Wacana Revisi Qanun LKS, Pengamat Ekonomi: Ambil Solusi yang Paling Bagus untuk Kemaslahatan Aceh

Wacana revisi Qanun Lembaga Keuangan Syariah (LKS) di Aceh mencuat kembali akibat belum maksimalnya layanan bank syariah. Redaksi menerbitkan seri wawancara eksklusif dengan sejumlah narasumber penting. Ini merupakan seri keenam dari 10 seri wawancara.

Qanun No. 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS) telah mewajibkan Aceh menerapkan syariat Islam di sektor keuangan. Keberadaan Qanun LKS ini diharapkan dapat memberi dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi Aceh dengan sistem dan pelayanan perbankan yang mengusung konsep dan skema berdasarkan prinsip-prinsip syariah.

Laporan Perekonomian Provinsi Aceh yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia (BI) menunjukkan pertumbuhan modal kerja yang disalurkan oleh perbankan masih minus dalam periode setahun terakhir. Pada Triwulan I-2022, jumlah modal kerja yang disalurkan perbankan (berdasarkan lokasi bank) mencapai Rp7,33 triliun kemudian pada Triwulan IV-2022 turun menjadi Rp6,8 triliun.

Penurunan modal kerja ini diperkirakan karena pengaruh pemberlakuan Qanun LKS yang membatasi jumlah perbankan yang beroperasi di Aceh. Kini hanya ada dua bank syariah besar di Aceh, yaitu Bank Aceh Syariah (BAS) dan Bank Syariah Indonesia (BSI) yang menyebabkan terbatasnya akses permodalan perbankan bagi masyarakat dan pelaku usaha.

Ekonomi Aceh pada Triwulan I-2023 tumbuh sebesar 4,63 persen secara year on year (yoy) melambat dibandingkan pertumbuhan Triwulan IV-2022 yang tercatat 5,60 persen (yoy). Rendahnya pertumbuhan ekonomi menyebabkan tingginya angka TPT (Tingkat Pengangguran Terbuka) dan angka kemiskinan di Aceh.

TPT Aceh hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Februari 2023 sebesar 5,75 persen turun sebesar 0,22 persen poin dibandingkan Februari 2022 yang mencatat 5,97 persen. Meski demikian, BPS mencatat Aceh masih berada dalam daftar 10 provinsi dengan tingkat pengangguran terbuka tertinggi di atas rata-rata nasional, yaitu berada di peringkat 9 pada Februari 2023.

Sementara itu, persentase penduduk miskin di Aceh mengalami kenaikan dari 14,64 persen pada Maret 2022 menjadi 14,75 persen pada September 2022. Jumlah penduduk miskin di Aceh meningkat dari 806.820 orang menjadi 818.470 orang. Terjadi peningkatan sebesar 0,11 persen atau 11.700 orang dibandingkan kondisi Maret 2022.

Penambahan penduduk miskin itu membuat Aceh masih bertahan sebagai provinsi nomor 1 termiskin di Sumatera dan nomor 6 termiskin di Indonesia.
BPS Aceh juga mencatat pada Triwulan I-2023 (yoy) Lapangan Usaha Jasa Keuangan dan Asuransi mengalami kontraksi sebesar -6,89 persen.

Pengamat ekonomi Rustam Effendi menyebutkan data-data tersebut menunjukkan bahwa Qanun LKS telah mengungkung ekonomi Aceh sehingga aktivitas ekonomi menjadi sangat terbatas. Para pelaku usaha mengalami kesulitan berusaha dan hal ini akan berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi Aceh. Dia menegaskan, berbagai hambatan investasi dan ekonomi masyarakat hanya akan menambah angka pengangguran dan kemiskinan.

Rustam Effendi merupakan dosen pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Program Studi Jurusan Ekonomi Pembangunan Universitas Syiah Kuala. Dia menamatkan pendidikan S1 Teknik Elektro di Universitas Syiah Kuala, S2 Specialis Ekonomi di Universiti Kebangsaan Malaysia, dan S3 Islamic Banking di Universiti Sains Malaysia.

Berikut wawancara lengkap jurnalis anterokini.com dengan Rustam Effendi.

Mengapa Qanun Lembaga Keuangan Syariah mesti direvisi?

Pertama saya kembali kepada Pak Danial tadi. Pak Danial saya ikuti tadi dan saya simak bahwa ada satu statement beliau yang memang sangat bagus. Beliau mengatakan bahwa qanun yang sedang berjalan -sudah satu tahun lebih- ini juga mesti dilihat aspek kemaslahatan ekonomi.

