Kelompok Peduli TB dan Kusta: Menanti Dukungan yang Hilang untuk Kembali Menyuarakan Kesehatan

Kelompok Peduli Tuberkulosis dan Kusta (KPTK) di Desa Teupin Raya, Kecamatan Nurussalam, Kabupaten Aceh Timur, Provinsi Aceh pernah menjadi sinar harapan bagi mereka yang mengalami sakit akibat infeksi bakteri Mycobacterium Tuberculosis (TBC) dan Mycobacterium leprae (kusta). 

Sebelum tahu tentang KPTK dan peran kelompok ini, mereka yang mengalami penyakit TB dan kusta memilih menutup serapat mungkin tentang penyakit itu karena khawatir akan menjadi gunjingan sosial dan dikucilkan.

Pada saat itu, masyarakat masih menganggap TB dan kusta sebagai penyakit yang memalukan. Masyarakat tidak akan mau berinteraksi dengan pasien karena takut tertular. Jika ada keluarga yang mengalami penyakit tersebut maka akan ditutupi dan pasien didiamkan (sembunyi) dalam rumah lalu diobati secara tradisional saja.

TB dan kusta merupakan isu kesehatan yang masih menjadi masalah global. Di Indonesia, jumlah pasien TB mencapai 700 kasus dan berada diurutan ke-2 di dunia setelah India (2022), sedangkan kusta mencapai 13.487 kasus berada pada posisi ke-3 dunia. 

Meski kedua penyakit tersebut disebabkan oleh bakteri yang sama yaitu Mycobacterium, namun pada artikel ini kita akan berfokus pada penyakit kusta saja, dan bagaimana pengalaman KPTK saat mendampingi serta mendukung perjuangan para pasien kusta dalam pengobatan.

Penyakit kusta, juga dikenal sebagai lepra, merupakan penyakit infeksi yang ditandai dengan mati rasa pada saraf tepi, gangguan pada kulit seperti bercak kemerahan atau putih, kelumpuhan pada tungkai dan kaki, masalah dengan sistem pernapasan atas, dan kerusakan pada mata dan membran selaput lendir. 

Penularan penyakit ini tidak serta merta terjadi tapi melalui kontak jangka panjang (terus menerus) antara orang yang rentan dengan seseorang yang memiliki penyakit kusta tapi belum diobati. Cara penularan bakteri ini diduga melalui cairan dari hidung yang biasanya menyebar ke udara ketika pasien kusta  batuk atau bersin, dan dihirup oleh orang lain.

Dari 38 Provinsi di Indonesia masih terdapat 7 provinsi yang belum mencapai eliminasi nasional. Meskipun Aceh tidak termasuk dalam daftar provinsi tersebut. Penyakit kusta masih menjadi permasalahan yang kompleks dan perlu ditangani secara serius.

KPTK hadir pada tahun 2010 dan digagas oleh Rizayana, ia merupakan seorang Ibu Rumah Tangga (IRT). Pada saat itu, ia memiliki kekhawatiran terhadap penyakit TB yang dialami oleh masyarakat Desa Teupin Pukat namun belum tertangani dengan baik.

“Waktu itu banyak di Gampong Teupin yang terkena TB tapi ngga ada perhatian khusus, jadi saya tergerak lah untuk mencari jalan, bagaimana agar mereka bisa sembuh, ya salah satunya kita buatlah kelompok ini” kisah Rizayana saat dihubungi melalui sambungan telepon Whatsapp.

Sejak 2008, Rizayana telah mendapatkan pengetahuan tentang penyakit TB melalui pelatihan Kader Kesehatan Desa yang diadakan oleh Dinas Kesehatan Aceh Timur. Usai pelatihan tersebut keinginan untuk terlibat dalam kepedulian terhadap Tuberkulosis kian menguat, ia pun menjadi relawan kesehatan di Puskesmas desanya.

Seiring berjalan waktu, aktivitas kelompok KPTK mulai berkembang menjangkau dua Kecamatan lainnya dan menambah fokus pendampingan pada penyakit kusta, meski pada waktu itu tidak ada pasien kusta di desa Teupin Pukat, namun ia dan kelompok mendampingi pasien dari desa lain hingga sembuh.

