Warga Swedia Keturunan Aceh Tanggapi Aksi Bakar Alquran dan Islamophobia di Swedia

Pemimpin partai Stram Kurs, Rasmus Paludan, berjanji bahwa dia akan membakar Al-Quran setiap Jumat hingga Swedia diloloskan menjadi anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara atau Nort Atlantic Treaty Organization (NATO). Pesan ini ditujukan kepada Erdogan.

Pada Jumat ini direncanakan pembakaran Al-Qur’an akan dilakukan pada tiga tempat di Copenhagen. Pertama di luar sebuah mesjid, kedua di luar kedutaan Rusia, dan terakhir di luar kedutaan Turki.

Seorang warga Swedia keturunan Aceh yang berdomisili di Swedia, Asnawi Ali mengatakan bahwa Rasmus Paludan membuat kehebohan ini dengan memanfaatkan momen ketegangan antara Turki dan Swedia.

“Ini bukanlah sekali dua kali, tapi sudah berkali-kali. Swedia menjadi malu gara-gara seorang yang bernama Rasmus Paludan. Swedia memohon menjadi anggota NATO, tapi Turki tidak mengizinkannya. Syarat menjadi anggota NATO adalah semua anggota NATO harus menyetujuinya. Sementara, Turki saja yang belum setuju. Turki menuntut Swedia memulangkan warga negara Turki yang memberontak, yaitu warga Kurdi,” ujarnya.

Turki mendesak Swedia tidak lagi melindungi aktivis Partai Karkerani Kurdistan (PKK) yang kabur dari Turki ke Swedia. PKK atau Partai Buruh Kurdistan merupakan organisasi militan Kurdi dan kelompok yang disalahkan atas upaya kudeta Turki pada 2016. Desakan ini menjadi salah satu syarat dari Erdogan jika Swedia ingin mendapat restu Turki untuk menjadi anggota NATO.

“Sebenarnya ketegangan antara Swedia-Turki ini sudah berlangsung dalam minggu-minggu ini juga. Dua minggu yang lalu, boneka Erdogan dipajang di Stochklom dan membuat marah orang Turki dan si Paludan memanfaatkan momen ini untuk memanas-manaskan situasi, yaitu dengan membakar Al-Qur’an. Itu sebenarnya yang membuat aksi kali ini menjadi lebih heboh dibandingkan aksinya 10 bulan lalu saat dia juga membakar Al-Qur’an. Sebenarnya, Swedia dan Denmark sudah muak melihat dia. Itulah intinya, moment yang dimanfaatkan oleh Paludan,” ucapnya.

Rasmus Paludan adalah seorang pengacara dan punya jam terbang tinggi dalam bidang hukum di Swedia dan Denmark. Dia merupakan warga kedua negara Skandinavia itu.

Asnawi mengatakan Rasmus Paludan mencari celah, yaitu kebebasan berpendapat dan berekspresi. Swedia berpendapat aksi membakar Al-Qu’an adalah bagian dari kebebasan berpendapat dan berekspresi. Rasmus Paludan menggunakan celah itu. Menurut Asnawi, banyak orang bukan hanya di Barat, tetapi juga di Swedia sendiri yang memprotes dan menafsirkan aksi ini sudah melampaui kebebasan berpendapat dan berekspresi.

Aksi pembakaran Al-Qur’an di Swedia menunjukkan Islamophobia di negara tersebut terbilang tinggi. Tindakan intoleransi tersebut terjadi di tengah derasnya seruan dan ajakan toleransi di negara-negara Eropa. Asnawi mengatakan walaupun Islamophobia kerap terjadi di Swedia, tetapi intensitasnya tidak sekuat dalam beberapa minggu ini. Swedia pernah tersangkut larangan penggunaan jilbab, masalah makanan halal, dan sebagainya. Namun, menurut Asnawi itu hanya hal-hal yang bersifat lokal saja sedangkan aksi pembakaran Al-Qur’an oleh Rasmus Paludan dianggap sudah melewati batas.

Asnawi menduga penyebab kerap terjadinya Islamofobia di Swedia karena semakin bertambahnya jumlah warga muslim di negara tersebut. Keadaan ini menjadi ketakutan tersendiri bagi politikus di Swedia dan Denmark.

