Budayawan dan Kolektor Manuskrip Aceh, Tarmizi A Hamid menyarankan agar pembangunan yang sudah ada di proyek IPAL Gampong Pande diubah menjadi Museum Cagar Budaya, karena ribuan artefak sejarah Aceh di lokasi tersebut sudah banyak ditemukan.
“Dari pada masyarakat Aceh dan Pemerintah kota berdebat lebih baik bangunan yang sudah ada itu dibangun museum alam, karena banyak artefak sudah terbengkalai di situ. Peugah Haba si krak si katoe, asoe nanggroe hanjeut keulola,” kata Tarmidzi melalui keterangannya, Ahad (28/2/2021).
Menurutnya, ketika orang lain di belahan dunia sedang menunjang pembangunan industri pariwisata bidang sejarah dan budaya tanpa memiliki wujud benda, akan tetapi Aceh hari ini memiliki banyak peninggalan berupa benda sejarah yang berhamburan di Gampong Pande maupun yang tertimbun di Gampong Jawa tapi menjadi tidak berguna karena tidak dimanfaatkan.
“Dari pada meu kreuh-kreuh urat takue, leubeh get gunakan potensi yang sudah ada. Padahal potensi tersebut manis sekali Gampong Pande dijadikan sebagai kota warisan,” ujarnya.
Tarmizi mengisahkan, sebagaimana pernyataannya yang dimuat di serambinews.com (11/11/2017) lalu. Dalam catatan sejarah, wilayah tersebut memiliki peran penting dan strategis sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Aceh.
Sesuai dengan namanya, Gampong Pande pada masa kejayaannya adalah tempat para pandai besi, pabrik senjata, dan pusat aktivitas ekonomi kerajaan.
Bagi seorang pengamat sejarah Tarmizi A Hamid, atau akrab disapa Cek Midi mengatakan, kawasan Gampong Pande merupakan areal inti dari berbagai peristiwa sejarah sebab berada di tepi laut dan di bagian muara atau hilir Krueng Aceh.
Kawasan itu dulunya adalah salah satu panggung utama sejarah Aceh dan telah merekam jejak-jejak sejarah yang cukup banyak.
“Dulu, kawasan ini termasuk dalam Mukim Mesjid Raya di mana Daruddunya, istana dan kuta para sultan Aceh juga berada di mukim ini,” ujarnya.
Krueng Aceh sendiri mulai hulu sampai hilir kata Cek Midi merupakan nadi kebudayaan dan peradaban orang Aceh. Dari kawasan di dua tepi Krueng Aceh, orang Aceh telah menyebar ke berbagai tempat di Asia Tenggara.
Sungai atau Krueng Aceh ini harus mendapat penghormatan yang layak. Semua fakta sejarah ini menunjukkan kepentingan dan nilai yang tinggi yang dimiliki kawasan Gampong Pande.
Oleh Karena itu, ia menilai kawasan tersebut sama sekali tidak layak dijadikan tempat pembuangan sampah dan limbah apalagi lumpur tinja.
“Itu sama sekali tidak logis dan tidak masuk ke cita rasa. Saya rasa seluruh masyarakat Aceh akan sependapat dengan saya dalam hal, sebab penempatan lokasi buang sampah dan lain-lain di pinggir Krueng Aceh yang melegenda dan juga di bekas kawasan paling penting dalam sejarah Aceh, ini adalah sesuatu yang tidak dapat diterima baik dari segi adat dan kearifan orang Aceh, atau dari segi cita rasa keindahan,” tutur Cek Midi.