Wacana revisi Qanun Lembaga Keuangan Syariah (LKS) di Aceh mencuat kembali akibat belum maksimalnya layanan bank syariah. Redaksi menerbitkan seri wawancara eksklusif dengan sejumlah narasumber penting. Ini merupakan seri ketujuh dari 10 seri wawancara.
Pemerintah Aceh menerapkan aturan Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang berlaku sejak diundangkan pada 4 Januari 2019. Akibatnya, sejumlah bank konvensional yang tidak memiliki Unit Usaha Syariah (UUS) menutup kantornya dan pergi meningggalkan Aceh pada Juni 2021 karena terbentur peraturan tersebut. Peraturan itu tertuang dalam pasal 2 Qanun LKS yang mengatakan Lembaga keuangan yang beroperasi di Aceh berdasarkan Prinsip Syari’ah.
Namun, dalam perjalanannya Qanun LKS dinilai telah menimbulkan sejumlah masalah. Terdapat beberapa kelemahan dalam implementasi dan kebijakannya sehingga muncul wacana untuk melakukan revisi terhadap produk hukum tersebut, bahkan keinginan untuk menghadirkan kembali bank konvensional di Aceh yang saat ini memicu perdebatan di tengah publik.
Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orwil Aceh, Prof. Dr. Syamsul Rizal, M.Eng.,IPU mengatakan silang pendapat ini terjadi karena sebagian kalangan masyarakat tidak bersedia melihat perbankan konvensional maupun perbankan syariah secara komprehensif.
Sebagian masyarakat menganggap bank konvensional adalah haram, padahal baik bank konvensional maupun bank syariah sama-sama menggunakan acuan BI rate sebagai fundamental mereka dalam memberikan kredit kepada pemohon debitur.
Dia mengatakan Islamic Development Bank (IDB) dalam memberikan kredit kepada negara-negara Islam menggunakan manajemen fee = LIBOR + 1-1,5%. LIBOR adalah London Interbank Offered Rate (Suku Bunga Antar Bank London) yang sering disebut sebagai suku bunga referensi bank yang mempesentasikan indikasi suku bunga pinjam-meminjam antarbank yang paling banyak diselesaikan di dunia.
Menurutnya bank konvensional dalam memberikan kredit bisa menganut manajemen fee tersebut. Manajemen fee = inflasi + operasional bank + keuntungan bank. Dia menegaskan manajemen fee tidak bertentangan dengan syariah.
Prof. Dr. Ir. Samsul Rizal, M.Eng., IPU merupakan Guru Besar Universitas Syiah Kuala. Dia menyelesaikan gelar sarjana di Departemen Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala tahun 1987 dan menyelesaikan Magister Teknik (M.Eng) pada tahun 1998. Pada 2001 melanjutkan program Doktor (Ph.D) di Universitas Teknologi Toyohashi, Jepang. Samsul Rizal bergabung dengan Universitas Syiah Kuala sebagai dosen di Departemen Teknik Mesin pada tahun 1988. Tahun 2006, dia ditunjuk sebagai Wakil Rektor I Bidang Akademik. 2012, diangkat sebagai Rektor Universitas Syiah Kuala. Tahun 2018, dia terpilih kembali menjadi rektor untuk memimpin Universitas Syiah Kuala hingga tahun 2022.
Berikut wawancara lengkap jurnalis anterokini.com dengan Prof. Dr. Syamsul Rizal, M.Eng.,IPU.
Bagaimana anda menilai silang pendapat di tengah masyarakat soal rencana revisi Qanun Lembaga Keuangan Syariah?
Silang pendapat ini biasa dalam sesuatu hal, baik yang setuju atau tidak setuju terhadap perbaikan atau evaluasi Qanun LKS yang sudah berjalan selama lebih dari dua tahun di Aceh.
Kalau kita lihat, ini mengapa sebagian dari masyarakat kita terutama pedagang dan pengusaha yang merasa ada kesukaran dalam implementasi Qanun LKS ini.
