Pro-Kontra Revisi Qanun LKS, Pengamat: DPRA Harus Buka Ruang Diskusi

Wacana revisi Qanun Lembaga Keuangan Syariah (LKS) di Aceh mencuat kembali akibat belum maksimalnya layanan bank syariah. Redaksi menerbitkan seri wawancara eksklusif dengan sejumlah narasumber penting. Ini merupakan seri kedelapan dari 10 seri wawancara.

Qanun Aceh No. 11 Tahun 2018 tentang lembaga Keuangan Syariah adalah Peraturan Perundang-undangan yang mengatur tentang kegiatan lembaga keuangan dalam rangka mewujudkan ekonomi masyarakat Aceh yang adil dan sejahtera dalam naungan syari’at Islam. Qanun ini merupakan manifestasi pelaksanaan syariat Islam di Aceh yang secara tegas telah mewajibkan seluruh lembaga keuangan yang beroperasi di Aceh wajib dilaksanakan berdasarkan prinsip syariah.

Pro-kontra masih bergulir di tengah masyarakat Aceh. Perdebatan ini masih terkait revisi Qanun LKS hingga menghadirkan kembali bank konvensional di Aceh. Pihak yang pro revisi mendukung bank konvensional kembali beroperasi di Aceh karena menilai transaksi ekonomi dan bisnis tidak bisa hanya bertumpu pada bank syariah saja. Sementara pihak kontra revisi menilai revisi qanun tersebut tidak perlu dilakukan karena akan mencederai keistimewaan Aceh sebagai provinsi yang menerapkan syariat Islam.

Menanggapi hal tersebut Pengamat Politik dan Pemerintahan, Risman A Rahman, S.Ag mengatakan dalam perjalanannya Qanun LKS memiliki sejumlah halangan dan kendala yang berpotensi merugikan nasabah atau masyarakat sehingga selayaknya Qanun LKS ini direvisi.

Menurutnya yang paling tepat saat ini adalah Pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) membuka ruang diskusi agar setiap orang berkempatan mendengarkan perspektif yang lebih kaya sehingga masing-masing pihak tidak mengambil sikap keras, tetapi terbuka terhadap pengetahuan tentang ekonomi Islam. Apalagi dasar utamanya adalah penyelenggaraan syariat Islam di Aceh merupakan tanggung jawab pemerintah Aceh.

Berikut wawancara jurnalis anterokini.com dengan Risman A Rahman.

Bagaimana Anda menilai tekanan dari kelompok konservatif yang membuat rencana revisi Qanun Lembaga Keuangan Syariah sepertinya akan menemui jalan buntu, apa tanggapan Anda?

Itu semua bagian dari dinamika ke-Acehan. Semua pihak yang menyampaikan pendapatnya terkait Qanun LKS patut didengar, dihormati, dan dicermati. Namun, yang paling tepat adalah bagaimana DPR membuka ruang diskusi kajian yang lebih kredibel supaya setiap orang punya kesempatan untuk mendengarkan perspektif yang lebih kaya sehingga masing-masing pihak tidak mengambil sikap keras, tapi terbuka terhadap pengetahuan tentang ekonomi Islam itu sendiri .

Apa alasan Qanun Lembaga Keuangan Syariah ini mesti direvisi? Apakah karena error system Bank BSI? Atau apakah untuk mengembalikan bank konvensional di Aceh?

Bukan, saya kira apa yang dialami oleh BSI itu hanya menjadi satu alasan tambahan bahwa secara syariat atau secara Islam kita harus bisa menghadirkan satu regulasi yang menjamin keamanan nasabah. Kalau secara regulasi tidak melindungi nasabah, bisa saja pihak bank kalau terjadi error atau ada serangan cyber -karena sekarang kita menggunakan teknologi- maka bisa jadi nasabah berada dalam posisi yang rugi.

Jadi, pada dasarnya revisi Qanun LKS ini menurut saya itu bukan karena adanya error yang dialami oleh BSI, juga bukan dalam rangka mengembalikan bank konvensional. Bahwa ada permintaan bank konvensional dikembalikan di Aceh, itu adalah bahagian dari dinamika masyarakat. Tetapi yang menjadi dasar utamanya adalah bahwa penyelenggaraan syariat Islam di Aceh itu tanggung jawabnya ada pada pemerintah Aceh. Pemerintah Aceh itu terdiri dari eksekutif dan legislatif dalam konteks menghadirkan qanun.

Nah, karena Qanun ini sudah disahkan atau ditetapkan pada 2018 yang kemudian dalam perjalanannya ada kendala-kendala dan halangan-halangan yang berpotensi merugikan nasabah atau masyarakat maka selayaknya Qanun LKS ini dilihat kembali, dievaluasi, dan di revisi kalau kemudian ada hal-hal yang berpotensi merugikan. Dalam kaidah fiqih menolak mafsadat lebih diutamakan dari menarik manfaat.

