Komnas HAM Serahkan Laporan Kasus HAM Berat di Aceh ke Kejagung

Komnas HAM mengirim laporan penyelidikan proyustisia peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis Lainnya kepada Jaksa Agung M Prasetyo. Komnas HAM berharap Kejaksaan Agung segera menindaklanjuti dengan penyidikan.

Komnas HAM menggelar jumpa pers terkait hal ini di kantor Komnas HAM, Jalan Latuharhari, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (6/9/2018). Hadir Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik, Komisioner Komnas HAM Munafrizal Manan, Mochammad Choirul Anam, Amiruddin Al Rahab.

Ketua Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat di Aceh, Choirul Anam, mengatakan, laporan penyelidikan ini telah dikirim kepada Jaksa Agung pada 28 Agustus 2018. Ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 5 juncto Pasal 20 ayat (1) Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, bahwa Komnas HAM wajib meneruskan hasil penyelidikan proyustisianya kepada Jaksa Agung untuk ditindaklanluti dengan penyidikan dan penuntutan.

Choirul menerangkan, peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis Lainnya ini merupakan peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa Aceh dalam status Daerah Operasi Militer (DOM) pada 1989-1998. Di dalam pelaksanaan DOM ini, Pemerintah RI melalui Panglima ABRI memutuskan untuk melaksanakan Operasi Jaring Merah (Jamer) yang menjadikan Korem 011/Lilawangsa sebagai pusat komando lapangan. Pelaksanaan Operasi Jamer dilakukan dengan membuka pos-pos sattis di beberapa wilayah di Aceh.

Menurut Choirul, Pos Sattis yang utama adalah Rumoh Geudong di Bilie Aron Kecamatan Glumpang Tiga, Kabupaten Pidie, hal ini ditengarai juga karena di lokasi ini yang paling banyak korban. Selain Rumoh Geudong Billie Aron ini, terdapat juga beberapa lokasi pos sattis lainnya seperti di Jimjim Gampong Ujung Leubat, Tangse, Kota Bakti, Pintu Satu Tiro, Ulee Gle, Trienggading, Padang Tiji, Lamlo, Pulo Kawa, Meunasah Beuracan, dan lainnya.

Choirul mengatakan, setelah melakukan penyelidikan atas 65 orang saksi Tim Adhoc Penyelidikan Peristiwa Pelanggaran HAM Berat di Provinsi Aceh menyimpulkan Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos-pos Sattis lainnya telah memiliki bukti permulaan yang cukup atas dugaan terjadinya Kejahatan Terhadap Kemanusiaan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 huruf b jo Pasal 9 Undang undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Di antaranya perkosaan atau bentuk kekerasan seksual lain yang setara, penyiksaan, pembunuhan, perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik, hingga penghilangan orang secara paksa.

“Ini memenuhi unsur-unsur, memenuhi syarat-syarat sebagai pelanggaran HAM berat. Sehingga pada tanggal 28 Agustus kemarin kami kirimkan berkas perkaranya kepada Jaksa Agung sebagai penyidik. Jadi ini memang relasinya adalah Komnas HAM sebagai penyelidik, dan Jaksa Agung sebagai penyidik,” kata Choirul.

“Kasus ini kami spesifik memang pada kasus Pos Sattis sebenarnya. Pos Sattis itu pos strategis yang dibentuk oleh ABRI waktu itu di zaman DOM. Spesifik dia memang tujuannya untuk melaksanakan kebijakan DOM untuk mengejar Gerakan Aceh Merdeka. Waktu itu namanya bukan Gerakan Aceh Merdeka tapi Gerakan Pengacau Keamanan Aceh Merdeka. Kenapa kami sebut sebagai Rumoh Geudong? Karena Rumoh Geudong adalah sebuah bangunan yang ada di Kabupaten Pidie, tempatnya itu di samping Pos Sattis yang lainnya, dia adalah Pos Sattis yang paling utama, paling besar, dan paling menarik. Kenapa judulnya adalah Rumoh Geudong dan Pos Sattis Lainnya? Karena Rumoh Geudong adalah Pos Sattis yang paling menarik perhatian periode masa lalu dan dia adalah pos yang kami duga adalah pos utama. Jadi banyak korban yang kami periksa di berbagai Pos Sattis yang lainnya, itu habis dari Pos Sattis yang lainnya dibawa ke Rumoh Geudong atau sebaliknya dari Rumoh Geudong ke Pos Sattis yang lainnya dan dibawa lagi ke Rumoh Geudong. Jadi memang Rumoh Geudong adalah tempat di mana Pos Sattis yang paling utama dan dalam berbagai konteks dia mendapatkan perhatian publik yang cukup besar,” sambungnya.

Menurut Choirul, kelima tindakan kejahatan yang disebut di atas merupakan perbuatan yang diduga dilakukan sebagai bagian dari serangan yang ditujukan langsung terhadap penduduk sipil. Ini disebut sebagai pelaksanaan dari kebijakan penguasa masa tersebut yang dilakukan secara sistematis dan meluas.

Berdasarkan rangkaian kejahatan yang terjadi serta keterangan dan saksi dan dokumen yang ada, maka tim Komnas HAM menyimpulkan diduga bahwa penanggung jawab dalam Peristiwa Rumoh Geudong–namun tidak terbatas pada jabatan-jabatan (pada periode 1989-1998)–adalah sebagai berikut:

1. Individu/para komandan militer yang dapat dimintai pertanggungjawabannya yaitu komandan pembuat kebijakan dan komandan yang mempunyai kemampuan pengawasan yang efektif (duty of control) terhadap anak buahnya.

