Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Aceh, Destika Gilang Lestari menyesalkan pihak kepolisian Polres Bireun yang tidak mampu membendung aksi amuk massa yang berujung jatuhnya korban jiwa baik di antara kedua belah pihak di Desa Jambo Dalam, Kecamatan Plimbang, Kabupaten Bireun pada Jum’at (16/11) hingga menjelang subuh, Sabtu (17/11).
Sebagaimana diketahui, bentrokan tersebut disebabkan kecurigaan warga bahwa Tgk. Aiyub cs telah melanggar kesepakatan, yaitu masih melaksanakan pengajian tertutup dan tidak adanya interaksi sosial dengan masyarakat setempat.
Destika mengatakan bahwa seharusnya pihak kepolisian yang sudah hadir di lokasi dapat sepenuhnya menguasai kondisi dan situasi di lapangan. Destika juga menegaskan bahwa hal ini merupakan suatu masalah hukum dan keamanan yang serius. Kegagalan untuk menghindarkan terjadinya amuk massa dipicu oleh lemahnya fungsi intelijen dan kesiapan petugas kepolisian untuk mengantisipasi dan mencegah kejadian bentrokan tersebut.
Kejadian pada Jum’at malam hingga Sabtu subuh dini hari seperti membuktikan adanya loss of control dari aparat penegak hukum sehingga bentorkan massa dengan leluasa berlangsung.
KontraS Aceh prihatin dan sangat menyesalkan kejadian tersebut dan mengajak semua pihak untuk menghormati supremasi hukum.
Selain itu, penting bagi pihak kepolisian untuk memberitahukan kepada publik sampai sejauh mana berbagai proses penyelidikan yang dilakukan. Hal ini penting untuk membuktikan bahwa aparat kepolisian memang sedang bekerja dan tidak lemah dalam menjaga dan memberi keamanan bagi masyarakat. Hal ini juga penting guna menunjukkan kepada pihak luar bahwa Aceh memang bukan lagi wilayah rawan konflik.
Polri selaku aparat penegak hukum dituntut mampu berperan dalam menunjang terwujudnya supremasi hukum. Kehendak untuk mewujudkan supremasi hukum merupakan tantangan bagi Polri, karena Polri diharapkan untuk mampu meningkatkan profesionalisme dan kinerjanya melalui penerapan paradigma baru dalam proses penegakan hukum.
KontraS Aceh melihat perilaku dan kinerja Polri belum sesuai dengan filosofi “Dwi Warna Purwa Cendikia Wusana” dan belum dapat mewujudkan Polri yang “Mahir, Terpuji dan Patuh Hukum” yang merupakan filosofi pendidikan Polri saat ini.
Destika Gilang Lestari juga mengutuk tragedi main hakim sendiri yang semakin merajalela di Negara Republik Indonesia secara umum dan kini khususnya di Aceh. Semua peristiwa main hakim sendiri seperti ini adalah cermin ketidakpercayaan masyarakat kepada pihak-pihak yang mengelola negara.
Lebih lanjut, Destika mengatakan, ini membuktikan bahwa institusi-institusi negara seperti pengadilan (court) dan aparat penegak hukum tidak berarti banyak di mata masyarakat. Mereka lemah, tidak berwibawa dan kurang mendapat tempat di hati masyarakat.