World Bank secara resmi mengakhiri program Consolidating Peaceful Development in Aceh (CPDA) atau Konsolidasi Pembangunan Damai di Aceh, pada hari ini Kamis, 17 April 2014 di Banda Aceh. Upacara penutupan ditandai dengan sejumlah kegiatan yang menampilkan gambaran keberhasilan program tersebut.
Perwakilan World Bank, Safriza Sofyan mengatakan pihaknya merasa senang dengan kemajuan yang telah diraih Aceh saat ini, setelah mengalami kehancuran akibat bencana tsunami Desember 2004 dan konflik selama 30 tahun yang berakhir dengan perjanjian perdamaian pada 15 Agustus 2005 silam. “Sudah hampir sepuluh tahun sejak tsunami dan penandatanganan MoU Helsinki, Aceh telah berubah secara dramatis menjadi lebih baik,” ujarnya.
Menurutnya, Aceh kini telah berada dalam suasana damai dengan ekonomi yang sedang berkembang. Dana Otonomi Khusus Aceh telah menyediakan sumber daya fiskal tambahan yang dapat digunakan untuk lebih meningkatkan pembangunan mencapai kesejahteraan rakyatnya .
Tentu saja masih banyak tantangan, tetapi Aceh memiliki jalan yang masih panjang menjawab tantangan tersebut dan memenuhi harapan rakyat. “Aceh telah dianggap masyarakat Internasional sebagai kisah sukses dan model bagi negara-negara lain yang menderita bencana alam dan konflik,” kata Safriza.
Dengan keberhasilan tersebut, kata Safriza, World Bank merasa senang telah diberi kesempatan untuk berkontribusi bersama dengan masyarakat internasional lainnya. “Tentu saja, keberhasilan Aceh adalah usaha dari Pemerintah Indonesia, Pemerintah Aceh dan masyarakat Aceh pada umumnya. Kita harus bangga dengan ini.”
Berakhirnya program CPDA – World Bank di Aceh bukan berarti World Bank meninggalkan Aceh. World Bank akan terus membantu membantu pembangunan Aceh yang dilakukan melalui dukungan kepada program-program nasional seperti PNPM. Dengan banyaknya keberhasilan di Aceh, sudah saatnya masyarakat Aceh mengambil kendali untuk melanjutkan program penguatan perdamaian maupun program pembangunan lainnya. “Dalam banyak hal, ini bukan akhir dari cerita; ini adalah awal dari yang baru.”
Social Development Specialist, Adrian Morel mengatakan program CPDA mempunyai tujuan utama memperkuat kelembagaan nasional dan lokal untuk mendukung konsolidasi perdamaian dan pembangunan di Aceh. “CPDA didasarkan pada prinsip bahwa memutuskan siklus kekerasan di wilayah konflik membutuhkan dibangunnya kelembagaan yang kokoh dan memiliki legitimasi,” ujarnya.
Menurutnya, berbagai program yang dikelola CPDA bersama mitranya di Aceh telah menghasilkan berbagai kemajuan dalam peningkatan sumber daya manusia. Program juga menghasilkan berbagai laporan dan analisis yang ditinggalkan kepada para pengambil kebijakan di Aceh, untuk mendukung pembangunan Aceh berkesinambungan.
Sementara itu, Koordinator Program CPDA Muslahuddin Daud mengatakan banyak pembelajaran yang dapat diambil oleh Pemerintah Aceh dalam program yang telah dijalankan tersebut. Pihaknya berharap Pemerintah Aceh dapat melanjutkan program-program pascatsunami dan pascakonflik secara maksimal dengan lebih baik lagi. “Tindak lanjut dari kebijakan penguatan perdamaian sudah tertuang di RPJP dan RPJM,” ujarnya.
Selanjutnya, penguatan kelembagaan pemerintah dan non-pemerintah yang sebagiannya selama ini ikut disupport CPDA, diharapkan terus dilanjutkan oleh Pemerintah Aceh, supaya mampu menjawab persoalan yang masih tertinggal. “Juga diharapkan untuk lebih memperhatikan kelompok rentan dan masyarakat korban konflik lainnya,”kata Muslahuddin.
Menurutnya, kelompok rentan inilah yang rawan memunculkannya perulangan konflik. Di banyak negara bekas konflik, perulangan konflik dapat terjadi disebabkan banyak pengangguran, adanya disparitas pembangunan, dominasi elit dan eksklusifisme. “Risiko ini masih ada, terutama yang terkait dengan belum terealisasi sepenuhnya point-point perdamaian MoU Helsinki. Perlu ditemukan cara mewujudkannya.”