Terkait Qanun LKS, OJK: Tidak Dinyatakan Secara Jelas Bahwa Lembaga Keuangan Non-Syariah Harus Tutup

Polemik tentang penutupan bank konvensional di Aceh dan belum maksimalnya layanan bank syariah telah menjadi pembicaraan yang luas di Aceh akhir-akhir ini. Redaksi menerbitkan seri wawancara eksklusif dengan sejumlah narasumber penting, ini merupakan seri terakhir dari 10 seri wawancara.

Pemerintah Aceh telah mengeluarkan Qanun Nomor 11 tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (Qanun LKS) dalam upaya mewujudkan pelaksanaan syariat Islam secara kaffah di Aceh.

Sejalan dengan Qanun LKS tersebut, Bank Syariah Indonesia (BSI) akan melakukan proses penyatuan sistem yang diperkirakan dimulai pada Juni 2021. Adapun penyatuan tersebut meliputi sistem tiga bank syariah, yaitu Bank BRI Syariah, Bank Mandiri Syariah, dan Bank BNI Syariah yang telah melebur menjadi satu sistem, yakni Bank Syariah Indonesia (BSI).

Kepala Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Perwakilan Aceh, Yusri menyebutkan ada sekitar 1,4 juta nasabah konvensional di Aceh belum migrasi ke BSI sesuai dengan Qanun LKS. Dia menghimbau agar nasabah yang belum melakukan migrasi tersebut segera melakukannya untuk menghindari konsekuensi  mengurus segala administrasi ke provinsi tetangga.

Menurut Yusri  saat ini Pemerintah Aceh sedang menyusun sebuah peraturan gubernur (pergub) turunan dari Qanun LKS mengenai saksi-sanksi bagi masyarakat yang tidak tunduk kepada qanun tersebut.

Berikut wawancara lengkap Lia Dali dari Kantor Berita Radio Antero dengan Yusri.

Apakah dalam Qanun No 11 tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah disebutkan secara jelas bank konvensional harus tutup di Aceh?

Qanun Nomor 11 itu tidak menyatakan secara jelas bahwa lembaga keuangan yang non-syariah harus tutup, tidak. Pertama, di pasal 6 yang diatur adalah setiap orang yang tinggal di Aceh wajib untuk tunduk kepada qanun. Kedua, lembaga keuangan yang berhubungan atau bertransaksi dengan Pemerintah Aceh wajib bertransaksi dengan sistem syariah. Berikutnya adalah, bagi non-muslim dapat menundukkan diri.

Jadi, yang diatur di situ adalah pertama orangnya, orang Acehnya, yang kedua lembaga keuangan yang memang berurusan atau berhubungan transaksi dengan pemerintah, itu memang wajib sedangkan yang lainnya dapat menundukkan. Artinya, kalau kata “dapat” kan boleh ya, boleh tidak. Pada pasal 65 di atur satu lagi yang menjadi kunci bahwa lembaga keuangan yang ada di Aceh wajib menyesuaikan diri untuk menjadi lembaga keuangan syariah, diberi batas waktu tiga tahun, yaitu dari start 4 Januari 2019 – 4 Januari 2022.

Nah, di situlah kemudian oleh lembaga keuangan konvensional yang ada di Aceh mendefenisikan bahwa, “Oh, pasar kami kalau begitu tidak ada lagi di Aceh.” Sudah ditutuplah, bukan tidak ada. Artinya, sudah sangat-sangat sedikit pasarnya, mencari nasabahnya sangat sedikit. “Kalau begitu, ya sudah. Berarti memang sudah tertutup pasar kita di sini. Kita harus bergerak mencari pasar baru.”

Nah, untuk mengejar peluang pasar yang baru di Aceh, yaitu pasar syariah maka mereka harus punya unit syariah, yang sudah ada syariah tinggal proses migrasi oleh mereka. Berpindahlah dari nasabah konvensional yang dia punya dia pindahkan ke syariah, yang belum punya? Ya, diberi dua opsi: silakan buka unit syariah yang memang belum ada di sini atau kalau memang tidak ada, ya sudah karena memang tidak ada pasar, silakan cari pasar yang lain.

Bagaimana dengan nasabah yang tidak bersedia dikonversi ke rekening bank syariah?

Harus dipahami dulu oleh masyarakat kita bahwa qanun ini yang diatur rakyatnya, orang Acehnya. Jadi, orang Aceh itu sudah harus tunduk kepada qanun ini. Kalau sudah diatur bahwa orang Aceh harus bertransaksi syariah, harus dengan perbankan syariah atau harus dengan industri keuangan syariah maka orang Aceh harus sadar bahwa ini sudah ada peraturan yang mengikat secara langsung orang Acehnya.

Sebenarnya, begitu dia terikat tidak ada pilihan untuk orang Aceh, untuk masyarakat Aceh yang beragama Islam memang harus mengikuti qanun ini, mengikuti peraturan bahwa dia harus pindah ke syariah.

Pertanyaannya, “Kalau kami tetap enggak mau, gimana?” Ini pemerintah sedang menyusun turunan dari qanun itu, namanya pergub mengenai saksi-sanksi. Nanti akan ada sanksi bagi masyarakat yang tidak tunduk kepada qanun.

