Pelanggar qanun syariat Islam di Aceh kerap mendapat hukuman ganda. Sebelum dicambuk algojo, sebagian dari mereka dipersekusi oleh warga biasa.
Tubuh perempuan itu tersentak setiap kali cambuk mendera punggungnya. Cahaya, sebut saja namanya begitu, menjalani hukuman cambuk di halaman Masjid Baitul Musyahadah, Banda Aceh, pada 29 Oktober lalu. Respsionis salah satu hotel di Banda Aceh itu dihukum bersama kekasihnya, panggil saja namanya Sabda, manajer di hotel yang sama.
Mahkamah Syariah Banda Aceh memvonis pasangan kekasih ini bersalah karena melanggar larangan ikhtilath. Majelis hakim menghukum Cahaya sebanyak 25 kali cambuk. Adapun Sabda dihukum 30 kali cambuk. Hukuman untuk keduanya dikurangi dua kali sabetan karena mereka sudah mendekam di penjara selama dua bulan.
Larangan ikhtilath tercantum dalam Pasal 1 poin 24 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Ikhtilath adalah perbuatan bermesraan seperti bercumbu, bersentuh-sentuhan, berpelukan dan berciuman antara laki-laki dan perempuan yang bukan suami isteri dengan kerelaan kedua belah pihak, baik pada tempat tertutup maupun terbuka.
Pasal 25 ayat (1) mengancam hukuman cambuk maksimal 30 kali atau denda paling banyak 300 gram emas murni atau penjara maksimal 30 bulan jika seseorang terbukti melakukan ikhtilath.
Sebelum dicambuk oleh algojo, Cahaya dan Sabda juga sempat dihakimi warga Desa Ateuk Munjeng, Banda Aceh. Warga menggerebek hotel tempat Cahaya dan Sabda bekerja pada 13 September lalu. Setelah menangkap dua sejoli ini, warga memandikan mereka dengan air comberan dan mengaraknya berkeliling desa.
Ini bukan pertama kalinya massa menghakimi orang yang dianggap berbuat mesum. Pada 5 Maret 2018 lalu, sekelompok warga juga menangkap Sinta, bukan nama sebenarnya, yang kepergok berduaan di rumah pacarnya di kawasan Ingin Jaya Aceh Besar. Setelah memandikan pasangan ini dengan air comberan, massa juga mengarak keduanya keliling kampung. Setelah itu, warga menyerahkan Sinta dan kekasihnya ke polisi syariah (Wilayatul Hisbah) yang kemudian menahan mereka selama 15 hari.
Sinta tak menyangkal bahwa dia kepergok warga ketika sedang berduaan dengan kekasihnya. Tapi, di dalam rumah itu, Sinta mengaku tak melakukan perbuatan mesum. Itulah sebabnya Sinta menolak tawaran “damai” dari sejumlah warga, sebelum dia dan kekasihnya diserahkan kepada Wilayatul Hisbah. Sinta bercerita, kala itu ada perwakilan warga yang mengatakan tidak akan melaporkan dia dan teman lelakinya ke polisi syariah. Syaratnya, pasangan ini harus menyediakan uang Rp 1 juta dan dua ekor kambing. “Tapi kami tak setuju karena memang tak bersalah,” kata Sinta, Rabu pekan lalu.
Setelah menolak berdamai dengan massa yang mempermalukannya, Sinta berusaha membuktikan dirinya tak bersalah di Mahkamah Syariah. Untuk itu, dia meminta bantuan seorang pengacara agar mendampinginya di persidangan. Tapi, pembelaan Sinta dan kuasa hukumnya tidak menggoyahkan kesimpulan hakim syariah bahwa perempuan ini telah melanggar larangan khalwat alias berduaan di tempat tertutup mereka yang berlainan jenis kelamin dan bukan muhrim serta tanpa ikatan perkawinan. Hakim pun menjatuhkan hukuman tujuh kali cambuk kepada Sinta.
