Wacana revisi Qanun Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dengan kemungkinan kembalinya bank konvensional di Aceh mencuat kembali akibat belum maksimalnya layanan bank syariah. Redaksi menerbitkan seri wawancara eksklusif dengan sejumlah narasumber penting. Ini merupakan seri keempat dari 10 seri wawancara.
Ketua Majelis Ulama (MPU) Aceh, Tgk. Faisal Ali menyatakan tidak setuju dengan wacana revisi Qanun Lembaga Keuangan Syariah.
Tgk. Faisal Ali mengakui bahwa konsep Fiqih Syari’ah dalam kehidupa masyarat Aceh belum sempurna, termasuk juga dalam pelaksanaan Qanun Lembaga Keuangan Syariah. Namun, dia menegaskan ketidaksempurnaan tersebut tidak lantas menjadi alasan untuk merevisi qanun yang baru dijalani selama dua tahun itu, apalagi dengan wacana mengembalikan bank konvensional ke Aceh.
Menurutnya usia Qanun LKS yang masih belia seharusnya diberikan kesempatan dan dukungan untuk tumbuh berkembang agar dapat menjadi sebuah produk hukum yang mampu memenuhi kebutuhan transaksi keuangan dalam bingkai syariat Islam yang rahmatan lil alamin.
Dia menegaskan sesuai dengan kewenangan yang ada maka MPU Aceh akan memberikan pandangan dan pertimbangan kepada pemerintah Aceh terkait rencana revisi Qanun LKS tersebut.
Pria yang lahir di Lamno dan belajar ilmu agama selama 15 tahun di pesantren Ma’hadal Ulum Diniyyah Islamiyyah Masjid Raya (MUDI Mesra) Samalanga ini menamatkan pendidikan S1 di STAIN Al-Aziziyah Samalanga, Aceh Utara. Selain menjabat sebagai Ketua MPU Aceh, saat ini dia juga merupakan pimpinan Dayah Mahyal Ulum Al-Aziziyah, Sibreh, Aceh Besar.
Berikut wawancara lengkap jurnalis anterokini.com dengan Tgk. Faisal Ali.
Apa pandangan Anda terhadap praktik bank syariah di Indonesia dan Aceh? Apakah sudah sesuai dengan konsep bank syariah. Misalnya, dalam hal bagi hasil?
Berbicara tentang konsep Fiqih Islam, Fiqih Syar’i, dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat kita ini, belum ada yang sempurna sebagaimana yang kita maklumi. Dalam seluruh aspek belum ada yang sempurna. Misalnya, praktik pelaksanaan Qanun Jinayah, itu juga belum mencerminkan sebuah kesempurnaan. Qanun Baitul Mal juga belum mencerminkan full konsep syariah kita. Termasuk juga di dalam masalah keuangan, baik itu perbankan maupun di lembaga lain. Itu belum sempurna konsep-konsep Fiqih Muamalah kita dalam praktik sehari-hari.
Anda meyakini praktik sudah sesuai dan bukan bungkusnya saja yang syariah? Apakah MPU sudah mengkaji hal tersebut?
Sudah saya sampaikan tadi bahwa tidak ada kesempurnaan. Belum ada kesempurnaan karena untuk sempurna sebuah produk sesuai dengan fiqih syar’iyah, sesuai dengan konsep-konsep fiqih yang kita pelajari, itu harus banyak sekali pendukungnya. Sumberdaya manusianya juga perlu. Kalau kita melihat dalam praktek lembaga keuangan syariah lalu kita berbicara tentang kesempurnaan, itu tentunya belum. Namun, langkah-langkah dan benih-benih untuk menuju kesempurnaan itu terus berkembang, terus terjadi.
Tentang rencana revisi Qanun Lembaga Keuangan Syariah, apa pandangan Anda?
Kalau kita melihat dasar yang saya sampaikan tadi bahwa pelaksanaan Qanun Lembaga Keuangan Syariah dilihat pada aspek pelaksanaan lembaga-lembaga keuangan dalam konsep syariah yang ada di Aceh maka belum bisa kita ukur dan mengambil sebuah kesimpulan: Apakah lembaga-lembaga keuangan syariah yang ada di Aceh sekarang ini, baik bank ataupun non-bank sudah memenuhi substansi syariah? Apakah sudah terpenuhi unsur-unsur. Misalnya, rahmatan lil alamin?
Qanun ini baru saja berlaku maka belum bisa kita jadikan sebagai ukuran untuk melihat penting atau tidaknya Qanun LKS perlu direvisi. Karena itulah Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh melihat ini tidak tepat, belum, dan jangan.
Dulu, Qanun LKS ini direvisi karena alasan qanun ini belum bisa kita gunakan. Ini, baru saja kita jalankan.
Mengapa Anda menyebutkan upaya menghadirkan bank konvensional sebagai “Bukan hanya dosa, tetapi juga berpotensi murtad?”
Ya, karena bagi umat Islam ada bingkai. Ada pagar-pagar yang harus kita jaga. Harus kita jaga. Seseorang yang tahu bahwa itu perbuatan dosa dan dia lakukan perbuatan dosa itu, kalau sesuatu itu memang kategori wajib maka hal itu haram, tetapi menghalalkan sesuatu yang haram itu jadi murtad.
Orang tidak mengerjakan salat itu dosa besar. Dia bertobat kepada Allah berpotensi dia bisa masuk surga apabila Allah mengampuni segala dosa-dosanya. Namun, memfatwakan hukum, mengeluarkan hukum ataupun mengatakan bahwa salat itu tidak wajib maka itu akan keluar dari Islam.
