Terkait Qanun LKS, Tim Perumus: Tujuan Qanun Bukan Menutup Bank, Tetapi Membebaskan Rakyat Aceh Dari Riba

Polemik tentang penutupan bank konvensional di Aceh dan belum maksimalnya layanan bank syariah telah menjadi pembicaraan yang luas di Aceh akhir-akhir ini. Redaksi menerbitkan seri wawancara eksklusif dengan sejumlah narasumber penting, ini merupakan seri 6 dari 10 seri wawancara.

Pemerintah Aceh menerbitkan Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (Qanun LKS). Beleid ini mengatur bahwa seluruh lembaga keuangan termasuk bank yang beroperasi di Aceh wajib melaksanakan sistem operasionalnya berdasarkan prinsip syariah.

Qanun LKS menjadi terobosan penting dalam membangun ekonomi Islam di Aceh, seiring dengan keistimewaan pelaksanaan syariat Islam. Qanun ini akan mulai diterapkan pada Januari 2022 mendatang. Berdasarkan ketentuan, seluruh lembaga keuangan yang beroperasi di Aceh wajib mengimplementasikan Qanun LKS ini paling lama tiga tahun sejak kebijakan ini diundangkan pada 4 Januari 2019.

Menyikapi hal ini, sejumlah manajemen bank yang tidak memiliki unit usaha syariah atau tidak berniat mengalihkan sistem konvensionalnya ke lini bisnis syariah memilih meninggalkan Aceh. Keputusan ini terpaksa mereka ambil karena ketidaksesuaian sistem bisnis yang mereka jalani dengan amanat dalam Qanun LKS.

Namun demikian, mantan anggota Tim Perumus Qanun Lembaga Keuangan Syariah (LKS), Dr. Aliamin, S.E., M.Si., Ak, CA, mengatakan Qanun LKS tidak bermaksud menutup bank konvensional, tetapi ingin membebaskan rakyat Aceh dari dosa riba sehingga Pemerintah Aceh menghadirkan satu qanun yang berhubungan dengan keuangan Islam dan melarang rakyat Aceh baik beragama Islam maupun non-Islam berhubungan dengan bank konvensional.

Berikut wawancara lengkap Jay Musta dari Kantor Berita Radio Antero dengan Aliamin.

Apa kontribusi pemikiran Anda sebagai anggota Tim Perumus Qanun LKS?

Pertama background saya memang dibidang Akuntansi Syariah. Penelitian S3 saya tentang baitul mal. Kontribusi Baitul Mal yang Ada Di Aceh. Setelah ditunjuk sebagai salah seorang pansus Qanun LKS di DPRA maka saya bersemangat sekali karena pertama, baitul mal adalah satu-satunya lembaga keagamaan yang masuk ke wilayah pemerintah yang istilahnya konvensional. Sebagai bagian dari lembaga negara, dalam hal ini diakui oleh Pemerintah Aceh. Belum memang secara nasional, tetapi lembaga baitul mal sudah diakui sebagai badan setara dengan Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA). Kemudian yang kedua, satu-satunya di dunia yang direpesentasikan Pemerintah Aceh bahwa dana keagamaan, yaitu zakat, infak, sadaqah dan luqabah, luqabah itu barang temuan, dimasukkan sebagai bagian dari Pendapatan Asli Daerah atau Pendapatan Asli Aceh kalau provinsi. Pendapatan Asli Kabupaten/Kota kalau di kabupaten/kota. Pengakuan terhadap dana keagamaan di dalam pemerintahan konvensional merupakan terobosan dan di dunia ini hanya ada di Aceh.

Bagaimana implementasi Qanun ini sekarang sehingga bank konvensional tutup di Aceh? Apakah demikian tujuan Qanun ini?

Tidak. Tujuan qanun itu bukan menutup bank, tetapi yang pertama ingin membebaskan rakyat Aceh agar tidak termakan riba karena apa pun namanya bank konvensional itu identik dengan riba. Kemudian yang kedua, pada waktu Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di Jakarta, satu-satunya pembentukan qanun RDPU-nya ada di Jakarta, belum pernah terjadi selama ini. Dalam rangka untuk mengkonfrontir terhadap perbankan yang berkantor pusat di Jakarta dengan menghadirkan lembaga kenegaraan, seperti misalnya Direktur Jenderal Otonomi Daerah atau Kementerian Dalam Negeri bahwa pemerintah Aceh ingin menghadirkan satu qanun, peraturan daerah, legislasi yang berhubungan dengan keuangan.