Nah, bank di Aceh yang syariah, BSI dan Bank Aceh Syariah belum dapat memenuhi harapan mereka. Di sisi yang lain, kita ingin Aceh sebagai daerah syariat harus menerapkan semua yang bersyariat. Jadi, bank-nya juga harus syariat. Kita harus mengevaluasi secara komprehensif kerugian, mudarat, dan kelebihan dari syariah hari ini. Karena ada sebagian masyarakat mengatakan bank syariah memang tidak ada bunga, mudharabah atau hal-hal lain dalam perjanjian, tapi begitu dihitung bunganya dengan bank konvensional sebelumnya, lebih mahal.
Di sisi yang lain juga. Misalkan, para kontraktor untuk mendapatkan garansi bank harus ada uang, bukan kontrak. Ini juga susah dan terbatas karena persyaratan-persyaratan yang dibuat oleh bank syariah, baik BSI atau Bank Aceh Syariah memberatkan mereka sedangkan mereka tidak punya modal, katakanlah modalnya kurang sehingga adanya kebutuhan bank konvensional di Aceh.
Selalu saya katakan, bank konvensional itu, apakah bunga bank atau kita ganti dengan manajemen fee itu tidak syariah? Ini menjadi pertanyaan. Karena saya melihat Islamic Development Bank sendiri -yang merupakan cikal bakal dari bank syariah yang sudah lebih dari hampir setengah abad mereka berkantor pusat di Jeddah dan dimiliki oleh negara-negara muslim- dalam memberikan kredit mereka juga menggunakan manajemen fee, sama dengan LIBOR.
Saya cari, apa itu LIBOR? London Interbank Offered Rate ditambah 1,5% keuntungan atau apapun namanya. Mengapa kita tidak? Silakan bank konvensional ada di Aceh, tapi menerapkan syariah. Kita buat qanunnya: Seluruh bank syariah atau bank konvensional tidak menggunakan dana yang ada di Aceh untuk dikeluarkan dari Aceh sehingga deposito dan tabungan dari seluruh masyarakat Aceh digunakan lagi untuk ekonomi Aceh.
Jangan pula ada bank di Aceh yang hanya membeli SBN, hanya membeli Surat Utang Negara, hanya membeli Sukuk atau hal lain sehingga ekonomi Aceh tidak berubah karena mereka hanya mencari keuntungan mereka sendiri.
Ada bank di Aceh yang hanya memberikan kredit konsumtif, tidak kredit untuk hal-hal investasi atau hal lain. Ini kan salah besar. Jadi, masyarakat juga harus melihat secara komprehensif. Jangan dilihat, “Wah, ini sudah syariah.” Tapi perlakuan didalamnya tidak syariah.
Oh, kita bisa berdebat, tapi ini tidak akan selesai. Di Mesir sendiri, beberapa syekh memang ada yang mengatakan bank konvensional haram, bunga bank. Namun, ada juga yang mengatakan itu adalah bagian dari perdagangan. Saya mau bertanya, ada bank syariah di Aceh membeli Sukuk dan SUN, apakah itu syariah? Karena kan di dalam Islam harus ada perdagangan.
Nah, ini harus secara terbuka untuk dilakukan evaluasi, bukan ditutup-tutupi. Juga kepada yang tidak setuju untuk melihat dan melakukan evaluasi dan investigasi apa yang selama ini terjadi.
Suatu saat saya pernah berdiskusi dengan presiden IDB sebelumnya, Muhammad (Presiden IDB Muhammad Ali, sebelum IDB dipimpin oleh Muhammed Al-Yasser). Saya katakan, “Brother Muhammad, mengapa Anda masih menggunakan LIBOR?” Tidak ada hal lain pondasi dasar untuk memberikan kredit dan yang punya uang tidak mau rugi. Maka saya diskusikan. Oh, mungkin nanti ada ushul fiqih baru yang akan muncul ke depan: Bagaimana sebagai umat Islam harus bersyariat menggunakan ban-bank syariah sehingga ada unsur-unsur fiqih baru, ada pendapat-pendapat baru tentang bank, bagaimana sebenarnya bank yang harus hidup nantinya ke depan?