Orang yang minum arak, itu adalah dosa besar, tetapi menghalalkan arak itu keluar dari Islam. Itu harus dipahami oleh umat Islam.
Itu sudah ada fatwanya, Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh, yaitu Nomor 4 Tahun 2021 tentang tanggung jawab seorang pemimpin di dalam melihat kepemimpinannya, baik dalam menjalankan kewenangan ataupun dalam merumuskan kewenangan.
Bagaimana jika yang bermasalah praktik bank syariahnya? Apa upaya dan jaminan mereka akan melakukan perbaikan?
Nah, sekarang harus kita maklumi: setiap lembaga keuangan syariah itu ada Dewan Pengawas Syariah, baik di tingkat lokal ataupun di tingkat nasional. Dewan Pengawas Syariah ini adalah para ahli. Harus kita percayakan kepada mereka. Ada kekurangan-kekurangan, ya, tetapi mereka Dewan Pengawas Syariah ini terus mengawal dan mendorong agar beberapa hal yang menjadi kekurangan itu untuk disempurnakan.
Jadi, tidak boleh adanya kekurangan, tetapi itu kita matikan. Adanya kekurangan, tetapi itu kita hentikan. Itu tidak boleh. Tugas kita, di mana yang kurang disitulah perlu kita perbaiki. Perlu kita berikan dukungan untuk kebaikan. Jadi, benih-benih kebaikan itu jangan dimatikan, tetapi dihidupkan karena suatu saat nanti kebaikan itu akan tumbuh besar.
Di dunia ini hanya Iran dan Sudan yang menerapkan single banking system, hanya ada bank syariah, tapi konsep yang dilakukan sesuai konsep bagi hasil yang benar. Apa pendapat Anda?
Perlu dipahami bahwa Iran itu sudah puluhan tahun menerapkan sistem perbankan syariah maka sudah menampakkan hasil. Kita kan baru dua tahun. Jadi, belum bisa kita ukur -yang kita sebutkan tadi bahwa pelaksanaan Qanun Lembaga Keuangan Syariah ini tidak bisa menumbuhkan perekonomian.
Belum bisa kita jadikan sebagai ukuran makanya kita berharap teman-teman pemerintah dalam hal ini pemerintah Aceh, eksekutif, legislatif, jangan dulu merevisi Qanun LKS, tetapi berikan dukungan dulu agar kelemahan-kelemahan di dalam pelaksanaan qanun ini bisa berlaku dan berjalan dengan semestinya. Ini tidak, saya lihat Qanun LKS ini, mulai dari lahirnya terus diganggu. Terus diganggu. Terus diganggu. Kapan qanun ini bisa berkembang dan berjalan dengan semestinya? Terus diganggu.
Dulu, sebelum berlaku qanun ini sudah diupayakan dan diminta agar ditunda pelaksanaannya sampai 3 tahun. Pokoknya terus digoyang. Ada masalah apa dengan qanun ini sehingga orang-orang terutama pejabat-pejabat di pemerintahan kita itu mengganggu. Itu makanya kita berharap jangan.
Eksekutif dan legislatif, semua kita khususnya para penguasa yang ada di Aceh ini ingat bahwa Aceh ini ada keistimewaan, keistimewaan di bidang agama. Salah satunya kita berharap bahwa sistem keuangan yang ada di Aceh ini betul-betul menuju Islam secara kaffah nanti pada suatu saat.
Sekarang ini masih embrio. Ayok, kita dukung. Kita berikan pupuk agar embrio itu menjadi batang di kemudian hari yang subur dan menjadi rahmatan bagi sekalian alam dalam konsep kehidupan ekonomi kita.
Berkaca dari Iran dan Sudan, mengapa MPU tidak melakukan kajian dan mengkritisi pelaksanaan konsep bank syariah di Indonesia dan Aceh?
Mengapa yang disalahkan revisi qanun daripada mengkritisi pelaksanaan konsep bank syariahnya?
Itulah sedang kita lakukan. Prosesnya sedang kita lakukan. Coba bayangkan, Bank Aceh Syariah yang menjadi milik pemerintah Aceh, milik masyarakat Aceh, sampai sekarang ini larinya masih sangat tertatih-tatih untuk menuju sebuah bank yang profesional dan mampu mewujudkan seluruh produk-produk yang diinginkan oleh masyarakat Aceh. Itu bank milik masyarakat Aceh. Bank pemerintah Aceh. Mengapa ini saja tidak didukung oleh pemerintah Aceh? Eksekutif dan legislatif? Agar Bank Aceh ini menjadi sebuah bank yang diperhitungkan, jangankan ditingkat nasional tapi sampai tingkat dunia. Mengapa yang lain diusik?
Jika pemerintah Aceh dan DPRA tetap melakukan revisi qanun, apa sikap Anda?
Sikap kami dari awal sesuai dengan kewenangan yang diberikan kepada kami, yaitu untuk menjaga agama ini, tentu kami akan memberikan pandangan. Sebagaimana yang sudah saya sebutkan tadi, kepada teman-teman, baik eksekutif maupun legislatif bahwa ini jangan dilakukan. Kalaupun dilakukan maka hal itu kita serahkan kepada Allah dan kepada masyarakat Aceh untuk menilai bagaimana sikap pemerintah kita, eksekutif dan legislatif, dalam melihat pelaksanaan syariat Islam di Aceh. (Lia Dali)