International Centre for Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS) menggelar Pidato Kebudayaan tahunan pada Sabtu (28/12) dengan tema “Jatuh Bangun Bangsa Teuleubeh: Struktur, Agensi, dan Momentum yang Terlepas.” Acara ini tidak hanya menjadi ruang diskusi kebudayaan, tetapi juga refleksi atas dua dekade tsunami Aceh yang mengguncang dunia.
Muhammad Mirza Ardhi, peneliti ICAIOS sekaligus mahasiswa doktoral di National University of Singapore (NUS), menjadi pembicara utama dalam pidato tersebut. Mirza mengulas perjalanan agensi Aceh—tokoh atau kelompok penggerak perubahan sosial—dalam menjaga dan mengelola kemajuan. Ia menyoroti bahwa kemajuan yang tidak dikelola secara bijak dan seimbang berisiko pada ketidakberlanjutan. “Momentum itu sering hilang akibat ulah kita sendiri,” ujarnya.
Dalam pidatonya, Mirza mengulas sejarah peran agensi di Aceh, seperti Sultan Iskandar Muda yang membawa kejayaan pada masa Kesultanan. Namun, konflik internal yang terjadi setelah wafatnya perlahan meruntuhkan kejayaan tersebut. Pada masa penjajahan dan pasca-kemerdekaan, ulama dan cendekiawan Aceh berperan penting dalam membangun pendidikan berkualitas dan memperjuangkan kesetaraan. Sayangnya, perjuangan ini kembali kehilangan momentum akibat perang yang melanda.
Mirza juga memberikan kritik terhadap kondisi kepemimpinan dan demokrasi saat ini. Ia menilai bahwa sistem kaderisasi yang lemah serta politik perkauman menjadi penghambat utama kemajuan. Pemimpin, menurutnya, harus dipilih berdasarkan kapasitas, bukan loyalitas atau kedekatan pribadi. Meskipun Aceh telah menikmati perdamaian selama 19 tahun—periode terpanjang dalam sejarahnya—berbagai masalah mendasar seperti kemiskinan, prevalensi stunting, dan rendahnya tingkat imunisasi masih menjadi tantangan besar.
Reza Idria, Direktur ICAIOS, menambahkan bahwa secara fisik Aceh memang telah membaik, tetapi jika dibandingkan dengan indeks nasional dan global, Aceh masih menghadapi banyak tantangan. Acara pidato kebudayaan ini, menurutnya, menjadi sarana masyarakat untuk memahami posisi Aceh dalam konteks sejarah dan kebudayaan yang lebih luas.
Selain pidato, acara ini juga menghadirkan seni budaya seperti nandong Smong, syair tentang tsunami Simeulue pada abad ke-19, serta pameran seni bertajuk Karat yang merefleksikan peringatan 20 tahun tsunami. Pameran ini merupakan upaya ICAIOS menjembatani hasil riset agar lebih mudah dipahami masyarakat melalui media seni.
Sebagai lembaga penelitian internasional, ICAIOS terus berkomitmen mendukung kajian ilmiah dan isu-isu yang relevan dengan konteks Aceh, serta menjadikan hasil riset lebih dekat dengan masyarakat luas. (Nurul Ali/Kredit Foto: Sylvia Agustina)