Pimpinan DPRK Aceh Selatan mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera mengusut dugaan penggelapan uang hasil penjualan karbon hutan Aceh oleh Pemerintah Aceh kepada negara luar sejak tahun 2010 yang jumlahnya diperkirakan telah mencapai ratusan miliar rupiah.
Ketua DPRK Aceh Selatan T Zulhelmi di Tapaktuan, Rabu menyatakan, uang hasil penjualan karbon itu tidak pernah masuk ke dalam APBA maupun APBK masing-masing kabupaten/kota di Aceh.
Selain itu, masyarakat yang bermukim di sekitar lokasi kawasan hutan lindung pun tidak pernah menerima kompensasi dari hasil penjualan karbon tersebut, katanya.
Penegasan itu disampaikan pimpinan DPRK Aceh Selatan merespon statemen mantan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf di media massa beberapa waktu lalu yang menyebutkan meskipun Pemerintah Indonesia tidak memasukkan lagi Provinsi Aceh dalam perdagangan karbon nasional, namun kredit karbon yang telah dibangun kerja sama oleh Pemerintah Aceh dengan negara luar tetap menguntungkan Aceh.
“Satu sisi masyarakat diwajibkan menjaga kelestarian kawasan hutan lindung di Aceh, tapi di sisi lain masyarakat tidak pernah menerima uang kompensasi dari hasil penjualan karbon itu. Sepengetahuan kami, uang itu juga tidak pernah dimasukkan ke dalam APBA maupun APBK masing-masing kabupaten/kota di Aceh. Karena itu, kami mendesak KPK segera mengusut dugaan penggelapan anggaran ini,” katanya.
Pihaknya menilai, sambung Zulhelmi, statemen Irwandi Yusuf tidak masuk akal dan terkesan sarat kepentingan, karena dengan tidak di masukkannya lagi Provinsi Aceh dalam perdagangan karbon, rakyat Aceh harus berterimakasih kepada Pemerintah Indonesia.
Karena dengan kondisi seperti itu berarti Aceh telah terlepas dari ikatan kerja sama dengan negara luar terkait kewajiban menjaga kelestarian kawasan hutan lindung sehingga masyarakat dapat kembali leluasa menggarap kawasan hutan tanpa harus tersangkut masalah hukum.
Sebab, sambung Zulhelmi, persoalan tata batas hutan lindung di Aceh khususnya di Aceh Selatan sangat merugikan masyarakat selama ini dan bahkan persoalan itu telah meresahkan masyarakat. Karena tata batas hutan lindung tidak hanya masuk wilayah perkebunan yang menjadi tempat warga mencari rezeki, juga masuk wilayah perkampungan penduduk.
“Penetapan tata batas hutan lindung tidak hanya masuk perkebunan warga, tapi di belakang rumah penduduk pun telah masuk kawasan hutan lindung sehingga ini sangat meresahkan masyarakat. Kami menilai rakyat Aceh patut mengucapkan terimakasih kepada Pemerintah Indonesia karena tidak memasukkan lagi Provinsi Aceh dalam program perdagangan karbon dengan negara luar,” tegas Zulhelmi.
Memang, kata Zulhelmi, kewajiban menjaga kelestarian kawasan hutan penting untuk mengantisifasi terjadinya bencana banjir dan tanah longsor. Tapi hal itu, dapat didukung oleh masyarakat jika kawasan hutan yang dijaga kelestariannya itu berada di wilayah pegunungan yang jauh dari perkebunan dan pemukiman penduduk.
“Jika belakang rumah masyarakat pun sudah masuk hutan lindung bagaimana program itu harus didukung,” kritik Zulhelmi.
Anehnya lagi, kata Zulhelmi, kondisi yang terjadi selama ini di Provinsi Aceh di satu sisi masyarakat diwajibkan menjaga kelestarian kawasan hutan lindung dan jika ada yang melanggarnya akan berurusan dengan hukum, namun di sisi lain masyarakat khususnya yang bermukim di sekitar wilayah hutan lindung tidak pernah merasakan manfaat dari program itu, meskipun semua pihak tahu bahwa kewajiban menjaga kelestarian kawasan hutan lindung itu bagian dari program kontrak kerja sama Pemerintah Aceh dengan negara luar terkait penjualan karbon.
Seperti disampaikan oleh mantan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf di media massa beberapa waktu lalu, bahwa hasil kontrak kerja sama antara Pemerintah Aceh dengan negara luar terkait penjualan karbon senilai 7 dolar AS per ton per tahun. Kerja sama itu telah berlangsung sejak tahun 2010.
“Jika program ini benar-benar ada, maka coba kita bayangkan sudah berapa besar pemasukan yang diterima oleh Pemerintah Aceh terkait kerja sama penjualan karbon itu. Namun anehnya anggaran sebesar itu justru tidak pernah dinikmati oleh masyarakat baik dalam bentuk pemberian kompensasi secara langsung maupun dalam bentuk pembangunan infrastruktur untuk mendukung program pelestarian kawasan hutan lindung,” sesal T Zulhelmi.
Berdasarkan sepengetahuan pihaknya, kata Zulhelmi, anggaran hasil penjualan karbon tersebut juga tidak pernah dimasukkan ke dalam APBA maupun APBK masing-masing kabupaten/kota di Aceh.
Karena itu, pihaknya mempertanyakan kejelasan status atau keberadaan anggaran hasil penjualan karbon hutan Aceh dengan negara luar tersebut yang telah berlangsung sejak tahun 2010 yang diperkirakan telah mencapai ratusan miliar rupiah.
“Menyangkut persoalan ini, kami meminta kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar bersedia mengusutnya. Jangan hanya koruptor-koruptor di pusat saja yang ditangkap tapi oknum-oknum pejabat dan mantan pejabat di Provinsi Aceh yang diduga telah menggelapkan uang hasil penjualan karbon hutan Aceh dengan negara luar itu juga harus ditangkap jika terbukti bersalah,” pinta Zulhelmi.(antara)