“Kejadiannya di desa lain tapi masuk pendampingan dari kelompok kita juga. Ceritanya Ibu dan Anak ini positif kusta, awalnya pihak keluarga ngga terima kita bilang kena penyakit itu, kalo di sini kita bilang penyakit budoek, penyakit kutukan” ungkap Rizayana.

Meski mengalami penolakan, usahanya tidak berhenti disitu saja, “kami bujuk pelan-pelan sampai beberapa hari untuk mau diperiksa aja dulu, benar kusta. Akhirnya, kita kasih edukasi kalo penyakit ini bisa sembuh asal patuh dalam berobat, hingga akhirnya mereka sembuh” sambung Rizayana.

Suka duka Rizayana dan kelompok dalam mendampingi dan mensosialisasikan tentang TB dan kusta, mendapat angin segar dan perhatian dari lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Yayasan Sheep Indonesia.

KPTK mendapat dukungan dengan menyediakan makanan tambahan atau pendamping bagi pasien selama dalam pengobatan dan kesempatan untuk terus mengasah jiwa kerelawanan mereka dan pengetahuan tentang kesehatan dan pencegahan penyakit.

“Di Aceh waktu itu kita fokus pada isu kesehatan dengan membantu melakukan pengembangan kapasitas dan memberdayakan masyarakat” kata Tina, Project Manager yayasan Sheep Indonesia.

Seusai program Sheep berakhir, KPTK harus berjuang mandiri dengan keterbatasan. Tantangan datang silih berganti, hingga akhirnya aktivitas kelompok ini terhenti.

“Setelah mereka (Sheep) pulang balik lagi ke Jogja, tidak banyak dukungan yang kami terima dari pemerintah. Padahal banyak perjuangan kami, keberhasilan kami di Kabupaten Aceh Timur ini yang bisa dibanggakan” Ucap Rizayana dengan nada sedih.

Sambungan Whatsapp berjeda diam beberapa saat, lalu ia melanjutkan cerita perjuangan mereka dengan suara yang bersemangat karena masih ada yang peduli dengan apa yang mereka lakukan.

“Hari ini kan Kak, jiwa kerelawanan saya tuh muncul lagi, semangat itu jadi hidup lagi. Waktu kakak telepon tadi pagi, saya seperti dapat kabar segar, ternyata di luar sana masih ada yang peduli dengan apa yang kami lakukan” ucapnya dengan suara berbinar.

KPTK memiliki semangat dan menginspirasi. Anggota KPTK berusaha untuk memberikan dukungan moral dan nyata kepada pasien TB dan Kusta. Semangat optimis ini memberikan motivasi kepada pasien TB dan kusta untuk sembuh.

Kelompok relawan kesehatan seperti apa yang dilakukan oleh mereka (KPTK) membantu meningkatkan kesadaran publik tentang TB dan kusta dengan mengadakan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat, pencarian suspect TB dan kusta hingga pendampingan bagi pasien selama pengobatan.

Meskipun bersifat relawan, namun juga memiliki keterbatasan dalam menjalankan tugas kerelawanan mereka seperti keterbatasan menyediakan makanan pendamping kepada pasien TB dan kusta.

KPTK dan kelompok-kelompok seperti mereka membutuhkan dukungan untuk menghadapi kesulitan ini. Agar mereka dapat kembali aktif melanjutkan misi mulia mereka untuk memberikan perhatian dan kepada mereka yang mengalami penyakit kusta, memberikan manfaat bagi pasien dan masyarakat yang terkena dampak penyakit kusta,

Semangat yang sama diperlukan untuk menyuarakan bahwa kusta adalah penyakit yang tidak mudah menular dan dapat disembuhkan seperti dukungan dari semua pihak, pemerintah, masyarakat dan orang-orang yang peduli dengan semua ini. 

Artikel ini adalah bagian dari program Fellowship “Suara Untuk Indonesia Bebas Kusta (SUKA)” dari NLR Indonesia bersama anterokini.

Nurul Ali

Berita Terkait

Berita Terkini

Google ads