkret dari visi mereka untuk membangun Aceh yang mandiri dan berdaya saing. Dengan pengelolaan profesional dan dukungan regulasi yang tepat, Bandara SIM akan menjadi gerbang utama Aceh menuju dunia internasional, memberikan manfaat besar bagi masyarakat dan daerah.

Penutup

Pengelolaan Bandara dan Pelabuhan oleh Pemerintah Aceh bukan sekadar implementasi dari kewenangan UUPA, tetapi juga langkah strategis untuk membawa Aceh terbuka untuk investasi multi sektor. Dengan manajemen yang profesional, Qanun yang mendukung masuknya investasi, dan visi kepemimpinan yang jelas, Aceh dapat meraih potensi terbaiknya, menjadikan daerah ini salah satu tujuan investasi di Indonesia.

*) Konsultan Media

Berita Terkait

Berita Terkini

Google ads