Kalau dalam bahasa lain juga kita melihat bahwa apa dampak yang ditimbulkan oleh qanun ini? Ini yang menjadi persoalan dan ini yang tidak dilihat oleh teman-teman yang lain. Jadi, lebih kepada konseptual yang diagung-agungkan sedangkan faktualnya luput dalam amatan kita.

Saya sampaikan bahwa dalam setahun ini kalau melihat data, itu jelas bahwa apa yang dialami oleh Lapangan Usaha Sektor Keuangan dan Asuransi di Aceh memang mengalami kontraksi, minus pertumbuhannya. Ini data yang tidak dilihat. Saya dapat publikasi ini dari Bank Indonesia, jelas menyatakan bahwa semenjak ada Qanun LKS Lapangan Usaha Jasa Keuangan dan Asuransi mengalami minus. Jadi, pada year on year yang lalu, pada TW I-2023 kita bandingkan dengan TW I-2022 itu mengalami minus 6, sekian persen.

Kedua, saya juga melihat bahwa semenjak ada Qanun LKS ini investasi ataupun pembiayaan untuk modal kerja atau working capital yang dipinjamkan atau yang disalurkan oleh pihak lembaga keuangan juga mengalami minus pertumbuhannya, minus 7, sekian persen pada TW IV tahun yang lalu. Nah, ini menandakan bahwa memang ada persoalan dengan kemaslahatan ekonomi.

Belum lagi kalau kita melihat bagaimana susahnya dunia usaha dengan ketiadaan bank konvensional. Semestinya harus kita edukasi masyarakat kita. Jadi, tidak berkutat pada satu sikap bahwa, “Tidak boleh kita utak-atik qanun ini.” Ini yang menjadi persoalan masyarakat Aceh sekarang dan imbas semuanya ini akan berdampak langsung kepada isu-isu yang ada di Aceh.

Kita tahu bahwa di Aceh ini sedang mengalami persoalan dalam hal penciptaan lapangan pekerjaan. Bagaimana kita bisa menciptakan pekerjaan termasuk juga mungkin untuk anak-anak didik saya yang ada di Ekonomi Syiah Kuala? Termasuk juga untuk anak-anak kita yang ada di UTU, Unsam, dan Unimal Lhokseumawe? Bagaimana dia selesai kuliah bisa mendapatkan lapangan pekerjaan sedangkan di sisi lain Aceh masih mengalami persoalan dalam hal itu?

Jadi, ketiadaan akses pembiayaan dan minimnya Working Capital yang disalurkan oleh pihak perbankan pasca qanun ini juga sebuah persoalan yang harus dilihat dan ini semua berimbas pada pertumbuhan ekonomi.

Apa solusi atas dampak pemberlakuan Qanun ini? Secara ekonomi kebijakan apa yang mesti ditempuh?

Saya pikir yang pertama kita mesti melihat dululah fakta yang ada. Jangan selalu kita ngomong konseptual apalagi anak-anak kita -adik-adik mahasiswa- tidak paham soal ini. Yang saya takutkan kita terlalu banyak bicara soal konseptual, tapi tidak melihat faktual yang ada.

Kita sedang menerima saja ekonomi sekarang ini. Seperti yang Pak Danial sampaikan tadi, saya sepakat dengan beliau, “Kemaslahatan ekonominya apa semenjak ada qanun?” Kan tidak ada apa-apa. Ini kita hanya menjual jargon, jargon, jargon yang kadang-kadang tidak kita lihat dengan mata kepala.

Jadi, qanun ini pada hemat saya mesti membuka space yang luas kepada akses pembiayaan. Bank kita sedikit, apalagi hanya Aceh yang menetapkan satu sikap single banking system ini. Tidak ada di tempat lain.

Saya yang lalu ke Padang. Apa di Padang itu tidak Islami? Sumbar itu sangat Islami, tapi tidak ada seperti kita. Selalu berulang saya sampaikan, size ekonomi kita kecil. Kontribusi kita untuk nasional itu hanya di bawah 2 persen. Di pulau Sumatera hanya di bawah 5 persen sumbangan ekonomi kita. Jadi, sudah kecil, kita isolasi lagi.

