Hindari Perbedaan yang Menghancurkan Sesama Islam

Umat Islam di Aceh dalam kehidupannya di dunia diharapkan tidak saling menghancurkan sesamanya, dan terus bisa menjaga persatuan sehingga lahirnya kekuatan agar tidak mudah dikacaukan oleh musuh-musuh Islam yang ingin menciptakan kekacauan dan perpecahan di tengah umat ini.

Sementara terhadap berbagai perbedaan pendapat atau khilafiyah yang muncul, jangan melahirkan permusuhan sesamanya tapi, sebaliknya menjadi rahmat untuk saling menguatkan satu dengan lainnya dengan tetap berpegang pada tuntunan Al-Qur’an dan ajaran dari Rasulullah SAW.

Demikian disampaikan Tgk H. Muhammad Yusuf Abdul Wahab atau Tu Sop‎ (Pimpinan Dayah Babussalam Al -Aziziyah Jeunieb, Bireuen) saat mengisi pengajian rutin Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) di Rumoh Aceh Kupi Luwak, Jeulingke, Rabu (30/9) malam.

“Kita tidak ingin perbedaan yang saling menghancurkan. Kita ingin ikhtilafu ummati rahmah. Kita ingin perbedaan yang saling menguatkan. Bagai elemen mobil, berbeda, tapi saling menguatkan,” kata Tgk. HM. Yusuf A. Wahab

Pada pengajian yang membahas tema, “Memahami Ahlussunnah Waljamaah” ini, Tu Sop menyerukan umat Islam semua beragama seperti yang dibawa oleh Rasulullah. Semua berada di garis yang lurus, yang membuat perjalanan hidup mati benar-benar ke surga, dan bukan neraka. Maka Rasulullah menyuruh mengikuti apa yang beliau bawa.

“Ma’ana alaihi wa ashhabi. Ini dasar Ahlusunnah wal jamaah. Pertama ikut Rasul. Kemudian, yang paling mengerti dan paling mampu menerjemahkan apa yang dimaksud oleh Rasulullah adalah sahabat. Jadi mengikuti sahabat artinya mengikuti Rasulullah. Agama itu diterjemahkan lewat teks dan lewat perbuatan. Kalau shalat diterjemahkan lewat perbuatan, kita tidak bisa. Karena kita tidak melihat Rasulullah. Yang melihat Rasulullah adalah sahabat. Sahabat memperlihatkan kepada tabiin. Tabiin memperlihatkan kepada tabi’ tabi’in. Begitulah seterusnya,” jelasnya.

Maka, yang namanya Ahlussunnah Waljamaah dari generasi awal itu sangat mempertahankan silsilah mata rantai. Misalnya, ada yang pelajari satu ilmu, harus jelas gurunya siapa? Gurunya itu gurunya siapa? Dan gurunya itu siapa lagi gurunya? Hingga ke Rasulullah. Karena kalau lepas dari mata rantai itu, terjadi pemahaman-pemahaman yang berpotensi menyeleweng. Perawi hadis juga seperti itu.

“Ketika orang baca Al-Quran dan hadits kemudian beda pemahaman, yang beda bukan ayat dan hadits, tapi pemahaman. Maka ada ilmu untuk menguji kebenaran pemahaman tersebut, seperti ushul fiqh,” sebut ulama muda Aceh ini.

Tu Sop menekankan kenapa perbedaan yang menghancurkan harus dihindari. Ini tidak baik bagi agama sendiri dan pemeluknya. Kedua, sumber yang benar adalah punya silsilah dari Rasulullah dan sahabat, tanpa mempertentangkan antara sahabat dengan Rasulullah. Misalnya, kita tidak boleh ikut sahabat, ikut Rasulullah saja, ini baru sunnah saja, belum jamaah. Padahal tidak ada pertentangan apa yang dilakukan Nabi dan sahabat, karena sahabat adalah generasi yang paling memahami Nabi. Bagai orang yang lihat mobil dari jauh, seolah-olah bertabrakan, padahal kalau kita lihat dari dekat, ternyata tidak bertabrakan.

“Khusus bagi kita dan apa yang terjadi, ada akibat pemahaman berbeda yang saling menghancurkan. Di saat dua hal berbeda dan saling mendominasi, bisa masuk pihak ketiga atau empat yang bermain. Sehingga yang menyerang la ilaha illa Allah, dan yang diserang juga la ilaha illa Allah,” ungkapnya.

Maka kita perlu kaji bersama, kenapa Aceh di saat jayanya, saat kerajaan Aceh jadi kekuatan dunia, di saat mereka mengakui 4 mazhab, tapi untuk Aceh diambil satu, kenapa? Saat itulah Aceh kompak, Aceh maju, dan go internasional. Walau ada perbedaan, bisa diselesaikan, tanpa menghancurkan.

“Apa yang terjadi di Timur Tengah jangan sampai terjadi di Asia Tenggara, jangan di Indonesia, dan Aceh. Mari kita tafsirkan Ahlussunnah Waljamaah. Kita harus bedakan personalnya dengan konsepnya. Jangan mengukur Islam lewat muslimnya, apalagi muslim zaman sekarang. Mungkin kalau muslimnya sahabat, iya. Tapi muslim zaman sekarang jangan,” harap Tu Sop yang juga Ketua I Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) ini.

Maka dalam hal itu, maunya kita mampu membangun pemikiran yang bijaksana, Ahlusunnah Waljamaah yang punya silsilah hingga ke Rasulullah, dengan metoda-metoda yang jelas. Kalau tidak komit dengan itu, maka siapa pun akan menyatakan ini dari Al-Quran, itu dari Al Quran, padahal itu menurut mereka sendiri, seperti yang dilakukan oleh kaum liberal.

Tgk Yusuf juga menjelaskan, masalah akan muncul ketika hadir yang menghancurkan pemahaman lain. Misalnya, orang di Aceh sudah ada satu pemahaman. Datang orang lain, mengatakan ini syirik, itu bid’ah, ini sesat. Tidak dimusyawarahkan dulu, ini syirik atau tidak. Tapi langsung menghakimi sendiri.

Misalnya, Ulama-ulama Aceh dulu mengatakan Allah SWT itu tidak bertempat dan tidak ada ruang dan waktu. Lalu datang yang lain mengatakan Allah punya tempat. Inilah sumber terjadi frontalitas. Ini sebenarnya perlu dihindari. Kalau dibiarkan, jadi arena pertarungan.

“Bijaksananya, kembali ke kepemimpinan Islam masa lalu. Dengan kafir aja bisa hidup. Jangan datang-datang menghancurkan yang sudah ada. Bagaimana bisa toleran jika terus menghancurkan yang lain. Kalau ada yang salah, ayo duduk bersama. Jangan sampai membuat masyarakat bingung,” terangnya.

Berita Terkait

Berita Terkini

Google ads