Sekarang kita harus melihat, ada Bitcoin dan Blockchain. Islam karena rahmatan lil alamin harusnya orang-orang Islam itu berpikir, bagaimana untuk kehidupan perdagangan ke depan dengan Blockchain dan Bitcoin? Apa dasarnya? Misalkan, ya gunakan emas atau apa sebagai perbandingan. Dulu di masa Nabi kan pakai emas, Dinarnya. Nah, kalau sekarang pakai emas ya tidak masalah, mungkin perdagangannya orang menyimpan uang bisa dikonversikan ke emas atau orang yang mengambil uang. Emas kan terus naik, mengapa? Karena terjadi inflasi di Indonesia, di negara-negara manapun. Itu yang diminati orang.
Sekarang harga emas mulai naik lagi karena kepercayaan terhadap dolar dan terhadap mata uang lainnya sehingga orang membeli emas. Safe Haven katanya, agar lebih aman.
Tekanan dari kelompok konservatif membuat rencana revisi ini sepertinya akan gagal. Menurut Anda, bagaimana mereka memahami perbankan, halal haram bunga bank dan konsep bank syariah?
Konservatif, yang bunga bank haram? Makanya saya katakan orang-orang konservatif ini yang mengatakan bunga bank haram untuk melakukan peninjauan kembali. Tadi saya katakan syeikh-syeikh yang di Mesir dan Saudi Arabia sendiri juga ada bank konvensional makanya kita harus terbuka.
Saya tadi mengusulkan, bank konvensional silakan di Aceh, tetapi menerapkan syariat sehingga ada persaingan di dalam memberikan kredit, yang diuntungkan siapa? Masyarakat Aceh. Tidak ada lagi bunga bank di Aceh, yang ada adalah manajemen fee.
Bank syariah juga menggunakan Repo. Repo itu BI Rate dasarnya. Fundamental mereka untuk memberikan kredit adalah BI Rate, apalagi yang dia gunakan adalah operasional bank. Saya tawarkan tadi bukan BI Rate. Harusnya berani kita. Oke, Inflasi, berapa Inflasi di Aceh? Berapa sebenarnya operasional bank? Ini kan ditutupi. Berapa sebenarnya?
Yang paling efesien bank di Indonesia hari ini hanya bank swasta, sedangkan bank negara kita itu hanya 2,5 persen sampai 3 persen operasional bank. Kalau bank daerah bisa 4 sampai 5 persen. Saya tidak tahu BSI berapa persen, tapi lebih dari 3,5 sampai 4 persen operasional bank sehingga kredit yang diberikan itu pasti akan dihitung, apa keuntungan mereka ditambah inflasi sehingga kreditnya lebih mahal.
Selalu Pak JK katakan ingin 6 persen. Tidak bisa di Indonesia 6 persen kecuali yang disubsidi oleh Bank Indonesia, yang disubsidi oleh pemerintah, baru bisa 4 persen. Karena apa? Operasional mereka saja sudah sangat tinggi. Biaya operasional dari bank. Kita melihat ini.
Tadi kita tawarkan, “Oke, bank konvensional ada di Aceh dengan syarat buat peraturan gubernur: Seluruh deposito masyarakat dan seluruh tabungan masyarakat tidak digunakan untuk membeli Surat Utang Negara lalu disalurkan pada yang tidak konsumstif. Tidak boleh membeli hal-hal yang dilarang oleh syariat. Tidak membeli saham-saham hotel bintang 5 atau saham-saham Beer atau yang haram.” Nah. harusnya seperti itu. Jadi, bukan hanya kita melihat dengan kacamata kuda, “Oh, ini haram-halal.” Maaf.
Riba haram, tapi bunga bank yang kita ganti dengan manajemen fee, apakah itu haram? Nah, ini pertanyaannya. Kalau tidak haram, ya sudah, kita jalankan. Mungkin nanti tidak perlu qanun, hanya peraturan gubernur yang bisa menutupi beberapa hal ini sehingga bank bisa berjalan.
Sekarang kita lihatlah. Ini hanya ganti nama, bank-bank yang ada sebelumnya. Misalkan, bank-bank swasta yang mereka tidak ada induk syariah. Di Aceh mereka katakan bank syariah, tapi perlakuannya sama saja sehingga tidak menguntungkan masyarakat.
Jadi, kita duduk bersama untuk memikirkan ini. Bukan hanya, “Wah, ini pendapat saya.” Kita lihat pendapat-pendapat dan ushul-ushul fiqih yang sudah berjalan selama ini di negara-negara muslim, bagaimana bank syariahnya?
