Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, menyebutkan, adat istiadat Aceh sejalan dan mengandung nilai syariat Islam. Oleh karena itu, ia meminta Majelis Adat Aceh (MAA) sebagai lembaga khusus di bawah Pemerintah Aceh, mampu mewujudkan kebesaran adat dalam keseharian masyarakat.
Tujuannya, untuk mewujudkan masyarakat Aceh yang santun, damai, cerdas dan berakhlak mulia. Serta menjauhi sikap dan perilaku intoleran, fitnah dan adu-domba.
Hal tersebut disampaikan Gubernur Aceh pada acara Pengukuhan Pengurus Majelis
Adat Aceh (MAA) Masa Bakti 2021-2026 yang dilakukan oleh Wali Nanggroe Aceh, Malik Mahmud Al Haytar, di Anjong Mon Mata Meuligoe Gubernur, Senin, (10/5/2021).
Mereka yang dilantik tersebut diantaranya adalah Prof. Dr. H. Farid Wajdi Ibrahim, MA sebagai Ketua Majelis Adat Aceh, Tgk. Yusdedi sebagai Wakil Ketua I, dan Syech Marhaban sebagai Wakil Ketua II. Pada kesempatan yang sama dikukuhkan juga para ketua bidang dan anggota pengurus lembaga keistimewaan Aceh itu.
Nova mengatakan, Pemerintah Aceh memberi perhatian khusus terhadap perkembangan dan pelestarian adat Aceh. Hal itu terbukti dari salah satu program unggulan yang diluncurkan pada periode pemerintahan 2017-2022, yaitu ‘Aceh Meuadab’. Program tersebut merupakan upaya mengembalikan khittah Aceh sebagai Serambi Mekkah melalui implementasi nilai-nilai keislaman dalam kehidupan sehari-hari.
“Ajaran Islam menjiwai dan memberikan spirit yang tinggi bagi pelaksanaan adat Aceh, dan tidak ada benturan antara adat Aceh dengan syariat Islam,” ujar Nova.
Nova menjelaskan, di era teknologi informasi saat ini, adat Aceh perlu disebarkan melalui penulisan atau naskah tertulis yang dapat dibaca oleh generasi sekarang, karena tidak efektif lagi diturunkan melalui pesan verbal. Ia mengharapkan sumbangsih pemikiran Pengurus MAA agar mampu membangun gairah orang Aceh untuk terus bekerja keras, membantu memajukan gampong dalam berbagai bidang, termasuk pendidikan dan seni budaya Aceh.
“Memajukan gampong salah satunya dengan upaya membangun semangat lembaga-lembaga adat yang telah tertuang dalam Qanun Aceh, seperti pawang glee, haria peukan, peutua seuneubok, dan keujruen blang supaya berfungsi kembali. Banyak hal lain yang harus dijawab melalui pendekatan adat,” kata Nova.
Nova mengharapkan agar MAA aktif membangun jaringan komunikasi yang sinergis dengan segenap unsur pemerintahan, DPRA, LSM dan kelompok masyarakat Aceh dimanapun mereka berada.
Dengan demikian, MAA akan lebih eksis dan dikenal oleh masyarakat luas. “Hal ini tentu akan lebih memudahkan penyebaran informasi nilai-nilai adat Aceh yang multi kultural, yang mampu membangun semangat rakyat Aceh untuk menyongsong masa depan yang lebih indah,” kata Gubernur.
Sementara itu, Wali Nanggroe Aceh, Malik Mahmud Al Haytar, dalam sambutannya usai mengukuhkan pengurus MAA, menyampaikan, pengukuhan pengurus tersebut amat penting sebagai langkah awal untuk melaksanakan pekerjaan pelestarian, pengkajian dan pembinaan kehidupan adat di Aceh sampat pada tingkatan gampong.
“Pelestarian dan pembinaan kehidupan adat dan seni merupakan peradaban yang kita jalani secara turun temurun. Masa dulu peradaban Aceh terkenal dengan adanya Qanun Meukuta Alam Al Asyi tahun 1630 masa Raja Iskandar Muda. Qanun Meukuta Alam adalah tonggak sejarah kemajuan peradaban Aceh baik dalam bermasyarakat maupun hubungan dengan negara-negara lain di dunia,” kata Malik Mahmud.
Wali Nanggroe mengatakan, pelestarian adat Aceh merupakan sebuah keniscayaan yang harus dilakukan oleh semua pihak. Bahkan, jika merujuk terhadap perjanjian damai antara Pemerintah Indonesia dan pihak Gerakan Aceh Merdeka, salah satu butir perjanjian tersebut adalah mengamanatkan pelestarian adat Aceh.
“Ke depan diharapkan lembaga ini dapat terus jadi lembaga yang melakukan pengkajian dan pelestarian adat Aceh. Bangun kerja sama dengan semua pihak dan berjalan beriringan dengan kemajuan teknologi informasi dalam melestarikan adat,” kata Malik Mahmud.