Badan Reintegrasi Aceh (BRA) dalam Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) 2021 menganggarkan Rp1,2 M untuk pengadaan ribuan lembar handuk yang akan disalurkan kepada masyarakat korban konflik dan mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Ada puluhan ribu lembar handuk yang akan dibeli menggunakan APBA 2021, di mana per lembar memakan biaya Rp100 ribu.
Kepala Bagian Data, Program dan Keuangan Badan Reintegrasi Aceh, Nurmalis, mengatakan penyebutan handuk di dalam DPA APBA 2021 pada lembaga tersebut hanyalah sementara untuk mempermudah penghitungan. Nurmalis menjelaskan anggaran Rp1,2 M itu sebenarnya untuk pemugaran ratusan makam syuhada di Aceh Besar serta bantuan sosial lainnya. Namun, saat dimasukkan dalam aplikasi SIPD (Sistem Informasi Pembangunan Daerah), komponen pemugaran makam tersebut belum tersedia. Pihaknya sedang menunggu revisi anggaran dari Kementerian Dalam Negeri.
Beredarnya rencana pengadaan puluhan ribu handuk tersebut menuai kecaman dari sejumlah pihak. Salah satunya Alumni Perdamaian Mindanao, Filipina (MPI),
Andy Firdaus Lancok. Menurut Andy Badan Reintegrasi Aceh tidak punya kapasitas untuk mengelola dengan serius dana yang seharusnya dinikmati oleh korban konflik dan mantan kombatan GAM.
Berikut wawancara lengkap Lia Dali dari Kantor Berita Radio Antero bersama Andy Firdaus Lancok.
Apa jalan pikiran orang yang set program pengadaan handuk ini di BRA menurut Anda? Apakah korban konflik dan mantan kombatan GAM dipikirnya jarang mandi?
Hahaha. Ini kan sebenarnya ada satu kekacauan dalam pengelolaan keuangan di BRA itu sendiri. Ini kan bocor sebenarnya. Jadi, mereka mencoba-coba bermain dengan uang-uang korban konflik kemudian ternyata terbuka ke publik. Bahkan ketua kemarin mengatakan bahwa memang ada semacam kesalahan input SIPD. Sebenarnya SIPD itu sistem yang bagus, bisa diakses oleh semua orang. Informasi pembangunan daerah, tetapi kemudian yang menjadi tanda tanya kita adalah mengapa harus sekonyol itu? Misalnya, bicara soal penanganan korban konflik ini lembaga-lembaga semacam BRA, KKR, misalnya, ini kan lembaga yang punya marwah.
Saya justru sedih kemarin. Saya pernah di KontraS. Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan. Tahun 2001, saya di KontraS kemudian saya juga seorang jurnalis yang terlibat langsung dengan berbagai persoalan konflik di daerah, di desa-desa. Saya juga korban konflik. Ketika misalnya ada isu-isu terkait dengan itu kemudian BRA mengelola uang sedemikian amburadulnya, ini kan miris kita sekarang. Menyedihkan.
Itu mungkin yang bisa kita gambarkan bagaimana BRA sekarang tidak punya kapasitas untuk mengelola dana yang seharusnya dinikmati oleh korban konflik dengan berbagai persoalannya di desa-desa, di daerah-daerah, di kabupaten-kabupaten, tetapi tidak punya satu metode atau konsep bagaimana menangani korban konflik dengan serius.
Ini program titipan siapa? Apakah dari pokir anggota DPRA Partai Aceh?
Ya. Kita tidak menduga-duga, ya, artinya ini kan permainan yang sangat konyol. Kalau bahasa kasar saya di media sosial, “Mencuri saja saat ini kita harus mengajari mereka.” Seharusnya, mencuri itu kan tidak perlu kita ajari, tetapi untuk pemerintah sekarang mencuri saja harus kita ajari.
Ada apa dibalik kelucuan pengadaan handuk ini? Apakah memang ada indikasi korupsi mengingat harganya Rp100 ribu/ handuk sementara di pasaran kualitas bagus Rp100 ribu bisa dapat 3 handuk?
Hahaha. Ya, makanya ketika viral kemarin di media sosial dan saya juga ikut memviralkan, teman-teman, rekan-rekan. Ada bahasa-bahasa satir yang ditulis, diviralkan oleh publik, misalnya soal harga handuk yang harganya Rp100 ribu/lembar. Ya, kan? Kalau Rp100 ribu/lembar itu kan standar Informa sebenarnya. Kalau di Matahari bahkan Rp100 ribu itu tiga lembar. Begitu-begitulah. Kalau kita lihat misalnya dalam penamaan nama programnya, ini kan ada indikasi dugaan kita bahwa untuk memudahkan mencuri sebenarnya. Bahasa kasarnya kan begitu. Jadi, tinggal datang 40.000 lembar handuk dan itu bisa dibeli satu paket kemudian datang ke Tanah Abang atau ke Bandung, tinggal beli. Sangat mudah untuk mencuri sebenarnya. Kalau kita bicara bahasa kasarnya kan begitu.