2. Individu/komandan/anggota kesatuan yang dapat dimintai pertanggungjawaban sebagai pelaku lapangan, yaitu komandan kesatuan yang dapat dimintai pertanggungjawaban sebagai pelaku lapangan (Komandan Kopassus, Komandan Baret Hijau dengan simbol gajah putih dan Komandan Brimob), anggota kesatuan yang dapat dimintai pertanggungjawaban sebagai pelaku lapangan (anggota Kopassus yang bertugas di Rumoh Geudong dan Pos Sattis lainnya dan anggota Baret Hijau dengan simbol Gajah Putih)

3. Pihak sipil yang dapat dimintai pertanggungjawaban, yaitu para tenaga pembantu operasional/cuak, ketua regu pos kamling, dan keuchik Gampong Ulee Tutue.

“Kenapa kok kami sebutkan di situ ada para komandan dan lain sebagainya yang harus bertanggung jawab? Ini memang dilihatnya begini, perintahnya pasal 9 UU No 26 tahun 2000 adalah bahwa kejahatan tersebut harus lahir dari kebijakan. Nah kita lihat kebijakan dari tahun 1989-1998 di Aceh adalah kebijakan darurat militer. Dalam kebijakan darurat, daerah operasi militer, DOM. DOM itu kita lihat, spesifik karena ini kasus Rumoh Geudong adalah Pos Sattis dan lain sebagainya, di situ ada operasi SGI, satuan gabungan intelijen, yang memang kebanyakan adalah anggota Kopassus. Strukturnya kelihatan, baik struktur operasional maupun struktur teritorial sampai ke atas. Oleh karenanya memang kami menyebutkan bahwa yang bertanggung jawab dari level kebijakan adalah pembuat kebijakannya, dari level pelaksana lapangan adalah komando efektif, dan sampai komando lapangan. Makanya kami sebut itu. Jadi operasi ini memang ditopang operasi tidak hanya teritorial tapi juga ditopang oleh komando operasional,” jelasnya.

“Perintah undang-undang harus lahir dari kebijakan, ini yang membedakan pidana biasa dengan pelanggaran HAM berat. Jadi kalau pidana biasa ya dia tidak memerlukan kebijakan tapi kalau pelanggaran HAM berat di undang-undang ada kata-kata kebijakan. Ini tertulis, itu harus dilahirkan dari kebijakan. Oleh karenanya memang ini penting bagi kita semua nanti tolong kami juga dibantu untuk mengawasi prosesnya. Logic berpikir soal pembuktian harus logic berpikir pelanggaran HAM berat, bukan pidana biasa. Karena kalau pidana biasa dia melekat pada individu-individu semata, jadi apakah orang tersebut punya niat jahat ataukah tidak misalnya, dan itu berdiri sendiri-sendiri. Kalau ini karena dia lahir dari kebijakan, mensreanya nggak jadi penting tapi membuktikan bahwa ini bagian dari kebijakan itu yang jadi pokok, dan itu kami buktikan. Jadi kami menemukan sekian pola bahwa itu lahir dari kebijakan. Salah satu yang paling sederhana adalah rumah, kayak Rumoh Geudong, Pos Sattis itu didirikan di banyak tempat dan satu dengan yang lain ternyata nyambung. Pos Sattis ini juga nyambung dengan komando teritorial. Bahkan di beberapa korban misalnya, itu juga harus melaporkan. Jadi habis dia disiksa macem-macem, dibebaskan, tapi masih tetep punya wajib lapor. Tanpa ada proses peradilan apapun. Itu menandakan bahwa itu potret dari kebijakan,” sambung Choirul panjang lebar.

Dengan dikirimkannya Laporan Penyelidikan Proyustisia atas Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis Lainnya di Aceh kepada Jaksa Agung, Komnas HAM berharap proses selanjutnya dari laporan ini berjalan dengan baik dan segera diajukan ke Pengadilan. Ini sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Hal ini untuk menjawab hak atas keadilan dan agar peristiwa sama tak berulang.

Munafrizal Manan menambahkan, dirinya berharap agar Jaksa Agung segera menindaklanjuti laporan penyelidikan proyustisia ini. Dia mengingatkan jangan sampai ada ketidakseriusan untuk melakukan pengusutan tuntas.

“Ini penting karena jangan sampai hasil penyelidikan yang disampaikan oleh Komnas HAM ini akan disikapi oleh Kejaksaan Agung dengan sikap seperti hasil-hasil penyelidikan sebelumnya. Karena kita sebenarnya sudah punya mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM berat melalui pengadilan HAM, sudah ada undang-undangnya. Nah kalau kita ternyata nanti dapat disimpulkan tidak mampu, unwilling dan unable untuk menindaklanjuti ini maka berdasarkan noktah hukum internasional itu akan membuka jalan untuk penyelesaian melalui mekanisme internasional. Ini yang kita cegah. Jangan sampai nanti karena ketidakseriusan menindaklanjuti ini cepat atau lambat akan membuka pintu untuk menginternasionalisasikan HAM domestik,” ujar Munafrizal. Detik

Berita Terkait

Berita Terkini

Google ads