Kami sebagai konsultan atau pun staf ahli sebenarnya tidak ada hak berbicara, kami hanya dibelakang pansus DPRA, yang berbicara adalah mereka. Kami hanya mencatat dan merumuskan apa-apa yang menjadi pendapat dari kelembagaan termasuk dari Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Pada waktu itu ditanya oleh Bank Indonesia dan OJK, “Mengapa Pemerintah Aceh menghadirkan Lembaga Keuangan Syariah dan menghapus perbankan konvensional? Aceh itu kan bahagian dari Republik Indonesia jadi tidak boleh melarang-larang seperti itu.” Begitu ditanya oleh Bank Indonesia dan OJK. Anggota DPRA pada waktu itu mungkin karena diserang dalam keadaan kosong dan juga Dirjen Otonomi Daerah serta Ketua Pansus, hening sebentar. Nah, karena terdiam sebentar, saya tunjuk tangan kepada moderator, “Boleh saya bicara?” Saya katakan kepada yang mewakili Bank Indonesia dan OJK bahwa Pemerintah Aceh tidak melarang hadirnya bank konvensional, tetapi yang dilarang itu adalah pada pasal 6 bahwa Pemerintah Aceh melarang rakyatnya baik beragama Islam maupun non-Islam berhubungan dengan bank konvensional. Itu yang dilarang, bukan dilarang kehadirannya, “Tetapi kan sama saja itu, kalau dilarang berhubungan berarti institusinya bakal tidak ada orang yang datang ke bank, akhirnya kolaps sendiri bank itu.”

Jadi, intinya tidak melarang kelembagaan, tetapi melarang rakyat Aceh baik beragama Islam maupun non-Islam berhubungan dengan bank konvensional.

Bank Indonesia berkilah karena bank konvensional tidak layak secara bisnis akibat nasabah pindah ke bank syariah, padahal realitasnya kita tahu nasabah “dipaksa” pindah karena mereka akan tutup kantor. Apa tanggapan Anda?

Tidak dipaksa pindah, tetapi dipaksa supaya rakyat Aceh tidak berhubungan dengan bank konvensional. Tidak dipaksa pindah. Tidak, tetapi pindah sendiri. Ini kan setara dengan hukum-hukum yang lain. Saya katakan kepada mereka, tidak ada larangan menurut undang-undang bahwa Pemerintah Aceh berwenang untuk melarang rakyatnya berhubungan dengan riba. Ini juga dalam bidang pidana, hukum, Aceh sudah menerapkan cambuk, hukum ini, hukum itu yang sesuai dengan syariah, kan diizinkan untuk hadir. Mengapa Lembaga Keuangan Syariah yang sebenarnya juga sangat vital untuk rakyat Aceh dilarang?

Bagaimana implementasi konsep syariah pada bank syariah sekarang ini? Apakah murni syariah?

Sekarang ada dua hal, pertama adalah bank syariah seperti yang hadir sekarang kemudian bank syariah murni syariah. Kalau kita bicara tentang murni syariah, secara teoritis tidak ada bank yang beroperasi di seluruh dunia sesuai dengan syariah karena kalau bank syariah tidak seperti yang kita gambarkan pada saat sekarang ini bahwa ada tempat menyimpan uang, menyalurkannya kepada nasabah dalam bentuk pembiayaan dan mendapatkan hasil. Itu tidak.

Nah, kalau bank secara murni adalah bank sebagai tempat melakukan transaksi bisnis yang tidak ada hubungannya dengan pemberian uang secara murni, tetapi ada instrumen ekonomi yang memungkinkan bank tersebut mendapatkan keuntungan, misal ada namanya akad murabahah, jual beli. Kalau seseorang ingin mendapatkan kenderaan Rp200 juta misalnya dengan DP (down payment) RP50 juta, berarti harga pokok RP150 juta. Bank mengatakan, “Mobil ini kami beli kemudian kami jual untuk Anda Rp200 juta, dikurangi DP Rp50 juta.” Berapa keuntungan yang engkau berikan kepada bank? Tawar-menawar. Itu bank murni. Jadi, bank membeli kenderaan pada dealer kemudian dijualnya kembali kepada nasabah.