Ketua KPK sedang berada di Aceh, apakah ada upaya Anda untuk melaporkan hal ini ke KPK?
Sudah. Jadi kemarin kita kan membuat satu gerakan yang viral di media sosial “Rakyat Aceh Undang KPK” itu. Status saya kemarin di media sosial “Rakyat Aceh Undang KPK” kemudian semua meme itu saya kirim ke ketua KPK dan hari ini juga saya kirim. Jadi, saya ucapkan terima kasih kepada ketua KPK yang sudah hadir ke Aceh.
Rakyat Aceh sudah lama jenuh dengan tontonan-tontonan penegakan hukum yang tidak serius sehingga kita berharap kedatangan ketua KPK hari ini adalah bagian dari keseriusan untuk menangani berbagai kasus tindak pidana korupsi karena ada jutaan rakyat Aceh yang hampir tidak percaya terhadap penegakan hukum sehingga ini dianggap sekedar main-main.
Saya sampaikan itu di-WhatsApp ketua KPK. Tadi saya sampaikan. Kemudian ada juga beberapa orang yang menangani pencegahan di KPK pusat, juga saya sampaikan itu, melalui pesan langsung ke WhatsApp makanya ada satu harapan besar sebenarnya kehadiran ketua KPK hari ini ke Aceh untuk mengukuhkan kembali rasa atau trust terhadap penegakan hukum. Termasuk penyakit yang paling kronis pada konteks kemiskinan adalah korupsi maka ini harus betul-betul dapat diobati. Kalau tidak, hal ini akan menjadi penyakit atau wabah bagi birokrasi yang korup ini makanya ada jutaan rakyat Aceh berharap bahwa KPK itu betul-betul serius. Bukan datang ke Aceh seremonial atau datang sekedar kunjungan pejabat biasa, tetapi betul-betul memang ini sebagai warning. Sebagai peringatan untuk pemerintah Aceh bahwa ke depan KPK harus menjadi fokus utama dalam kasus-kasus tindak pidana korupsi.
Baik. Apakah laporan Anda sudah ada tanggapan dari KPK?
Ya, sudah. Jadi setiap saya sampaikan melalui WhatsApp langsung ke ketua KPK, itu memang langsung dibaca kemudian ada tanggapan, misalnya ucapan terima kasih. Melalui Twitter juga saya sampaikan. Selalu saya tag Menteri Mahfud MD, kemudian saya tag Jokowi, saya tag juga KPK. Saya tag juga orang-orang yang terkait, misalnya, Fadjroel Rachman, juru bicara presiden.
Jadi, semua yang terkait dengan isu-isu korupsi di Aceh saya sampaikan, baik itu melalui WhatsApp maupun media-media lain yang saya pikir mereka harus tahu apa yang terjadi di Aceh. Apalagi dana otsus yang sangat banyak yang belum mampu merubah Aceh, menjadi daerah yang tetap miskin dalam data BPS. Ini kan miris sebenarnya. Sudah 16 tahun kita berdamai, ternyata kita masih saja berada dalam status daerah termiskin di Sumatera. Ini catatan-catatan yang membuat kita harus jujur pada diri sendiri dan keadaan yang sebenarnya.
Apakah menurut Anda korban konflik dan bekas kombatan menjadi “proyek” penguasa?
Ya, kalau kita lihat proyek, ya ini jelas proyek, tetapi kan jangan terlalu project oriented. Kalau bahasa kasar saya begini ya. Saya justru sering mengatakan apa adanya. Jadi begini, kalau hanya sekedar makan dalam tanda kutip, kita masih bisa benarkanlah, tetapi kalau sudah memperkaya diri dan kelompok kemudian sudah pada konteks rakus kan tidak bisa kita biarkan lagi, misalnya terkait BRA kemarinlah. Apakah memang betul-betul program itu sesungguhnya untuk bicara soal korban konflik? Kalau 16 tahun sudah perdamaian kemudian programnya masih bagi-bagi handuk, ini logika berpikirnya kan sesat ini, ya kan? Kita posisi pasca konflik sudah 16 tahun, tetapi program BRA masih bagi-bagi handuk. Ini kan logika sesat yang mau dimainkan oleh beberapa lembaga. Kalau memang tidak punya program, sampaikan saja bahwa BRA memang tidak punya program. Sehingga tidak terkesan BRA itu hanya project oriented. Hanya menghabiskan uang rakyat, uang negara, mengatasnamakan korban konflik yang tidak tahu apa-apa.