Bukankah Qanun LKS bagian dari menjalankan syariat Islam dalam hal mu’amalah? Bukankah sekarang sudah berjalan sejak ditetapkan?

Betul sekali bahwa Qanun LKS adalah bagian dari menjalankan syariat Islam, tetapi lebih utama lagi adalah bagaimana supaya prinsip-prinsip ajaran Islam yang dijalankan di Aceh benar-benar menghadirkan manfaat. Inilah yang harus diutamakan oleh pembuat regulasi sehingga syariat Islam di Aceh sepenuhnya bernilai manfaat.

Apa saja yang mesti direvisi dari Qanun LKS menurut Anda?

Nah, apa saja yang harus direvisi? Itu sangat tergantung dari evaluasi bersama. Oleh karenanya, pemerintah dan DPR harus membuka ruang yang luas supaya terjadi percakapan publik, akademik, dan ilmu pengetahuan. Karena dalam hal muamalah itu banyak sekali perkembangan pengetahuan kontemporer terkait dengan keberadaan bank dan segala produk-produknya.

Biarlah terjadi percakapan yang mendalam, serius, dan luas dengan maksud utama adalah bagaimana memastikan bahwa prinsip-prinsip Islam yang kita terapkan di Aceh bermanfaat bagi semua orang. Islam adalah agama rahmatan lil alamin, ajaran-ajarannya atau prinsip-prinsip dasarnya itu tidak hanya bermanfaat bagi pemeluknyanya, tetapi juga bermanfaat bagi sekalian alam.

Kalau orang lain atau pihak lain pun menggunakan prinsip-prinsip itu pasti bermanfaat. Bukankah sekarang tren kecenderungan global itu siapa yang bisa memberi manfaat yang lebih baik, itulah yang akan dipilih oleh masyarakat? Nah, manfaat itu bisa dalam konteks salah satunya adalah keamanan.

Kalau bank yang secara keamanannya lemah itu bakal ditinggalkan meskipun itu adalah bank syariat. Karena itu di dalam Islam kan ada yang disebut dengan maqashid syariah. Mesti ada perlindungan yang lebih baik dari bank-bank yang beroperasi di luar Aceh.

Jadi, tujuan revisi qanun ini memastikan apapun lembaga keuangan yang beroperasi di Aceh bisa memberi manfaat yang lebih baik, lebih bagus, dan lebih terjamin keamanannya bagi nasabah.

Silang pendapat di masyarakat menimbulkan sejumlah kontroversi misalnya pernyataan ketua MPU soal berpotensi murtad ketika ada upaya mengembalikan bank konvensional di Aceh. Mengapa di Aceh jika berbeda pandangan terutama terkait implementasi syariat Islam selalu di cap anti syariah dan sebagainya? Apakah tidak ada lagi ruang dialog di Aceh ini?

Itu yang disebut tadi dinamika sosial. Dalam dinamika sosial yang bebas sangat mungkin muncul berbagai pandangan dan bentuk tekanan, tetapi kalau pandangan-pandangan bebas itu dibawa ke dalam forum-forum yang sifatnya terbatas misalnya akademik dan ilmu pengetahuan, maka semua argumen itu akan diuji logikanya, dalilnya, dan manfaatnya.

Kalau memang terbukti bahwa secara argumentatif dan dalil bisa merusak dan memurtadkan maka pasti kita semua akan setuju. Sebaliknya, kalau memang sebuah argumen itu lebih sebagai semacam claim atau imajinasi tentu semua orang juga tidak bakal setuju.

Oleh karena itu, dalam menghadirkan sebuah regulasi, pihak eksekutif dan legislatif mesti membawa seluruh pihak ke dalam forum-forum dengar pendapat, kajian akademik, dan sebagainya. Biarlah itu menjadi satu perdebatan yang menyehatkan yang pada akhirnya melahirkan semacam kesepahaman.

Apa saja catatan Anda terhadap praktik bank syariah itu sendiri khususnya sejak pemberlakuan single banking system?

Tentu masing-masing kita punya pengalaman unik yang itu semua menjadi satu pembelajaran, baik bagi bank itu sendiri maupun juga dalam rangka kita memperkuat regulasi.

Disitulah tanggung jawab pemerintah dalam hal penyelenggaraan syariat Islam. Kalau tidak didukung atau didorong oleh regulasi maka para pihak lembaga keuangan di Aceh bisa jadi mengabaikan keluhan-keluhan yang yang diterima oleh nasabah. (Lia Dali)

Berita Terkait

Berita Terkini

Google ads