Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) Alfian mengatakan pengesahan Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) 2013 haruslah dilaksanakan tepat waktu dan berkualitas. Dengan tepat waktu, keluaran program kegiatan pemerintah Aceh akan semakin baik.
Menurut Alfian, sebaiknya APBA 2013 dapat disahkan pada akhir Desember 2012 mendatang, seperti harapan masyarakat dan komitmen yang telah disampaikan oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).
Saat ini, MaTA bersama-sama organisasi masyarakat sipil lainnya sedang membangun aliansi yang kuat untuk turut mengawal anggaran belanja publik di Aceh, secara khusus yang dikelola oleh Pemerintah Provinsi Aceh. “Agar lebih efektif dalam menjawab tantangan pembangunan di Aceh,” kata Alfian di sela-sela training advokasi keuangan daerah yang difasilitasi oleh MaTA melalui Program Public Expenditure Analysis and Capacity Strengthening Program (PECAPP), Kamis 29 November 2012.
“Saat membuka training advokasi keuangan daerah, Ketua DPRA, Pak Hasbi Abdullah juga mendukung dan mengajak LSM dan media untuk mengadvokasi anggaran di Aceh,” sambung Alfian.
Alfian memaparkan, berdasarkan data PECAPP tercatat bahwa keterlambatan pengesahan APBA terlama adalah pada tahun 2008, yaitu terlambat selama 175 hari atau lebih dari 5 (lima) bulan. Keterlambatan ini tentunya memiliki konsekwensi negatif terhadap kualitas pembangunan. Hal sama juga terjadi pada tahun 2010 dan 2011, tetapi keterlambatannya hanya sekitar 3 (tiga) bulan.
Beberapa kabupaten di Aceh mempunyai prestasi yang baik dalam pengesahan anggarannya. Misalnya Kabupaten Aceh tengah, yang dalam kurun waktu lima tahun terakhir, selalu tepat waktu. Hal ini juga turut yang menyebabkan kabupaten tersebut menjadi langganan memperoleh predikat Wajara Tanpa Pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). “Kota Banda Aceh juga salah satu daearah tingkat dua yang tepat waktu pengesahan anggarannya.”
Alfian juga mengingatkan, selain tepat waktu, ada hal lain yang lebih penting adalah anggaran yang disusun oleh pemerintah harus dipastikan sesuai dengan kebutuhan pembangunan yang mengacu pada RPJM. “Dan berdasarkan analisis-analisis terhadap pola pendanaan pembelanjaan yang lalu dan hasil keluaran pembangunan yang telah dicapai selama ini,” ujarnya.
Sementara itu Koordinator Bidang Korupsi Politik, Indonesian Coruption Watch (ICW), Abdullah Dahlan mengatakan bahwa masih banyak ditemukan anggaran belanja publik di Aceh yang belum sepenuhnya berorientasi pada kepentingan publik secara umum. “Rasio belanja pegawai masih sangat dominan di Aceh,” katanya di sela-sela mengisi training advokasi anggaran untuk CSO dan Media di Banda Aceh.
Menurutnya dari dokumen APBA 2012 yang dipelajari, anggaran untuk pendidikan masih 9 persen dan kesehatan hanya 8 persen. Ke depan harapnya, Pemerintah Aceh mampu memberikan alokasi yang lebih maksimal di sektor-sektor tersebut, karena strategis untuk diperhatikan serta menyangkut hal prioritas persoalan publik. “Publik bisa mendorong ini dan harus ada konsen dari Pemerintah Aceh untuk fokus pada belanja publik yang lebih baik,” ujarnya.
Perubahan ke arah yang lebih baik dapat dilakukan oleh organisasi masyarakat sipil untuk pengawasan dan berpartisipasi dalam advokasi anggaran belanja publik Aceh, dan Pemerintah Aceh dapat memberikan ruang dan terbuka untuk hal tersebut. “Perlu ada kelompok kritis yang mengawal kebijakan anggaran, bagaimanapun APBA adalah uang publik dan harus dialokasikan semaksimal mungkin untuk belanja publik,” ujar Abdullah Dahlan.