Kalau begini kejadiannya apa? Kan kita yang mengalami semuanya. Apakah kita tidak melihat bagaimana susahnya dunia usaha? Di sana mereka juga punya kewajiban membuka lapangan pekerjaan, ada kewajiban dia selesaikan pajaknya, biaya sosial segala macam. Ini mesti adil. Tidak bisa kita sepihak. Apalagi yang menyampaikan itu hanya sebagian satu dua yang mungkin dia hanya mendapat gaji setiap bulan tanpa ada usaha, tanpa ada perusahaan, tanpa ada beban segala macam. Tidak adil ini.

Jadi, saya pikir pemerintah mesti hadir membuka keadilan ini sehingga semua pihak, semua pelaku usaha punya akses yang sama. Ini yang ingin saya sampaikan. Tidak boleh kita begini, “Pokoknya. Pokoknya.” Tidak boleh. Lihat fakta yang ada.

Apalagi misalnya kalau kita ingin kembali kepada UUPA. UUPA kan sebuah sistem ekonomi yang sangat terbuka. Kita bisa ekspor, kita bisa impor. Tentu akan ada hubungan-hubungan dagang kita dengan pihak-pihak asing dan pihak-pihak luar.

Bagaimana dengan Sabang? Kita ingin menjadikan dia sebagai Hub Port. Bagaimana dengan situasi ini? Ini kan kita luput selama ini.

Jauh sebelumnya ketika qanun ini dibahas, sudah saya sampaikan ini akan ada implikasinya, bahkan saat itu saya minta waktu kalau bisa 10 tahun jedanya. Jangan langsung kita laksanakan, tapi sayang apa yang saya sampaikan tidak pernah di -maaf- seakan-akan diabaikan begitu dan ini kita sudah tuai hasilnya. Coba lihat.

Belum lagi kalau saya bicara jumlah angka yang menganggur di Aceh. Soal kemiskinan masih tetap sama seperti 5 atau 6 tahun yang lalu. Kita ini makin sulit malah saya lihat. Ekonomi kita makin stuck, makin berkontraksi, makin terlingkupi oleh hal-hal yang kita blok. Ini dampaknya dan ini yang tidak kita lihat selama ini.

Jadi, tolonglah sama-sama kita ingin Aceh ini lebih baik. Kita jangan dikungkung oleh sikap yang seakan-akan kita yang paling benar. Lihat faktualnya, anak-anak kita lulusan Unsyiah, Unimal, UTU, butuh lapangan pekerjaan. Kalau nanti susah anak-anak kita mendapatkan pekerjaan maka imbasnya kepada kita juga, akan timbul kejahatan, akan menambah kemiskinan. Nah, ini siapa yang akan bertanggungjawab?

Dalam hal ini saya sepakat bahwa pemerintah mesti hadir mendudukkan persoalan dan tidak boleh sepihak. Lihat semua pihak sehingga tidak terkesan bahwa ini sesuatu yang, “Mesti begini.”

Dalam perkembangan terbaru, karena tekanan pihak yang tak setuju revisi, rencana revisi gagal. Apa tanggapan Anda?

Ini kembali kepada eksekutif dan legislatif. Saya tidak dalam domain itu, tapi yang saya lihat keduabelah pihak eksekutif-legislatif itu punya mata dan analisa. Ajak semua elemen duduk. Undang pengusaha duduk bersama. Bahas itu, nanti akan ada solusinya dan apa kebutuhan kita ke depan.

Saya tidak dalam kapasitas untuk mengklaim “mesti”, tidak, tapi coba lihat, tidak hanya konseptual, tapi lihat faktual. Lihat apa yang Aceh butuhkan saat ini. Tidak bisa kita mengklaim sesuatu tanpa melihat apa yang ada dan apa yang diberikan Aceh ke depan.

Saya pikir Pak Gubernur dan Dewan perlu duduk bersama. Ambil solusi yang paling bagus untuk Aceh hingga ada kemaslahatan. Saya sepakat dengan Pak Danial tadi, harus ada kemaslahatan ekonomi apabila kita sepakat bahwa qanun LKS tetap kita jalankan, tetapi ada space yang kita buka sehingga dunia usaha juga tidak seperti saat ini.

Saya duduk, lho, sama pelaku usaha yang satu dua adalah teman saya. Beliau juga menyampaikan keluhannya. Dan yang paling lucunya sekarang ini, bank-bank konvensional yang ada di Medan itu datang ke Aceh. Bukan bank-nya yang datang, tapi ada personalnya yang datang, bertemu dengan pelaku usaha. Bayangkan, dia main tanpa ada lembaga bank, tapi tetap dia datang dari Medan ke Aceh untuk bisa menghimpun uang yang ada di Aceh. So, ini apa maknanya? Ada sebuah kebutuhan yang memang dunia usaha juga butuh itu, tapi siapa yang bisa menjawab ini? Jadi, jangan sampai juga kita menjadi manusia yang munafik kan? Jangan sampai kita munafik.

