Ketua Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh, Masthur Yahya mengatakan kekerasan yang terjadi pada masa konflik di Aceh telah mencapai titik batas yang ditetapkan oleh Hukum Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional terhadap Kejahatan Kemanusiaan dan Kejahatan Perang.
“Artinya, semua bentuk kekerasan itu dipraktekkan oleh para pihak yang berkonflik pada masa itu. Kita mungkin tidak harus lagi mengilustrasikan apa kekerasan yang paling keji. Cukup dengan kalimat ‘mencapai titik batas yang ditetapkan oleh Hukum Hak Asasi Manusia Internasional’ maka kita langsung bisa membayangkan bahwa semua bentuk kekerasan yang tidak bisa dinalar oleh akal sehat manusia itu terjadi,” ujar Masthur Yahya pada Diskusi Publik Laporan Temuan KKR Aceh yang diselenggarakan oleh Kontras Aceh dan Yayasan Tifa di Balai Pelatihan Kesehatan Banda Aceh, Kamis, 21 Desember 2023.
Laporan Temuan KKR Aceh dibuat berdasarkan analisis atas 4.675 pernyataan saksi dan korban dari total 5.195 pernyataan yang berhasil dikumpulkan.
KKR Aceh memulai pengambilan pernyataan pada tahun 2017 di lima wilayah, yaitu Kabupaten Aceh Besar, Pidie, Bener Meriah, Aceh Utara, dan Aceh Selatan.
Selanjutnya sejak Oktober 2018, KKR Aceh memperluas wilayah kerjanya di tujuh wilayah baru meliputi Kabupaten Pidie Jaya, Bireuen, Aceh Tengah, Aceh Timur, Aceh Tamiang, Aceh Jaya, dan Aceh Barat. Pada 2021, KKR menyelenggarakan pengambilan pernyataan di 17 kabupaten/kota, 138 kecamatan, dan 775 desa.
Dalam Laporan Temuan itu terungkap empat bentuk tindak kekerasan, yaitu penyiksaan, kekerasan seksual, pembunuhan, dan penghilangan paksa yang terjadi sepanjang konflik bersenjata berlangsung di Aceh, yaitu periode 4 Desember 1976 – 15 Agustus 2005.
Masthur Yahya mengatakan pada kurun waktu tersebut, telah ditemukan pelanggaran HAM yang sistematis, dalam skala yang masif, dan secara luas terhadap masyarakat sipil.
Laporan Temuan itu juga dilengkapi dengan lima kategori rekomendasi utama, salah satunya adalah rekomendasi untuk tindakan hukum pada pelaku pelanggaran HAM atau proses yudisial pengadilan dan pertanggungjawaban hukum.
Terkait dengan rekomendasi tersebut, Mugiyanto selaku Staf Ahli Deputi V Kantor Staf Presiden (KSP) mengatakan hal itu merupakan kewenangan Komnas HAM dan Kejaksaan Agung sebagaimana tercantum dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM khususnya untuk pelanggaran berat.
“Kami dari Kantor Staf Presiden akan menyampaikannya kepada Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko. Kami yakin Moeldoko akan menyampaikan kepada presiden bahwa KKR Aceh sudah selesai bekerja dan sudah ada laporannya tahun ini, dan pemerintah mesti bersikap,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro mengatakan bagian tersulit dari perdamaian yang sudah dicapai di Aceh adalah merawatnya dan menghasilkan keadilan yang menjadi milik korban. Menurutnya apa yang dilakukan oleh KKR Aceh memperlihatkan ada banyak model untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat, baik melalui mekanisme yudisial pengadilan maupun melalui mekanisme non-yudisial, seperti pembentukan KKR.
“Di dalam mekanisme, seperti KKR dan pengadilan, seharusnya korban menjadi subjek yang utama, tetapi kalau kita lihat di persidangan-persidangan HAM maupun pengadilan pidana lainnya, yang banyak didengarkan suaranya adalah suara tersangka atau pelaku. Korban jarang sekali tampil didengarkan suaranya karena alasan-alasan trauma, tetapi memang ruangnya tidak disediakan untuk itu,” ujarnya.
Atne mengatakan dalam mendorong penyelesaian HAM berat di pengadilan, yang utama disorot adalah seberapa besar pelaku bersalah dan seberapa besar pelaku harus dihukum. Namun, jarang sekali -khususnya pengadilan HAM di Indonesia- memperhatikan seberapa besar kerugian yang dialami korban, baik secara fisik maupun psikis, dan bagaimana pengadilan dapat merekomendasikan upaya-upaya pemulihan. Menurutnya hal itu dapat dilakukan dalam mekanisme non-yudisial, seperti KKR.
“Dengan adanya satu Komisi Kebenaran dan upaya untuk mendorong pemulihan bagi korban maka di situ ada dimensi lain terhadap pengakuan hak korban. Bukan semata-mata sebagai rasa kasihan dari negara, tetapi hak yang melekat sebagai akibat kegagalan negara melindungi warganya,” tegas Atne. (Lia Dali)