Bila Sinta yang didampingi pengacara saja tak bisa lolos dari hukuman cambuk, apalagi yang tidak dibela pengacara. Safarudin, pengacara dari Yayasan Adokasi Rakyat Aceh (YARA), menuturkan, kebanyakan terdakwa yang dituduh melanggar Syariat Islam tak punya akses terhadap penasehat hukum. Pilihan bagi mereka hanya menyangkal tuduhan sekuat tenaga atau mengaku bersalah. Menurut pengacara senior ini, para penegak mestinya lebih pro aktif menunjukkan bahwa pelaksanaan syariat Islam di Aceh juga memperhatikan hak-hak asasi para terdakwa. “Salah satunya dengan memberikan pendampingan hukum bagi mereka yang didakwa melanggar Syariat Islam,” kata dia.
Kepala Seksi Penyidikan dan Penindakan Wilayatul Hisbah Aceh, Marzuki M. Ali, mengatakan, dalam kasus Cahaya dan Sinta, polisi syariah telah melakukan semua prosedur sesuai aturan yang berlaku. “Tugas penyidik melakukan pemeriksaan terhadap saksi, baik saksi tersangka ataupun yang menangkap,” kata dia. Selanjutnya, dalam waktu 1 x 24 jam, penyidik syariah mencari sedikitnya dua alat bukti untuk penetapan status tersangka. “Tersangka dapat ditahan selama proses itu berlangsung.”
Zulkifli Yus, hakim tinggi Mahkamah Syariah Aceh, menyatakan hal senada. Menurut dia, ketika memutuskan hukuman cambuk, hakim merujuk pada dakwaan dan tuntutan jaksa. Melalui proses pembuktian di persidangan, majelis hakim selanjutnya akan menentukan berat atai ringannya hukuman. Dia mencontohkan, menurut Qanun Jinayat, ancaman hukuman bagi pelaku pelecehan seksual terhadap anak adalah 90 kali cambuk. “Bisa jadi yang dituntut jaksa 80 kali cambuk atau kurang, tapi hakim yang menilai berat ringannya hukuman,” kata dia. Dalam beberapa kasus pelecehan seksual terhadap anak, Mahkmah Syariah Aceh juga memutuskan hukuman penjara. Perhitungannya satu kali cambuk dianggap setara dengan hukuman penjara satu bulan.
Hukuman cambuk sejatinya hanya salah satu jenis hukuman yang tercantum dalam Qanun (Peraturan Daerah) Aceh Nomor 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat. Menurut Qanun itu, hukuman terhadap pelanggaran Syariat Islam juga bisa berupa denda, penjara, dan restitusi (ganti rugi untuk korban). Kenyataanya, hakim lebih sering memutuskan hukum cambuk daripada jenis hukuman yang lainnya.
Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat, pelaksanaan hukuman cambuk di Aceh cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Pada periode Juni 2017 sampai Mei 2018, menurut data yang dihimpun Kontras, berlangsung 59 kasus hukuman cambuk di wilayah Aceh. Sedangkan pada periode yang sama tahun sebelumnya, hanya ada 24 kasus hukuman cambuk.
Sejauh ini, pelaksanaan hukuman cambuk di Aceh tak terlepas dari pro dan kontra. Kalangan yang pro umumnya memandang hukuman cambuk sebagai salah satu keistemewaan Aceh sebagai provinsi yang bisa menerapkan hukum pidana Islam. Adapun kalangan yang kontra menganggap hukuman cambuk sebagai hukuman yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia. Mereka menilai hukuman cambuk bertentangan dengan konvensi international, Convention Against Torture. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut pada 28 September 1998, melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tindak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia.
Sorotan terhadap pelaksanaan hukum cambuk juga telah mendorong Gubernur Aceh Irwandi Yusuf mengeluarkan Peraturan Gubernur Aceh Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Pelaksanaan Hukum Acara Jinayat. Beleid ini mengatur hukuman cambuk harus dilaksanakan di kompleks penjara, bukan di tempat umum seperti yang dialami Cahaya dan Sinta. Namun, peraturan gubernur ini belum dilengkapi petunjuk teknis pelaksanaannya. Akibatnya, di berbagai wilayah di Aceh, hukuman cambuk masih berlangsung di tempat-tempat umum.
Meski masih ada pro dan kontra atas hukuman cambuk, Walikota Banda Aceh Aminullah Usman mengatakan tak akan memberikan ruang sedikit pun bagi para pelanggar syariat di wilayahnya . “Kita tak ada persoalan dengan siapa pun yang hadir di sini. Tapi, siapa pun yang melanggar syariat Islam pasti dihukum,” kata dia. ****