20 Tahun Tsunami Aceh, Dian: Hidup Terus Berjalan, yang Penting Kita Saling Membantu Sesama

Dian tidak membayangkan hari Minggu itu menjadi titik balik dalam hidupnya. Tanggal 26 Desember 2004, Aceh diguncang gempa berkekuatan 9,2 skala Richter. Saat itu, Dian masih duduk di kelas kelas 3 SMA di Banda Aceh. Seperti biasa, pagi itu ia menjalani akhir pekannya di rumah.

Suasana berubah saat bumi mulai berguncang hebat. Getarannya begitu kuat, membuat banyak orang keluar dari rumah dengan panik. “Awalnya kami hanya takut rumah akan runtuh karena gempa” kenang Dian. Tak ada yang menyangka bahwa gempa tersebut hanyalah awal dari bencana yang jauh lebih besar.

Di tempat lain, orang-orang di sekitar pantai mulai memperhatikan laut yang tiba-tiba surut dengan cepat. “Kami pikir itu hanya kejadian alam biasa, kami lihat tetangga dekat rumah mulai lari sambil bilang “cepat lari! air naik”, waktu itu belum ada yang tahu tentang tsunami” ujarnya.

Beberapa saat kemudian, suara gemuruh yang menyerupai dentuman besar mulai terdengar. Dian dan keluarganya segera lari ke masjid terdekat, tempat yang mereka anggap aman. Namun, gelombang besar dengan cepat menghantam, membawa puing-puing, kendaraan, dan bahkan manusia dalam arusnya.

“Saya terlempar dan terseret. Rasanya seperti tubuh saya dihantam ribuan batu” katanya dengan suara lirih. Gelombang tersebut memisahkan Dian dari keluarganya. Dalam kepanikan, ia kehilangan kesadaran dan merasa seolah-olah hidupnya akan berakhir di sana.

Ketika sadar, Dian menemukan dirinya berada di tengah tumpukan sampah dan puing-puing, tersangkut di sebuah pohon kecil. Ia tidak sendiri; ada seorang tentara dan dua orang lain yang juga terdampar di pohon yang sama. Dibantu tentara, Dian berhasil memanjat lebih tinggi untuk menghindari arus susulan. “Kami hanya bisa berdoa agar air segera surut” harapnya.

Namun, kehilangan besar sudah terjadi. Ayah Dian berhasil selamat, tetapi beberapa anggota keluarga dan teman-teman dekatnya tidak seberuntung itu. Kehilangan ini menjadi luka mendalam yang akan ia bawa sepanjang hidup.

Setelah air mulai surut, Dian harus berjalan melewati pemandangan yang lebih menyeramkan daripada gelombang itu sendiri. “Di mana-mana hanya ada puing-puing dan tubuh korban” ujarnya dengan suara bergetar. Ia bertemu dengan beberapa orang yang selamat, termasuk guru SMA dan teman-temannya, mereka pun terlihat bingung dan putus asa.

Sepanjang jalan, Dian bertemu orang-orang yang dikenal dengan kondisi yang juga memprihatinkan. “Mayat bergelimpang, saya lihat mayat orang yang saya kenal dari tanda kaki yang dimiliki juga celana yang dipakai” kisahnya dengan suara terbata.

Akhirnya ia tiba di Taman Budaya (sekarang taman Sari), tempat orang-orang berkumpul dan saling mencari. Di sana, ia dan orang-orang lainnya saling berbagi apa pun yang mereka miliki. “Awalnya, kami hanya makan biskuit dan roti yang dibagikan” ujarnya.

Namun, hidup di pengungsian bukan tanpa tantangan. Bantuan logistik tidak segera datang, dan kebutuhan pokok seperti makanan dan air bersih sangat terbatas. Dian bercerita bahwa satu bungkus nasi sering kali harus dibagi untuk dua orang. Selain itu, rasa takut dan trauma menghantui setiap orang. Banyak yang tidak berani tidur malam karena khawatir gelombang lain akan datang.

Setelah beberapa hari bertahan di Banda Aceh, keluarga Dian memutuskan untuk meninggalkan kota tersebut demi mencari tempat yang lebih aman. Dengan menggunakan mobil kecil yang penuh sesak, mereka menempuh perjalanan menuju Sigli, kota kecil yang terletak sekitar 100 kilometer dari Banda Aceh. Di perjalanan, mereka melewati pemandangan yang sama mengerikannya. “Jalanan penuh dengan reruntuhan dan tubuh-tubuh yang belum sempat dievakuasi” ujar Dian.

Di Sigli, Dian mendapatkan cermin untuk pertama kalinya setelah bencana. “Saya baru sadar seberapa parah luka saya. Wajah saya penuh dengan bekas luka dan darah,” katanya. Namun, luka fisik hanyalah sebagian kecil dari penderitaannya.

Trauma dan kehilangan orang-orang terkasih menjadi beban yang jauh lebih berat.
Perjalanan kemudian dilanjutkan ke Kuala Simpang, tempat nenek Dian tinggal. Di sana, mereka merasa lebih aman. Namun, trauma bencana mulai menunjukkan dampaknya pada ayahnya. “Ayah sering bermimpi buruk dan berteriak di malam hari, seolah-olah ia masih berada di tengah arus tsunami,” kenangnya.

Di Kuala Simpang, ia mendapatkan bantuan medis untuk mengobati lukanya, perjalanan ke rumah sakit Adam Malik di Medan menjadi salah satu pengalaman paling mengharukan dalam hidupnya.

“Orang-orang yang tidak saya kenal menangis melihat keadaan saya dan memberikan apa pun yang mereka bisa, dari buah hingga pakaian,” ujarnya.

Namun, proses pemulihan tidak mudah. Trauma sering kali datang tiba-tiba, terutama saat ia mendengar suara gemuruh atau melihat air laut yang pasang.

Dian harus belajar menerima kenyataan bahwa hidupnya tidak akan pernah sama lagi. “Trauma itu tidak mungkin hilang sepenuhnya, tapi saya berusaha sembuh” katanya.

Dian harus kembali ke Banda Aceh untuk ujian kelulusannya, sempat tak ingin melanjutkan sekolahnya karena dampak trauma yang masih menghantui. Tapi ia mendapat dukungan dari keluarga dan orang-orang disekitanya, menguatkan jika mampu melewati itu.

Sekembalinya ke Banda Aceh, Dian menghadapi tantangan baru: membangun kembali kehidupannya di tengah kehancuran total. Ia memutuskan untuk aktif dalam kegiatan sosial, terutama yang berkaitan dengan kesehatan ibu dan anak. Dian percaya bahwa membantu orang lain adalah cara terbaik untuk menyembuhkan dirinya sendiri.

Selain itu, ia juga fokus pada kesehatan mentalnya. Dian memastikan bahwa anak-anaknya tumbuh dengan mental yang kuat, sehingga mereka siap menghadapi tantangan hidup.

Kini, Dian menjalani hidupnya dengan rasa syukur yang mendalam. Ia memandang masa lalu sebagai pelajaran, bukan sebagai beban. Meski tsunami telah meninggalkan luka mendalam, semangat untuk bangkit tetap menyala di hatinya.

Baginya, setiap hari adalah kesempatan untuk menjadi lebih baik dan membantu orang lain yang membutuhkan.

“Hidup terus berjalan, yang penting kita saling mendukung dan membantu sesama,” tutupnya dengan senyum penuh harapan. (Nurul Ali)

Berita Terkait

Berita Terkini

Google ads