Wacana revisi Qanun Lembaga Keuangan Syariah (LKS) mencuat kembali akibat belum maksimalnya layanan bank syariah. Redaksi menerbitkan seri wawancara eksklusif dengan sejumlah narasumber penting. Ini merupakan seri kelima dari 10 seri wawancara.
Wacana revisi Qanun No. 11 Tahun 2018 Tentang Lembaga Keuangan Syariah (Qanun LKS) semakin hangat akhir-akhir ini. Berbagai pendapat muncul dari berbagai kalangan masyarakat Aceh. Wacana tersebut menimbulkan silang pendapat dengan keyakinan dan kebenaran versi masing-masing.
Pihak pro revisi menganggap Qanun LKS perlu direvisi karena penerapannya telah menimbulkan banyak kesulitan terutama dalam dunia usaha, bisnis, dan ekonomi. Mereka berharap revisi qanun ini dapat menyediakan alternatif transaksi keuangan lainnya selain sistem syariah.
Sementara itu, pihak kontra revisi menegaskan bahwa revisi Qanun LKS sama saja dengan mengingkari keistimewaan Aceh dalam hal bersyariah. Menurut mereka penerapan Single Banking System dengan prinsip-prinsip syariah adalah mutlak di Aceh.
Menyikapi silang pendapat atas wacana revisi Qanun LKS di tengah masyarakat, Rektor IAIN Lhokseumawe, Dr. Danial, M.Ag memberi saran agar semua pihak tetap tenang, argumentatif, dan rasional. Persoalan ini perlu kajian dan penelitian yang komprehensif dengan berbagai pendekatan, baik pendekatan syariah maupun berbagai disiplin ilmu lainnya.
Rektor kelahiran Bireun ini mengingatkan semua pihak untuk terbuka tidak hanya pada pandangan yang sama, terlebih atas pendapat yang berbeda agar dialektika dan ruang publik sarat dengan diskusi-diskusi yang rasional dan mengandung ilmu pengetahuan.
Dia menegaskan syariat Islam membawa kemaslahatan bagi seluruh umat manusia dan kemaslahatan manusia dalam konteks Qanun LKS adalah kemaslahatan ekonomi dan kesejahteraan.
Dr. Danial merupakan dosen pada Fakultas Syariah IAIN Lhokseumawe. Mantan Direktur Pascasarjana IAIN Lhokseumawe ini meraih gelar sarjana S1 di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pendidikan S2 di IAIN Ar-Raniry Banda Aceh dan selanjutnya menyelesaikan S3 di Universitas Gadjah Mada.
Berikut wawancara lengkap jurnalis anterokini.com dengan Dr. Danial.
Apa yang Anda sikapi dari silang pendapat masyarakat tentang rencana revisi Qanun Lembaga Keuangan Syariah?
Pertama, kita semua harus tenang dan tidak tergesa-gesa supaya ruang publik ini bisa menjadi ruang dialog yang cukup rasional, ilmiah, dan sehat. Isu apapun, termasuk isu lembaga keuangan syariah, khususnya tentang keinginan sebagian masyarakat kita untuk merevisi qanun tersebut.
Jadi yang penting, pertama harus tetap tenang, argumentatif, dan rasional. Tetap menyikapinya dengan basis ilmu pengetahuan. Saya kira itu yang paling penting.
Apakah pihak yang menolak revisi paham benar tentang konsep bank syariah atau dampak ekonomi pemberlakuan qanun tersebut? Dan sebaliknya, pihak yang menginginkan revisi paham tentang syariat Islam?
Mudah-mudahan kedua pihak paham. Cuma yang paling penting, apa motivasi yang menggerakkan kita untuk merevisi qanun ini, argumentasinya apa?
Kita jangan tergesa-gesa dalam melakukan sesuatu atau bereaksi dalam merespon sesuatu. Misalnya, problem dalam masalah syariah itu apakah problemnya di norma dihukumnya atau praktiknya? Apakah Qanun LKS-nya atau pelaksanaan Qanun LKS-nya?
