Warga Aceh Tolak Kedatangan Rohingya

Ratusan pengungsi Rohingya kembali terdampar di Aceh. Warga meminta mereka untuk berlayar kembali setelah sebelumnya memberikan bantuan makanan dan Bahan Bakar Minyak (BBM).

Penolakan itu terjadi di Kabupaten Pidie, Bireun, dan Aceh Utara dalam kurun tiga hari, yaitu 14 November hingga 16 November 2023 dalam empat gelombang kedatangan.

Para pengungsi Rohingya tersebut menumpang kapal-kapal kayu yang mengangkut 500 orang lebih pengungsi.

Panglima Laot Aceh, Miftachuddin Tjut Adek mengatakan alasan masyarakat menolak pengungsi Rohingya dilatari oleh tidak tersedianya tempat penampungan. Dirinya sendiri merasa tidak berhak mengatakan masyarakat boleh menolak atau menerima para pengungsi.

“Tapi dari segi agama dan hukum adat di Aceh, ini tidak dianjurkan. Apabila ada orang butuh bantuan maka harus ditolong. Panglima Laot sendiri mempunyai kewenangan yang terbatas, yaitu hanya wajib membantu setiap orang yang nyawanya terancam di laut,” jelasnya.

Sementara itu, Faisal Rahman, Perwakilan UNHCR menanggapi hal tersebut dengan mengatakan bahwa perlu untuk memahami mengapa warga menolak para pengungsi Rohingya. Namun, dia berterima kasih dalam situasi ini masih tetap ada masyarakat yang memberikan dukungan.

Dia berharap penanganan ini akan lebih baik lagi ketika stakeholder terkait bisa fokus menjalankan fungsinya masing-masing sehingga persoalan ini bisa teratasi dengan baik.

Faisal mengatakan meskipun pemerintah Indonesia belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan Protocol 1967 sehingga tidak memiliki kewajiban untuk menangani pengungsi Rohingya, tetapi banyak hukum positif Indonesia yang sudah mengadopsi hukum-hukum internasional yang kemudian membuat negara pada satu sisi tidak bisa serta merta menutup mata atas apa yang terjadi saat ini.

“Indonesia memang tidak meratifikasi hukum tentang pengungsi, tetapi kita punya Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia di mana salah satu poinnya adalah setiap orang berhak mencari suaka. Ini dengan sendirinya terklasifikasi ke pengungsi yang sekarang ada di Aceh bahwa mereka pada statusnya adalah pencari suaka,” ujarnya.

Senada dengan Faisal Rahman, Koordinator Badan Pekerja Kontras Aceh, Azharul Husna menambahkan, Indonesia memiliki Undang-Undang HAM, Indonesia tunduk pada hukum internasional United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) atau Hukum Laut Internasional yang salah satunya mengatur tentang penyelamatan orang di lautan, ketentuan hukum kebiasaan internasional mengenai prinsip non-refoulement di mana seseorang termasuk pengungsi tidak boleh dikembalikan atau ditolak di negara tempat dia mencari perlindungan, dan Peraturan Presiden No.125 tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri.

“Mereka pengungsi pergi ke semua tempat, mengetuk semua pintu yang terbuka untuk menyelamatkan nyawa. Saya kira ini akan terus berlanjut sehingga solusi jangka panjang itu harus segera diambil, dan tentu saja bukan dengan menolak orang yang sedang menyelamatkan nyawa,” tegasnya.

Azharul Husna menilai absennya pemerintah pusat dalam hal penanganan pengungsi Rohingya di Aceh amat disayangkan mengingat Indonesia sudah 6 kali terpilih dengan suara terbanyak sebagai Dewan HAM PBB.

UNHCR mencatat pada 19 November 2023 sebanyak 249 pengungsi Rohingya mendarat di kabupaten Bireun, 241 orang di kabupaten Pidie, dan 35 orang di kabupaten Aceh Timur. Sebelumnya pada 14 dan 15 November 2023 sudah tiba pengungsi sebanyak 341 orang di kabupaten Pidie. Dengan demikian, jumlah akumulasi kedatangan pengungsi Rohingya dalam satu pekan terakhir mencapai 866 orang. (Lia Dali)

Berita Terkait

Berita Terkini

Google ads