Apa yang dikatakan oleh Muhammad? Saya tanyakan, “Mengapa bank-bank di Jeddah atau bank muslim menggunakan LIBOR?” Tidak menjadi dasar, katanya. Tidak bisa, belum ada bank muslim atau bank Islam yang berjalan sesuai dengan syariah murni. Tidak ada hari ini.
Jadi, fundamental dasar mereka, di Indonesia, di Malaysia. Mungkin suatu saat, apakah 5 tahun atau 10 tahun ke depan. Kalau Islamic Development sendiri tidak menggunakan fundamental dasarnya dengan syariat -saya katakan dengan syariat, ya- mereka menggunakan LIBOR, London Interbank Offered Rate. Jadi, bunga bank di London untuk memberikan kredit. Mengapa London? Karena London adalah pusat keuangan dunia.
Di dunia ini, hanya Iran dan Sudan yang menjalankan single banking system. Hanya ada bank syariah, tapi konsep bank syariah dijalankan sesuai, seperti bagi hasil seharusnya. Sementara di Indonesia sebagian kalangan menilai hanya bungkusnya saja yang syariah, mengapa ini tidak dibenahi terlebih dahulu?
Inilah yang saya tanyakan, karena apa? Mereka sudah siap, tapi kita tidak siap di Aceh. Indonesia kan tidak siap. Mereka di Iran agama negaranya adalah Islam. Kita kan bukan. Kita pancasila. Dasar negara kita bukan Islam.
Kalau Iran dengan Sudah sudah menggunakan itu karena mereka berani membagi hasil. Kita tidak ada, apalagi hasilnya, ditulis bagi hasil, tapi di dalamnya tidak seperti itu. Misalkan, satu botol Aqua 2 ribu. Begitu saya membeli Aqua untuk 10 tahun, saya bayar 10 tahun harganya 4 ribu. Apakah itu syariah? Apakah dalam Islam boleh melakukan harga yang begitu mahal? Berapa sebenarnya keuntungannya? Keuntungan harusnya yang wajar.
Inilah yang belum diterapkan karena keefisiensian. Tadi sudah saya katakan efisiensi dari bank syariah di Indonesia juga sangat kecil, tidak efisien. Sesudah itu kalau kita bandingkan teknologi dengan bank konvensional, bank syariah masih tertinggal banyak. Mengapa? Kalau tidak ada persaingan mereka akan monopoli. Apakah dalam Islam dibenarkan monopoli? Misalkan, bank di Aceh syariah semuanya, kemudian diberlakukan seperti yang sudah dilakukan, bagi hasil dan sebagainya, apakah mereka sudah siap?
Jadi, harusnya diberi waktu sehingga suatu saat nanti akan berjalan. Allah akan membantu. Tapi kalau tidak, hanya bungkus-bungkusnya saja seperti kata masyarakat. Ya sudah, tidak ada gunanya karena hanya bungkusnya saja. Hanya akan ada kerugian bagi masyarakat akhirnya.
Kalangan yang mempertahankan Qanun LKS untuk tidak direvisi menyebutkan bahwa kesalahan teknis BSI tidak seharusnya mengubah Qanun dan memberi peluang kembalinya bank konvensional, apa tanggapan Anda?
Bukan, saya melihat bukan karena kemarin BSI dalam tiga hari di-hack. Bukan itu. Sudah lama timbul di masyarakat. Bukan karena masalah teknis di-hack oleh hacker. itu kan puncaknya kerugian bagi masyarakat.
Ini dikatakan bank syariah, tapi begitu orang tidak bayar dalam 3 bulan 6 bulan, mau dilelang. Apakah itu syariah? Harusnya kan dilihat, mengapa orang tidak bisa membayar? Ada masalah karena covid kemarin. Yang dikatakan tadi apa? Lebih ini dari bank konvensional. Jalankan syariah tidak.
Seharusnya bank syariah melihat, mengapa masyarakat tidak bisa membayar? Karena covid, tidak bisa memproduksi. “Oh, kita tambah 2 tahun lagi atau 3 tahun. Lalu bagaimana manajemennya? Kita lihat manajemennya.” Kan itu yang harus diperhatikan oleh bank syariah. Kalau konsep prinsip-prinsip syariah dijalankan, ya tidak perlu bank konvensional di Aceh.