Keduanya ini produk manusia, pasti punya keterbatasan dan kekurangan, tapi kita perlu data dan kajian yang cukup mendalam terhadap qanun yang sudah ada. Harus dibaca dengan komprehensif dan teliti terlebih dulu, apakah ada hal-hal yang secara normatif perlu dikoreksi? Sementara prakteknya -karena saya lihat isu ini marak kan setelah operasional BSI kemarin ada persoalan. Kita harus pilah, apa motivasi dan apa argumentasi yang diajukan untuk merevisi qanun ini? Begitu juga sebaliknya.
Kita tidak boleh juga anti revisi. Ini produk manusia. Selalu ada peluang untuk kita perbaiki maka kita perbaiki -Undang-Undang Dasar saja bisa diamandemen- tapi apa motifnya? Apa motifnya untuk merevisi Qanun LKS ini? Itu yang paling penting dikemukakan, didialogkan secara argumentatif dan rasional.
Bagaimana pandangan Anda harusnya perkara revisi atau tidak revisi ini bisa ditinjau secara jernih?
Menurut saya perlu kajian, mungkin penelitian-penelitian yang komprehensif dengan berbagai pendekatan. Bukan hanya pendekatan ekonomi dan syariah semata-mata, tapi juga pendekatan sosiologi, ekonomi, politik, dan berbagai disiplin ilmu yang ada di Aceh dan ada di kampus. Itu bisa dipakai untuk membaca dan merespon Qanun LKS ini. Begitu juga dengan praktiknya. Saya kira begitu.
Jadi, perlu kajian hermeneutika yang komprehensif tentang qanun ini. Bagi yang belum membaca, itu bisa dipelajari. Yang penting jangan memberikan respon kalau belum memahami isi Qanun LKS ini. Itu penting sekali.
Kita tidak boleh menutup mata: Tidak boleh direvisi atau harus direvisi. Itu dua-duanya sikap yang kurang bijaksana. Yang paling penting: Kalau harus atau tidak harus maka argumentasinya apa?
Untuk mengukur kinerja qanun ini bisa langsung merujuk pasal 5 tujuan dari Qanun LKS ini dibuat, baik yang menyangkut dengan kemaslahatan ekonomi masyarakat dan seterusnya, Pendapatan Asli daerah dan seterusnya. Ini kira-kira bisa dipakai sebagai alat ukur. Kemudian kita ukur: Apakah dalam usia kurang dari lima tahun sudah cukup kita untuk mengambil kesimpulan bahwa qanun ini tidak efektif? Itu perlu dialog dan kesepakatan yang sifatnya argumentatif dan rasional. Tidak emosional. Tidak reaktif.
Ada di pasal 5 tujuan qanun ini dibuat, diantaranya kalau kita tangkap point intinya adalah untuk kemaslahatan ekonomi masyarakat, keadilan bagi masyarakat, dan peningkatan Pendapatan Asli Daerah. Ini semua menjadi variabel yang bisa dipakai untuk mengukur: Apakah tujuan qanun ini dibuat sudah tercapai? Kalau belum: Apakah problemnya di norma -aturan-aturan pasal-pasal yang ada di dalam qanun ini- atau dipraktek pelaksanaannya? Kira-kira begitu. Ini yang saya sebut perlu kajian yang mendalam.
Perkembangan terbaru rencana revisi gagal karena kuatnya tekanan sebagian ulama dan pihak yang menolak, apa tanggapan Anda?
Kalau menurut saya, gagal-tidak gagal itu tidak ada problem ya, yang penting kalau memang qanun ini setelah kajian yang mendalam dalam jangka waktu taruhlah misalnya lima tahun setelah diundangkan atau diumumkan dalam Lembaran Daerah lalu dievaluasi.
Dievaluasi di dua level, yaitu satu, norma-norma yang ada di dalam qanun ini, perlu tidak untuk direvisi? Yang kedua, dievaluasi praktiknya, ada masalah tidak? Kalau ada, apa masalahnya? Ini supaya kita menggunakan analisa di levelnya masing-masing: di level norma hukum dan level praktik hukum. Itu saya kira yang paling penting.
