Pro-Kontra Wali Nanggroe Muncul Karena Kiprahnya Belum Dirasa Masyarakat

Bekas Menteri Pertahanan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Zakaria Saman menyebutkan bahwasanya perdamaian Aceh yang ditandai dengan MoU, serta ditindaklanjuti dengan diundangkannya UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh diperoleh dengan berbagai pengorbanan rakyat dan bangsa Aceh.

“Oleh karenanya, apa yang telah diberikan oleh Pemerintah kepada Aceh saat ini haruslah kita selaku rakyat Aceh jaga secara bersama, karena merupakan warisan perjuangan bangsa Aceh,” ujar Zakaria atau yang dikenal dengan sebutan Apa Karya pada Diskusi Publik kali ini bertema “Quo Vadis Lembaga Wali Nanggroe ?”.

Apa Karya menyebutkan jika dalam pelaksanaannya, kelembagaan Wali Nanggroe belum dapat melaksanakan peran dan kewenangannya secara optimal sebagaimana yang diharapkan, maka rakyat serta seluruh komponen masyarakat Aceh yang harus turut ambil bagian membantu dengan peran dan bentuk kontribusi yang beragam.

“Bek Bengeh ke Supir, moto ta thet. Tidak logis lah itu,” ujar Apa Karya.

Pada Diskusi Publik yang merupakan Serial “ALSA Legal Discussion” tersebut turut dihadirkan sejumlah narasumber lain seperti, Prof. DR. Husni, S.H., M.Hum (Guru Besar Hukum Tata Negara – HTN/ Akademisi Hukum Univ. Syiah Kuala), Azhari Cage, SIP (Ketua Komisi I DPRA), Syarifah Rahmatillah, S.H (Direktur Mitra Sejati Perempuan Indonesia – MiSPI), Adli Abdullah, S.H., PhD (Sejarawan Aceh/Akademisi Hukum Univ. Syiah Kuala) dan Kurniawan S, S.H., LL.M (Ketua Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Fakultas Hukum Univ. Syiah Kuala/Akademisi Hukum Univ. Syiah Kuala).

Ditempat yang sama Ketua Komisi I DPRA Azhari Cage, mengatakan bahwa Lembaga Wali Nanggroe merupakan amanat UU Nomor 11 Tahun 2006. Dengan demikian bermakna juga amanat MoU Helsinski. Untuk itu pihak yang mengatakan bahwa lembaga WN tidak diperlukan lagi di Aceh sama halnya mengatakan bahwa perdamaian tidak lagi diperlukan dan harus diakhiri di Aceh.

“Untuk itu siapapun yang mengatakan bahwa Lembaga WN tidak diperlukan lagi di Aceh dan karenanya harus dibubarkan, maka sama saja orang yang bersangkutan adalah anti perdamaian di Aceh,” tutup Azhari Cage.

Adapun Syarifah Rahmatillah, selaku Direktur MiSPI Aceh dan juga salah satu tokoh perempuan Aceh menyebutkan bahwa, keberadaan Kelembagaan Wali Nanggroe tetap harus dipertahankan karena merupakan salah satu kekhususan bagi Aceh.

“Namun demikian, hemat saya Pemangku Lembaga Wali Nanggroe kali ini belum mampu berbuat banyak dalam melaksanakan peran dan kewenangannya, selain itu, dari aspek alokasi anggaran, hemat saya alokasi anggaran yang diberikan kepada kepada Kelembagan WN termasuk kategori berlebihan,” tutup Syarifah Rahmatillah.

Sementara Adli Abdullah, S.H., PhD, mengatakan bahwa dalam sejarah, kehadiran wali di Aceh karena suasana kegentingan seperti raja perempuan atau masih anak-anak, atau raja meninggal maka muncul wali raja atau kepala negara sementara pengganti raja.

“Wali Nanggroe yang ada sekarang di Aceh kehadirannya lebih disebabkan karena “konsensus politik” yang terdapat dalam MoU Helsinki antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Mardeka pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki, kemudian diturunkan dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 dan dijabarkan dalam Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2018 yo No 9 tahun 2013”, tegas Adli.

Bahkan kata Adli, Konsensus politik menjadi sangat kuat setelah diperintahkan dalam sistim perundang-undangan Republik Indonesia jadi secara legal formal kehadiran wali nanggroe wajib ada.

“Terjadinya pro dan kontra tentang tentang lembaga ini selama ini mungkin disebabkan kehadiran Wali Nanggroe belum terasa kiprahnya sebagai lembaga pemersatu masyarakat Aceh dan pelestarian kehidupan adat dan budaya sepertinya Wali Nanggroe berada di menara gading dan minus fungsi,”,tutup Adli Abdullah.

Kurniawan S, S.H., LL.M selaku Ketua Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala menyebutkan bahwa, terselenggaranya Forum Ilmiah berupa Diskusi Publik yang diselenggarakan kali ini merupakan wujud dedikasi atas kepedulian Universitas Syiah Kuala sebagai JANTONG HATE RAKYAT ACEH melalui UKM ALSA LC FH Unsyiah dan Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala untuk hadir memberikan solusi terhadap setiap polemik kebijakan/hukum yang berkembang di Aceh.

Adapun, dalam Sambutannya, Dekan Fakultas Hukum Unsyiah yang diwakili oleh Wakil Dekan I FH Unsyiah, DR. Azhari Yahya, S.H., MCL., MA mengatakan bahwa kegiatan ini merupakan manifestasi Universitas Syiah Kuala melalui Fakultas Hukum dalam melaksanakan “Pengabdian” sebagai salah satu dari TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI selain sisi “Pendidikan” dan “Penelitian”.

Azhari Yahya juga mengatakan bahwa, Diskusi Publik ini dibuat sebagai bagian kontribusi Universitas Syiah Kuala melalui Fakultas Hukum dalam upaya mengakhiri polemik terhadap eksistensi kelembagaan Wali Nanggroe yang berkembang selama ini sekaligus memberikan masukan konstruktif terhadap optimalisasi peran kelembagaan Wali Nanggroe di masa mendatang.

Berita Terkait

Berita Terkini

Google ads