Apa yang seharusnya dilakukan di tengah polarisasi masyarakat atas rencana revisi Qanun Lembaga Keuangan Syariah ini?
Buat saja seminar, kegiatan-kegiatan diskusi dari masyarakat. Apa yang tidak setuju, mana yang tidak setuju. Duduk dan kita bahas bersama sehingga muncul sebuah kesimpulan. Jadi, bukan masing-masing mengatakan, “Oh, saya tidak setuju. Saya setuju.” Tapi yang setuju, yang tidak setuju, yang abu-abu, semuanya duduk bersama untuk membahas sekali-dua kali sehingga muncul hasilnya. Apa yang terbaik bagi Aceh. Apa yang terbaik bagi masyarakat Aceh untuk saat ini.
Jangan kita menegakkan benang basah, “Saya tidak setuju, Tidak setuju.” Tapi solusinya apa? Tidak ada. “Oh, haram.” Ada yang mengatakan tidak apa-apa. Syekh yang mengatakan syekh Abdurrahman -salah satu mufti dari Mesir- mengatakan tidak apa-apa.
Ada juga yang mengatakan bank konvensional haram. Jadi, masing-masing membalas, yang mana haramnya? Oke, bunga bank. Saya pernah berdiskusi, bunga bank haram. Oke, ganti saja saya bilang. Bunga bank akadnya kita ubah. Tidak ada lagi bunga, kita buat manajemen fee. Apanya yang haram? Manajemen fee kan boleh, perdagangan.
Lihat apa yang saya katakan tadi, jangan dengan kacamata kuda. Oke, kita buat aturan: Silakan bank konvensional ada di Aceh dengan mengganti bunga bank, tidak ada lagi itu.
Sekarang mereka sendiri bank syariah menggunakan Repo sebagai dasar. Sudah deposito juga harus di bawah Repo. Artinya apa? Mereka berikan kredit itu sampai 12 persen, tapi memberikan keuntungan dalam deposito hanya 4 persen, 8 persen. Nah, itu keuntungan mereka. Besar sekali keuntungan mereka, operasionalnya. Seharusnya berapa? Kalau dia mengambil deposito 4 persen, ya 6 persen atau 7 persen, ada untung 1,5 persen.
Saya katakan seperti Islamic Development Bank, keuntungan operasional mereka 2,5 persen misalkan atau 1 persen cuma operasional ditambah keuntungan 1,5 persen. Sudah cukup. Karena peredaran uangnya kan begitu besar. Kan uang masyarakat yang banyak pada mereka. Berapa aset sebuah bank? Ini harus didiskusikan dan dibuka di depan umum. Apa yang sekarang di Bank Aceh Syariah? Apa yang sekarang di BSI yang ada di Aceh? Bagaimana sekarang BCA Syariah? Bagaimana Danamon Syariah? Jangan kita tutup mata. Bagaimana proses-proses yang ada di bank-bank syariah itu? Apakah betul-betul sudah dijalankan secara syariah? Memang ada Dewan Pengawas syariah, sejauh mana mereka bisa mengawasi syariah?
Siapa yang seharusnya mengambil inisiatif untuk melakukan konferensi internasional membahas persoalan perbankan syariah, dampak penerapan single banking sistem, dan sebagainya? Mengapa perguruan tinggi tidak mengambil peran untuk itu?
Saya tidak tahu, mengapa perguruan tinggi diam? Kita ada UIN Ar-Raniry yang harusnya di depan untuk masalah-masalah masyarakat. Karena ini ada inisiatif pemerintah Aceh, ya sudah, pemerintah Aceh dengan DPR yang mengambil inisiatif untuk melakukan diskusi karena yang lain semuanya saya lihat tidak, atau nanti saya menawarkan ICMI yang buat ini. Diskusi-diskusi kecil di ICMI juga sering kita lakukan terhadap perbankan syariah yang ada di Aceh hari ini. Diskusi yang lebih besar untuk mendatangkan ahli-ahli syariah, ahli ushul fiqih sehingga ada sebuah kesimpulan. (Lia Dali)