Kita tidak boleh, baik pihak yang pro maupun pihak yang kontra mengambil sikap ekstrem. Itu tidak boleh. Menurut saya itu kurang bijaksana. Kita harus terbuka untuk pandangan-pandangan yang sama maupun yang berbeda dengan kita. Yang penting kita jangan berhenti berdialog supaya dialektika dan ruang publik ini sarat dengan diskusi-diskusi yang rasional dan mengandung ilmu pengetahuan.
Itu juga menjadi wilayah edukasi bagi masyarakat tentang Qanun Lembaga keuangan Syariah dan juga qanun-qanun lainnya. Penting untuk mencermati hal tersebut agar kita lebih bijaksana dalam merespon tentang syariat Islam dan isu-isu lain yang sejenis dengannya.
Praktik bank syariah dipertanyakan dan sebagian kalangan beranggapan hanya bungkus saja syariah, tapi di pihak lain, pihak yang menolak adanya pilihan kembalinya bank konvensional sebagai pilihan masyarakat tutup mata pada praktik bank syariah yang belum sesuai harapan tersebut, dalam kondisi ini apa yang bisa dilakukan?
Pertama, kita lihat secara substantif. Harapan kita, mestinya bank yang berbasis syariah harus lebih bagus daripada bank-bank atau lembaga keuangan –ini bukan hanya bank ya- Qanun ini mengatur lembaga keuangan perbankan, lembaga keuangan non-perbankan, dan lembaga keuangan lainnya.
Jadi, mestinya karena di konsideran menimbang poin satu dalam Qanun No.11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah ini dijelaskan bahwa Al-Qur’an dan Al-Hadist adalah sumber utama ajaran Islam yang menebarkan kasih sayang bagi alam semesta maka praktik apapun itu atas nama -kalau digali sumbernya dari syariah- itu memang harus lebih bagus daripada semua lembaga keuangan lainnya. Harapannya seperti itu.
Kita juga berharap bukan hanya terjebak pada bungkus, tapi juga substansi bahwa dengan kehadiran syariat Islam termasuk di dunia keuangan dapat meningkatkan kualitas kemaslahatan bagi umat manusia, khususnya masyarakat Aceh. Kemaslahatan ekonomi khususnya atau tingkat kesejahteraan. Itu substansi Islam: Kemaslahatan manusia dunia akhirat.
Syariat islam itu membawa kemaslahatan. Kemaslahatan manusia dalam konteks LKS adalah kemaslahatan ekonomi dan kesejahteraan. Itu idealnya harus lebih meningkat, kalau tidak nanti syariat ini bisa dianggap lebih buruk, padahal yang buruk praktiknya.
Mungkin perlu diskusi ruang publik. Ruang publik ini harus sehat untuk berdialog. Tidak ada pernyataan-pernyataan yang sifatnya emosional, kita hindari sejauh mungkin supaya publik juga mendapatkan pencerahan dari silang pendapat ini tentang bagaimana cara kita berdiskusi. Itu juga harus bersyariat.
Cara kita berdiskusi juga harus mengindahkan nilai-nilai yang Imam Syafi’i pernah mengatakan, “Seandainya pendapat saya ini benar, tentu masih mengandung unsur-unsur kesalahan. Dan seandainya pendapat mereka salah, tentu masih mengandung unsur-unsur kebenaran.”
Saya kira pendapat Imam Besar kita ini perlu menjadi praktik dalam kehidupan kita, khususnya dalam menghadapi silang pendapat seperti ini supaya kita semakin matang secara intelektual, emosional, dan spiritual. Itulah inti dari Islam: Akhlak berbeda pendapat.
Para ulama dulu menulis satu kitab khusus tentang akhlak adab berbeda pendapat. Kita tetap beradap, walaupun pendapat kita berbeda tentang suatu masalah termasuk masalah ini. (Lia Dali)