Memperingati HUT Jantho ke-37 semestinya bukan hanya diperingati dalam bentuk seremonial, namun juga dilakukan refleksi atau evaluasi perjalanan pembangunan yang sudah memasuki penghujung dasawarsa kedua.
Usia Jantho memang masih kategori muda, “jika kita ibarat usia manusia, maka Jantho bagaikan seorang pemuda ganteng yang memperistri gadis cantik nan jelita, keluarga muda yang baru memiliki dua anak, dimana anak pertamanya disekolah dasar”.
Secara piramida penduduk, angka usia ke-37 berada pada level ke-8, kategori 35-39, usia ini masih belum mandiri namun kita berada pada usia produktif, tentunya masih berproses dan berjuang menata diri menjadi mapan.
Keberadaan Aceh Besar yang beribukota dikota Jantho, sepatutnya kita review pada usianya yang ke-37 ini, mengevaluasi dari sudut masyarakat (society), pemerintahan (government) dan pasar (market) . Karena, ketiga komponen tersebut bermetamorfosis selama kurun waktu ditetapkannya Aceh Besar dengan ibukota Jantho sebagai Kabupaten baru (1983).
Tulisan ini dapat menjadi bagian dari evaluasi tersebut, agar menjadi diskursus untuk mereorientasi spirit perjuangan kota Jantho.
Perilaku masyarakat
Mayoritas masyarakat (society) Aceh Besar memiliki perspektif yang berdampak pada pergerakan pembangunannya jalan ditempat (stuck), diantaranya selalu berkembang dalam setiap pembicaraan dikedai kopi, bahwa Aceh Besar memiliki wilayah yang luas sehingga sulit dikelola, selanjutnya letak Ibukota terlalu jauh sehingga akses masyarakat sulit.
Kedua pandangan diatas menciptakan suasana perdebatan yang terjebak dalam suasana static dan sempit, karena solusinya menjadi instan dan trennya malah menciptakan gap sosial oleh faktor wilayah dan kelompok/golongan. Sehingga upaya untuk melahirkan pemikiran yang inovatif dan futuristic menjadi lemah karena ruang debat (public discourse) tidak terbuka.
Selanjutnya, kegiatan-kegiatan sosial cenderung dalam bentuk seremonial seperti peringatan hari besar islam, peusijuk tokoh, dan jauh dari perilaku persatuannya atas agenda strategis seperti keberlangsungan regenerasi dan pemikiran yang dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi, menguatkan budaya dan membangun atmosfir politik yang membebaskan.
Peran pemerintahan
Keberlangsungan pemerintahan Aceh Besar pun belum mampu keluar dari rutinitas birokrasi, aparatur sipil negara (ASN) dan politisi semestinya menjadi aktor pembebasan. Dimana, potensi anggaran yang dimiliki pemerintah dikelola dengan manajemen keuangan yang dapat menjawab segala permasalahan sosial-budaya. Juga dapat menumbuhkan ekonomi karena potensi sumber daya alam yang begitu kaya, seperti kelautan, pertanian, tambang, dan bahkan pariwisata.
Kepemimpinan cenderung auto-pilot, orientasi pembangunan meskipun dilandasi oleh Rencana pembangunan jangka panjang dan atau menengah, namun kapasitas pemimpin belum dapat menangkis penumpang gelap saat pembahasan anggaran, sehingga APBK yang berkisar antara 1.7 – 2.1 Trilyun Rupiah menguap setiap tahunnya pada program yang rutin dan tidak strategis.
Meskipun klaim pertumbuhan ekonomi naik, IPM naik dan kemiskinan menurun, menurut analisa penulis, kecenderungannya diakibatkan oleh faktor wilayah Aceh Besar yang berbatasan dengan ibukota provinsi.
Sehingga ramai penduduk digaris perbatasan didiami oleh orang-orang pandai (muhajirin) yang sudah tidak mungkin lagi tinggal di Bandar Aceh. Begitu pula, sekolah-sekolah unggul juga banyak yang berdiri di Aceh Besar, maka situasi demikian menguntungkan kita.
Intervensi Pasar
Sebenarnya, letak Aceh Besar yang mengelilingi kota Banda Aceh dari segala penjuru menjadi peluang pasar yang sangat berkontribusi terhadap tumbuhnya dunia usaha di Aceh Besar.
Jadi, pertumbuhan ekonomi dan pendapatan anggaran daerah (PAD) Aceh Besar berpeluang tumbuh signifikan. Supply chain daripada produksi ditentukan oleh pelaku usaha di Aceh Besar, meskipun tidak 100 % kaum Anshar, namun kehadiran kaum Muhajirin di Aceh Besar telah berkontribusi positif dalam mendukung pertumbuhan ekonomi Aceh Besar.
Terutama kiprah mereka di beberapa titik seperti kawasan Saree, Jantho, Lambaro, Ketapang dan Tungkop. Salah satu kontribusi pelaku usaha kaum Anshar adalah penggilingan padi, beberapa lokasi telah mempengaruhi pergerakan pasar atas gabah, sehingga supply chain tetap beredar di Aceh Besar.
Selain itu, beberapa infrastruktur, seperti pelabuhan dan airport yang berada dalam wilayah Aceh Besar ikut berkontribusi, tren ekonomi global yang bergerak ke Asia Pasifik telah menjadikan Aceh sebagai salah satu yang diperebutkan pelaku-pelaku pasar dunia.
Apalagi Aceh Besar memiliki wisata yang beragam, pertanian dan perikanan, serta hasil tambang yang sangat kaya. Keberadan Pulo Aceh sebagai bagian dari wilayah otoritas BPKS, saat ini belum juga maksimal kita manfaatkan.
Pemerintahan Aceh Besar kurang dapat membaca peluang keberadaan kota Lambaro Kaphee, kota yang penuh sejarah ini sebenarnya dapat disiapkan menjadi investment and business center untuk Aceh. Apalagi jika mal Lambaro dapat dikembangkan menjadi Aceh Tourism Information center maka seluruh pengunjung yang datang dengan pesawat maupun bus maka dapat berhenti disana, maka dapat kita bayangkan perputaran rupiah dikawasan ini.
Keterpaduan gerak
Sudah saatnya, para pemimpin di Aceh Besar berfikir secara lebih luas, tanggalkan keberadaan demarkasi kecamatan, namun berfikirlah menyeluruh dan strategis. Bupati-Wabup dan Pimpinan/anggota DPRK dan tokonh masyarakat sudah saatnya membaca peluang pasar, “jarou bak langai mata u pasai”, keberadaan wilayah Aceh Besar yang luas dan berbatas langsung dengan Banda Aceh adalah peluang.
Maka, dengan segala peluang yang ada, kelolalah kapital sosial yang tersedia menjadi kekuatan dalam membangun, Infrastruktur penunjang seperti tol telah berkontribusi besar agar Kota Jantho menjadi new destination city, maka sepatutnya kita jadikan kota Jantho sebagai titik tolak terhadap lompatan jauh kedepan.
Politik warna dan golongan sudah saatnya dikelola dalam agenda strategis dan semangat keberlangsungan regenerasi kaum “Anshar” agar mampu menjawab segala permasalahan dan mampu berperan mengelola segala potensi sumber daya demi mengembalikan kemajuan dan kemakmuran peradaban Aceh Rayeuk atau dikenal dengan peradaban Aceh Lhee Sagoe.
Seulamat mengevaluasi kota Jantho yang ke-37