Belasan massa mahasiswa yang mengatasnamakan dirinya Aneuk Barat Selatan Aceh (ABSA) melakukan unjukrasa menolak Rancangan Qanun Wali Nanggroe, yang akan menjadi dasar penetapan Lembaga Wali Nanggroe di Aceh. Rancangan qanun tersebut dinilai diskriminatif karena hanya orang Aceh yang dapat berbahasa Aceh dengan fasih yang berhak menjadi Wali Nanggroe.
Juru bicara Aneuk Barat Selatan Aceh Khadafi Syah mengatakan, pihaknya menolak secara tegas Raqan Wali Nanggroe. Karena dalam raqan tersebut dinyatakan syarat menjadi Wali Nanggroe adalah orang yang bisa berbahasa Aceh dengan fasih dan baik, serta keturunan Aceh. Padahal, di Aceh banyak masyarakat dari suku bangsa lain dengan bahasa daerah yang berbeda.
“Tak hanya Wali Nanggroe, lembaga di bawah Wali Nanggroe pun, separti Majelis Tinggi, dan lembaga struktural lainnya juga menyaratkan orang yang bisa berbahasa Aceh. Lalu, di mana letak keadilan terhadap suku-suku di provinsi ini yang tak bisa berbahasa Aceh”, katanya.
Khadafi menambahkan Pemerintah Aceh diminta memperhatikan dan menghargai bahwa Aceh adalah kesatuan wilayah yang terdiri atas berbagai suku bangsa, seperti Gayo, Alas, Singkil, Jamee, Kluet, Simeulue, Tamiang, dan suku-suku lain. Jika tak ada revisi atas raqan tersebut, mahasiswa menganggap Raqan Wali Nanggroe bukan milik rakyat Aceh secara keseluruhan, tapi hanya milik DPR Aceh dan Gubernur Aceh.
Sementara Wakil Ketua DPR Aceh Amir Helmi diruang kerjanya mengatakan pihaknya sudah mengupayakan yang terbaik bagi masyarakat Aceh. dan perihal bahasa Aceh hal itu merujuk terhadap semua bahasa yang ada pada masyarakat Aceh saat ini.
“Jadi bahasa Aceh itu banyak, bukan hanya satu. Jangan salah tafsir juga ini. Sebenarnya kami mendukung masukan dari mahasiswa dan telah mengupayakan adanya sedikit perubahan mengenai Bahasa Aceh di dalam raqan itu,” ungkapnya.
Amir menambahkan pihaknya bersama Badan Musyawarah DPR Aceh sebelumnya juga telah melakukan dengar pendapat semua fraksi yang ada di DPRA. Sehingga menurutnya, Rancangan Qanun tersebut telah memenuhi semua tuntutan masyarakat Aceh pada umumnya.