“Saya rasa itulah kebangkitan Islam. Saya tidak bisa mengatakan ini salah, tapi saya yakin ini sebuah kebenaran. Saya baca, saya riset juga, bahwa perkembangan Islam di Eropa ini tidak bisa ditutup-tutupi. Dari hari ke hari memang semakin meningkat. Bahkan ada bukti yang sangat mencolok bahwa di Swedia ini telah berdiri partai berhaluan Islam. Kalau 10 bulan lalu belum masuk ke dalam parlemen, saat ini sudah masuk parlemen dan kebetulan ketuanya warga negara Swedia keturunan Turki,” tambahnya.

Terkait peran pemerintah Swedia dan mengapa kebencian kepada Islam dibiarkan oleh pemerintah Swedia, Asnawi menjelaskan bahwa ini merupakan sebuah dilema bagi pemerintah Swedia: Pemerintah Swedia harus berbaikan dengan Turki karena kepentingan negara tersebut untuk masuk menjadi anggota NATO sementara di sisi lain negara tersebut tidak bisa menjawab aspirasi para demontran untuk mendukung Rasmus Paludan. Dalam hal ini, Pemerintah Swedia harus berpikir ulang. Organisasi Islam dan negara-negara Islam di dunia bisa mendesak dan menekan: Jika Rasmus Paludan terus melakukan hal ini maka hubungan Swedia dengan negara lain akan memburuk dan pada akhirnya akan berimbas pada perekonomian Swedia.

“Bisa jadi dilakukan pemutusan ekonomi secara bertahap atau boikot ekonomi. Hal yang bisa dilakukan oleh negara Islam dan organisasi Islam lainnya adalah bersepakat menekan Swedia dalam hal ekonomi. Meskipun saya tinggal dan saya warga negara Swedia, dalam hal ini bukan berarti saya harus setuju dengan pemerintah Swedia,” tegasnya.

Kecaman datang dari berbagai negara terutama negara Islam seperti Arab Saudi, Yordania, Kuwait, Turki, dan Indonesia. Bahkan gereja Ortodok Rusia mengatakan pembakaran Alquran di Swedia sebagai bentuk vandalisme yang tidak bisa diterima. Lalu, bagaimana reaksi kaum Muslim di Swedia sendiri atas peristiwa yang berulang kali terjadi ini? Asnawi mengatakan kejadian ini sama seperti 10 bulan yang lalu, saat Rasmus Paludan membakar Al-Qur’an. Ketika itu, banyak negara muslim anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI) menekan Swedia dan ternyata tidak terjadi apa-apa.

“Bahkan si Rasmus ini dijaga hidupnya di Swedia. Jadi, saya rasa harus dilakukan aksi lainnya. Hari Jumat nanti, selepas Jumat muslim Swedia akan berdemo di kota tempat saya tinggal dan juga kota-kota lain di Stockhlom,” jelasnya.

Asnawi berharap warga muslim Arab dari Timur Tengah yang memiliki banyak uang bersedia membantu warga muslim Swedia dengan melakukan sesuatu, seperti menyewa pengacara handal untuk menyeret Rasmus Paludan ke meja hijau. Menurutnya Rasmus Paludan bisa diseret dengan pasal hate speech karena hate speech kegiatan melanggar hukum di Swedia.

Sementara itu, dialog sudah pernah dilakukan dengan pemerintah. Government to Government. Namun, tidak berdampak sama sekali. Imbas yang terlihat hanyalah perasaan takut para pekerja kedutaan Swedia di beberapa negara Timur Tengah. Asnawi memberi contoh negara Gambia di Afrika yang mampu menuntut Myanmar ke Mahkamah Internasional dengan tuduhan melakukan genosida terhadap warga minoritas muslim Rohingya.

“Dialog boleh dan bagus, tapi harus memahami perasaan antar negara. Harus dilakukan action lainnya. Harus ada plan A, plan B, dan plan C. Ini harus dilakukan secepatnya karena bukan hanya sekali, dua kali. Ini sudah melampaui. Berapa milyar muslim di dunia ini? Harus melakukan sesuatu, membentuk semacam tim khusus. Kalau dulu Gambia bisa menekan kerajaan Myanmar dengan disponsori OKI. Mengapa tidak dengan kasus ini? OKI harus melakukan hal serupa seperti mereka membantu Gambia menuntut Myanmar karena genosida muslim Rohingya dulu,” imbuhnya.

Asnawi menegaskan Rasmus Paludan bukan cerminan warga Swedia dan Denmark. Banyak orang Swedia dan Denmark yang membencinya. (Lia Dali)

Berita Terkait

Berita Terkini

Google ads