Saksi Fakta: Qanun RTRW Aceh Bertentangan Dengan UUPA

Saksi fakta pada sidang gugatan Gerakan Rakyat Aceh Menggugat (GeRAM) terhadap Mendagri, Gubernur Aceh, dan DPR Aceh, menyatakan Qanun RTRW Aceh bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh (UUPA).

“Qanun RTRW Aceh bertentangan banyak peraturan perundangan-undangan termasuk UUPA,” ungkap TM Zulfikar, saksi fakta, yang dihadirkan ke persidangan gugatan GeRAM di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa (23/8).

TM Zulfikar merupakan mantan Direktur Eksekutif Daerah Walhi Aceh. Selain TM Zulfikar, saksi fakta yang dihadirkan lainnya yakni Asnawi yang merupakan Imum Mukim Siem, Aceh Besar.

Selain UUPA, kata TM Zulfikar, Qanun Aceh Nomor Nomor 19 Tahun 2013 tentang RTRW juga bertentangan dengan undang-undang rencana tata ruang wilayah nasional.

Menurut TM Zulfikar, aturan yang ditentang seperti pengelolaan kawasan. Dalam UUPA dijelaskan bahwa kawasan ekosistem, termasuk Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dikelola oleh Pemerintah Aceh.

“Namun, kenyataan Pemerintah Aceh mengabaikan perintah UUPA terkait pengelolaan kawasan ekosistem. Buktinya, nomenklatur KEL tidak dimasukkan dalam Qanun RTRW Aceh,” kata TM Zulfikar.

Dalam sidang tersebut, TM Zulfikar juga mengungkapkan qanun tersebut juga tidak mengatur dengan jelas terkait jalur evakuasi bencana. Serta pemanfaatan lahan oleh masyarakat maupun pihak lainnya.

“Ketika qanun RTRW Aceh masih dalamproses  penyusunan, kami sudah menyampaikan upaya-upaya penyelamatan ekosistem, termasuk pengaturan jalur evakuasi bencana. Namun, upaya ini diabaikan,” kata dia.

Lain halnya dengan Asnawi, Imum Mukim Siem, Aceh Besar, yang dihadirkan sebagai saksi fakta. Ia menegaskan kawasan hak kelola mukim yang diatur jelas dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 tidak diakomodir.

“Kata mukim hanya ada di bagian pendahuluan qanun. Sedangkan di batang tubuhnya tidak ada. Hak kelola mukim tidak ada pengaturan lebih lanjut. Seharusnya ini ada, karena mukimmenunjukan kekhususkan Aceh dibandingkan provinsi lain” ungkap dia.

Menurut Asnawi, tidak adanya nomenklatur yang mengatur mukim dalam Qanun RTRW Aceh, berpotensi terjadinya konflik lahan di tengah tengah masyarakat.

“Hal ini terjadi karena dalam penyusunan Qanun RTRW, partisipasi atau keterlibatan publik di dalamnya sangat kurang. Bahkan tidak ada sama sekali. Seharusnya, keterlibatan publik dalam menyusun sebuah peraturan daerah dibuka seluas-luasnya,” kata Asnawi.

Sementara itu, Nurul Ikhsan, koordinator kuasa hukum GeRAM, menyatakan, sidang dilanjutkan dua pekan mendatang dengan agenda mendengarkan keterangan saksi ahli.

“Kami berencana menghadirkan saksi ahli terkait dengan penataan ruang dan  Lingkungan Hidup pada sidang mendatang. Sidang selanjutnya dijadwalkan Selasa (6/9),” kata Nurul Ikhsan.

Sebelumnya, sejumlah warga Aceh yang tergabung dalam GeRAM menggugat Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Gubernur Aceh, dan Ketua DPR Aceh terkait Qanun Aceh tentang rencana tata ruang wilayah atau RTRW.

Adapun para penggugat yakni Effendi warga Aceh Besar, Juarsyah warga Bener Meriah, Abu Kari warga GayoLues, Dahlan warga Kota Lhokseumawe, Kamal Faisal warga Aceh Tamiang.

Serta Muhammad Ansari Sidik warga Kabupaten Aceh Tenggara, Sarbunis warga Aceh Selatan, Najaruddin warga Nagan Raya, dan Farwiza warga Kota Banda Aceh.

“Gugatan didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sidang sudah memasuki tahap mendengarkan keterangan saksi fakta. Sebelumnya, para tergugat dan penggugat pernah menjalani mediasi. Namun, mediasi gagal karena tidak ada kata sepakat para pihak,” kata Nurul Ikhsan.

Mereka menggugat karena Mendagri dianggap lalai mengawasi Pemerintah Aceh yang menetapkan Qanun RTRW tanpa mengakomodir kawasan strategis nasional di Aceh.

Sedangkan Gubernur Aceh dan Ketua DPR Aceh digugat karena mengesahkan Qanun Aceh Nomor 19 tentang RTRW Aceh tidak memasukan beberapa substansi penting yang diamanahkan dalam RTRW Nasional.

“Seperti Kawasan Ekosistem Leuser, tidak dimasukkan dalam RTRW Aceh. Padahal, Kawasan Ekosistem Leuser diatur dalam RTRW Nasional dan juga dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh,” kata dia.

Menurut Nurul Ikhsan mengabaikan amanat undang-undang merupakan perbuatan melawan hukum. Karena itu, penggugat sebagai warga negara mengajukan gugatan untuk mendapatkan keadilan.

“Tuntutan dalam gugatan klien kami bukanlah materi. Tapi, tuntutan dalam gugatan penggugat agar tergugat mengakomodir kawasan strategis seperti Kawasan Ekosistem Leuser dalam RTRW Aceh,” papar Nurul Ikhsan.

Seharusnya, kata dia, Mendagri membatalkan qanun RTRW Aceh karena ditetapkan tanpa mengakomodir kawasan strategis nasional seperti Kawasan Ekosistem Leuser. Tapi itu tidak, Mendagri terkesan membiarkan qanun tersebut disahkan menjadi peraturan daerah di Aceh.

“Inti gugatan ini adalah Mendagri, Gubernur Aceh dan DPR Aceh selaku penyelenggara negara telah melakukan perbuatan hukum dan tidak mematuhi aturan hukum dan amanah undang-undang terkait dengan penataan ruang dan wilayah di Aceh,” kata Nurul Ikhsan.

Berita Terkait

Berita Terkini

Google ads