BRA sendiri berdalih bahwa sebenarnya ini untuk komponen makam syuhada karena belum ada maka BRA mencantumkan nama handuk, sementara, untuk menyelamatkan anggaran
Ini kan sebenarnya sudah jatuh tertimpa tangga. Sudah konyol kemudian ditambah kekonyolan lagi dari pernyataan Kepala Bagian Data dan Program Keuangan. Ini kan sebenarnya lebih memperparah situasi kekonyolan karena kalau kita lihat dalam sisi SIPD yang kita dapatkan, data itu kan DPA. DPA itu Dokumen Pelaksanaan Anggaran. Kalau sudah masuk ke dalam DPA artinya apa? Artinya, SKPK itu hanya bisa menjalankan program, kan sudah masuk dalam DPA persoalannya. Jadi, kalau mau diubah pun itu harus menunggu APBA Perubahan kecuali hal-hal yang sangat mendesak. Itu kan sudah dijelaskan oleh staf Kemendagri bahwa kalau ada perubahan nama program, kalau programnya betul-betul memang mendesak atau memang sangat darurat. Itu bisa, tetapi kalau tidak, misalnya dalam konteks buat program hiburan kemarin kemudian ada pemberian becak segala macam. Apakah program becak itu nanti yang menjadi program darurat yang harus diubah namanya segera? Kan tidak mungkin, makanya ini yang pertama sudah konyol dengan penempatan nama handuk kemudian ditambah lagi konyol yang kedua, memberi pernyataan yang tidak logis sehingga ini pembohongan publik yang kedua kali. Kalaupun mau diubah nama programnya, itu masih di APBA Perubahan dan lain sebagainya. Kalau SIPD itu kan hanya merekam bukan pada persoalan keuangan.
Di sisi lain apakah handuk ini memang dibagikan sebagai simbol kalau Pilkada Aceh gagal dilaksanakan pada 2022 maka kita perlu “lempar handuk?”
Hahaha … makanya begini. Kita jadi lucu ini jadinya. Ya, kan karena satir yang berkembang itu macam-macam, misalnya kalau filosofi dalam tanda kutip, handuk itu saya lempar “tik handok” artinya, kan menyerah. Pada situasi yang seperti ini? Apakah kita sudah menyerah dengan situasi bahwa Aceh tetap miskin dan sebagainya atau memang mantan kombatan sudah menyerah atau mengalah dengan situasi yang seperti ini atau seperti apa?
Jadi, ini semakin liar perkembangannya ketika bicara soal handuk bahkan mantan-mantan kombatan sendiri di media sosial menyinyiri dirinya sendiri. Artinya apa? Misalnya, apakah masih membutuhkan handuk? Begitu-begitulah. Jadi, terlalu banyak satir atau anekdot yang berkembang di media sosial terkait dengan itu. Sehingga apa? Sehingga lembaga yang seharusnya punya marwah atau punya satu kekhususan pasca MoU Helsinki yang bicara terkait dengan korban konflik dan mantan kombatan seharusnya ini betul-betul dirawat dan dijaga lebih baik.
Lembaga semacam ini kemarin ada beberapa isu, contoh, isu ada pelecehan di situ. Isu pelecehan di lembaga itu kemudian yang kedua ada juga isu dugaan jual jabatan. Jadi, kalau misalnya mau jabatan di BRA bayarnya sekian. Kemudian yang terakhir kemarin itu soal anggaran yang dianggarkan untuk touring moge yang alasannya hanya untuk menarik investor. Jadi, ketika pernyataan itu terkait dengan touring moge, ini kan mengada-ngada sebenarnya. Mengapa tidak disebutkan saja misalnya anggaran moge itu hanya untuk menyenangkan pimpinan, misalnya, gubernur karena hobinya adalah moge. Kan begitu. Jadi, jangan ngeles-ngeleslah. Publik tahulah. Sekarang informasi publik sudah bisa diakses dengan berbagai tekhnologi dan sebagainya. Sehingga apa pun yang dibuat BRA hari ini, itu betul-betul sensitif konfliklah. Minimal lembaga semacam BRA ini punya satu kepekaan yang betul-betul peka terhadap apa yang terjadi pada korban konflik dan mantan kombatan di daerah-daerah.
LIA DALI