Tidak seperti sekarang, misalnya diberikan dalam bentuk uang, diwakalahkan atau diwakilkan, “Tolong, ya, kami tidak sempat untuk membeli kenderaan. Beli sendiri.” Yang diberi kan uang.

Nah, dalam murni perbankan tidak ada hubungannya dengan uang. Artinya, kalau memang butuh kenderaan, kenderaannya dibeli baik dibayar tunai maupun tangguh. Butuh rumah, dibelikan rumah.

Ada juga yang namanya mudharabah. Mudharabah itu adalah dua pihak, yaitu bank dan entrepreneur diberikan uang. Nanti bagi hasilnya, profit sharing, itu ditentukan dan lebih banyak kepada orang yang mengelola uang. Mudhari’. Tahibul Mal Bank. Konsep yang seperti ini belum terealisir. Paling ada musyarakah. Musyarakah juga sedikit sekali. Paling banyak adalah murabahah karena resikonya rendah. Murabahah juga belum murni. Kalau murni jatuhnya akan mahal karena akan ada double tax. Ada pajak berganda, dibeli oleh bank dari dealer terkena PPN, dijual ke nasabah terkena PPN. Berarti PPN-nya double, jatuhnya nanti harganya mahal. Makanya untuk sementara ini belum syariah, tetapi paling tidak sudah menuju syariah dan diinginkan supaya bebas dari riba.

Apa saja yang belum dipenuhi oleh bank syariah jika kita merujuk Qanun LKS ini?

Ini ada Bank Syariah Indonesia (BSI). Ada tiga bank yang meleburkan diri. Nah, untuk Aceh bukan tiga, tetapi enam. Mengapa enam? Karena membawa induknya. Tidak mungkin induknya keluar dari Aceh, misalnya Bank Mandiri ada anaknya Bank Syariah Mandiri. Bank Syariah Mandiri sudah masuk ke BSI kemudian Bank Mandiri-nya meleburkan diri ke BSM menjadi BSI. Demikian juga dengan Bank BRI. BRI sudah ada BRI Syariah karena dia bergabung dengan sama-sama syariah tiga bank ini maka induknya juga ikut bergabung meleburkan diri ke BRI Syariah yang bergabung dengan BSI. Demikian juga dengan BNI, BNI Syariah sudah hadir di Aceh karena meleburkan diri menjadi BSI, induknya juga BNI ‘46 meleburkan diri kepada anaknya dan anaknya meleburkan diri kepada BSI.

Jika memang belum sepenuhnya sesuai dengan konsep Qanun LKS, mengapa masyarakat “dipaksa” menjadi nasabah bank syariah? Bukankah ini melaksanakan syariah tapi dengan cara yang tidak bersyariah?

Ini karena misperception. Jadi, dilihat seolah-olah bank konvensional itu sudah lengkap instrumen ataupun fasilitas yang ada padahal Bank Indonesia sudah mengintruksikan kepada bank syariah yang meleburkan diri, tidak akan ada kendala bisnis dalam berhubungan dengan pihak non-konvensional misalnya soal ekspor, impor, konversi, transaksi ini-itu. Tidak ada sedikit pun. Hanya misperception jadi tidak mengerti bahwa seolah-olah ini memaksa, tetapi kalau memang berhubungan dengan riba, ya dipaksa karena ini merupakan prinsip sebagai orang yang beragama Islam.

Apa langkah-langkah yang mesti dilakukan untuk pembenahan bank syariah yang sesuai konsep Qanun LKS? Upaya “paksa” apa yang harus dilakukan terhadap bank tersebut?

Beberapa bank sudah mulai mempersiapkan diri untuk pindah ke induknya. Sudah ada pembentukan Dewan Syariah Aceh. Berikutnya nanti akan diusahakan pembentukan Dewan Syariah di kabupaten/kota. Transaksi-transaksi yang sifatnya multiyear rmisalnya pembiayaan multi tahun, itu tetap hadir. Bank Mandiri tetap ada di Aceh, Bank BNI tetap ada di Aceh kemudian Bank BRI konvensional juga tetap ada di Aceh. Jadi, ketiga bank ini tetap hadir di Aceh, tetapi tidak melayani proses operasional seperti biasanya. Namun, melayani hal-hal yang barangkali dalam internal perbankan konvensional masing-masing tidak bisa diberikan kepada anaknya.

LIA DALI

Berita Terkait

Berita Terkini

Google ads