Permasalahan teknis berikutnya adalah kalau misalnya mereka tetap tidak mau maka akan terjadi begini, “Kalau saya tadinya punya rekening konvensional sekarang saya tidak mau. Pokoknya tetap saja saya rekening konvensional.” Permasalahannya, “Kalau suatu saat saya butuh secara administratif dengan bank konvensional,.” Bank konvensionalnya sudah tidak ada lagi di sini.  Nah, kan jadi urusan, jadi masalah, “Saya harus mengurusnya kemana, ya? Kantor terdekat di mana?” Medan mungkin.

Nah, misalnya contoh yang paling sering dibicarakan orang, pakai ATM nih, kan boleh di ATM mana pun, boleh di konvensional, boleh syariah. Nah, tiba-tiba ATM saya ketelan. Saya mau mengurus ATM itu, ATM baru atau menarik mengembalikan ATM saya kemana? Kantor konvensionalnya sudah tidak ada lagi di Aceh maka saya untuk mengurus kartu ATM saja harus pergi ke Medan. Nah, inilah kira-kira permasalahan kalau masyarakat Aceh yang masih tetap mempertahankan konvensionalnya, tetapi nanti kantornya tidak ada lagi di Aceh. Ini akan menjadi masalah.

Bagaimana dengan nasabah non-muslim? Apakah nanti di Aceh ATM bank konvensional pun tidak tersedia?

Kalau melihat permintaan qanun itu bahwa seluruh lembaga keuangan wajib menyesuaikan diri dengan qanun, ini artinya yang konvensional tidak ada lagi nanti di sini. Bagaimana dengan nasabah non-muslim? Nah, diberi pilihan: dia boleh tunduk boleh tidak. Kan gitu. Boleh ikut qanun boleh tidak, tetapi permasalahannya pada saat pilihan dia itu tidak ada lagi di sini maka secara otomatis kan dia harus syariah juga. Jadi, sebenarnya dia boleh-boleh saja konvensional, tetapi permasalahannya konvensional tidak punya lagi kita di sini.

Bagaimana dengan 1.4 juta rekening bank konvensional yang belum bersedia dikonversi, apakah “pemindahan” layanan ke Sumatera Utara merupakan upaya “paksa”?

Jadi begini, pertama kita minta kepada semua perbankan konvensional yang masih memiliki data nasabahnya yang belum mau pindah, masih ada waktu sampai dengan tanggal 4 Januari 2022 atau paling tidak cut off-nya 31 Desember bagi bank-bank itu. Artinya, ajakan secara masif kepada nasabah-nasabah mereka yang belum pindah, itu harus dilakukan secara besar-besaran, secara langsung ke orangnya. Kalau itu terbatas maka kita minta kepada mereka umumkan baik itu lewat kantornya, langsung lewat persurat, lewat media, lewat WhatsApp grup, segala macam. Pokoknya segala sarana umumkan kepada masyarakat atau nasabah yang belum mau pindah kepada syariah.

Kalau itu sudah kita lakukan artinya bank nanti pada saat dia berpindah dia sudah bisa melepaskan diri bahwa, “Kami sudah umumkan, kami sudah ajak, berbagai media sudah kita minta untuk memindahkan.” Kalau tetap tidak mau juga, bank tidak boleh memaksa karena apa? Itu kan keinginan nasabahnya. Bank tidak boleh memaksa, harus sesuai dengan keinginan si pembuka rekening.

Nah, tentunya harus diberitahu juga konsekuensi dari ketidakmauan dia seperti apa. Kalau sudah diberi tahu tidak mau juga, ada konsekuensinya dia mengerti juga, ya sudah berarti dia memang tidak mau. Kalau terjadi apa pun permasalahan dengan transaksinya maka itu tanggung jawab si nasabah. Berlepas dirilah bank.

Bagaimana jika ada nasabah yang menggugat agar bank konvensional tetap ada di Aceh, apa tanggapan OJK?

Itu hak-hak nasabah. Hak nasabah itu kan bisa saja. Hak masyarakat secara umum kan boleh-boleh saja menggunakan untuk menggugat apa pun, tetapi permasalahannya yang harus dipahami, bank itu bukan tidak mau membuka konvensional di sini, tetapi pasarnya sudah tidak ada lagi. Coba, ada dia di sini, tetapi tidak ada nasabah, mau ngapain dia di sini? kan rugi dia. Tidak ada kan bisnis yang mau bercokol di satu tempat, tetapi dia rugi. Nah, kira-kira begitu.

Jadi, bukan banknya yang tidak mau, tetapi kondisinya yang memungkinkan dia tidak boleh, tidak bisa lagi di sini. Jadi, mau digugat apa pun, dia kan nanti bilang, “Bisnis kami tidak ada lagi di sana, emangnya mau ngapain kami di Aceh?”

Ada satu titik: tidak ada potensi, tetapi dia paksakan keberadaannya di situ, itu namanya ngambil rugi.

LIA DALI

Berita Terkait

Berita Terkini

Google ads