Belum lagi kalau kita lihat semua teman-teman juga masih punya card bank konvensional. Ada apa dengan kita? Jangan sampai kita dalam situasi dijebak seakan-akan kita yang paling benar.

Saya ingin semua pihak, bukalah. Lihat Aceh yang lebih luas ke depan. Bagaimana Aceh bisa maju ke depan? Sudah size ekonomi kita kecil, tapi kita kungkung lagi, mau jadi apa kita?

Di sana ingat, kita butuh menggenjot pertumbuhan ekonomi. Saya selalu sampaikan itu, mengapa? Ekonomi kita butuh kita genjot, supaya apa? Bisa menciptakan nilai tambah yang lebih besar, bisa meningkatkan output. Imbasnya apa? Penciptaan lapangan pekerjaan dan bisa mengentaskan kemiskinan. Ini yang tidak dipahami oleh adik-adik kita termasuk -maaf- oleh anak-anak saya sebagai mahasiswa. Jadi, mesti kita buka wacana ini sehingga dia tahu apa imbas dan dampaknya. Ini besar sekali dampaknya. Bukan sebab masalah BSI saja, tapi ini ada efeknya. Ada dampaknya kepada ekonomi Aceh ke depan. Bagaimana kita genjot bisa tumbuh diangka 5 atau 6 persen ke depan, kalau ini yang kita buat?

Saya pikir ini mesti menjadi bahan semua pihak. Cobalah ada sikap yang lebih bijak sedikit. Wise sehingga kemaslahatan ekonomi yang disampaikan oleh Pak Danial ini bisa kita jawab.

Jika tak ada revisi, secara ekonomi dan bisnis apa yang akan kita terima sebagai konsekuensi pemberlakuan single banking system?

Konsekuensinya kita tetap pada posisi ini. Apa yang kita alami, ekonomi kita tidak bisa bangkit kemudian lapangan usaha sektor keuangan akan tetap mengalami minus. Nilai tambah tidak ada di sana. Dan yang kedua, kalau kita melihat akses pembiayaan ke berbagai usaha juga makin terbatas dan makin susah ke depan. Makin sulit. Coba lihat ke depan.

Saya punya angka-angka itu, semuanya. Jadi, yang saya sampaikan bukan hanya dengan diksi-siksi, tapi data kita juga bermasalah. Coba lihat apa yang disampaikan oleh Bank Indonesia, kita selalu mengalami angka pertumbuhan yang mengalami kontraksi di sektor keuangan dan masih minus sudah setahun lebih, bayangkan itu. Efeknya adalah kepada lapangan pekerjaan, kepada ekonomi kita, dan juga akan berimbas kepada kemiskinan. Tidak akan ada kemajuan Aceh. Susah untuk maju kalau begini kita.

Bagaimana anda menilai argumentasi dari pihak yang menolak revisi Qanun LKS ini? Apakah didasarkan pada data dan fakta serta argumentasi yang masuk akal?

Tidak melihat data, yakin saya. Kalau adik-adik kita itu khususnya mahasiswa saya, kalau melihat data dia pasti tidak mau. Ini yang selalu saya katakan bahwa banyak pihak yang tidak memakai data dalam melakukan analisa. Hanya dilsi-diksi saja dan ini yang harus kita buka kepada publik.

Coba lihat angka BI pada TW I, TW II sampai TW IV modal kerja kita masih minus dan total pembiayaan yang disampaikan oleh pihak Bank Indonesia itu setahun yang lalu mengalami penurunan. Ini akibat ekses itu. Dan ini yang tidak dilihat oleh teman-teman. Lihat datanya, jangan kita menyampaikan sesuatu hanya, “Pokoknya. Pokoknya. Pokoknya.” Salah itu. Keliru itu.

Kita butuh injeksi ekonomi yang lebih bagus ke depan dan itu hanya bisa kalau akses pembiayaan itu kita buka, tidak kita tutup. Ini persoalan. Saya sudah kemana-mana, tidak ada yang begini. Hanya Aceh yang begini. Mohon maaf, kalau saya agak sedikit lebih tegas. (Lia Dali)

Berita Terkait

Berita Terkini

Google ads