Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI Aceh) meminta Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) agar segera membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk tangani pencemaran udara yang terjadi di PT Medco E&P Malaka. Karena kebauan yang terjadi di sana sudah berdampak terhadap menurunnya kualitas kesehatan masyarakat, terutama perempuan, anak-anak, ibu hamil hingga lansia.
Permintaan tersebut disampaikan Direktur WALHI Aceh, Ahmad Shalihin dalam pertemuan Rapat Dengar Pendapat (RDP) Pansus Perizinan, Migas, Minerba dan Energi 2023, Kamis (26/1/2023) di ruang serba guna DPRA. Terlebih dalam pertemuan tersebut mengemuka Pansus ini akan turun langsung ke lokasi PT Medco E&P Malaka untuk memantau kebauan tersebut.
“Kami tunggu Pansus ini turun, WALHI siap mendampingi. Boleh juga membentuk Pansus baru, WALHI juga siap membantu. Karena kebauan di PT Medco E&P Malaka sudah berdampak serius terhadap kesehatan warga, terutama perempuan, anak-anak, ibu hamil hingga lansia,” kata Ahmad Shalihin dalam RDP tersebut, Kamis (26/1/2023).
Menurut Om Sol, sapaan akrab Ahmad Shalihin, pencemaran udara yang terjadi di empat gampong yaitu Blang Nisam, Alue Ie Mirah, Suka Makmur dan Jambo Lubok, Kabupaten Aceh Timur sudah 4 tahun lebih mencium bau tak sedap dan mulai resah.
Berbagai protes telah berulang kali dilayangkan oleh warga sejak 2019 lalu, tetapi hingga awal 2023 belum ada respon positif dari pemerintah Aceh maupun pihak perusahaan.
Ironisnya, sebut Om Sol, sudah 4 tahun warga memprotes kebauan tersebut tidak ada respon baik dari pemerintah Aceh maupun DPRA. Termasuk juga Badan Pengelolaan Migas Aceh (BPMA) yang memiliki fungsi pengawasan terkesan lebih berpihak kepada perusahaan.
Justru respon pemerintah maupun BPMA telah menyakiti para korban, sebut Om Sol. Pasalnya, korban terus berjatuhan dan kebauan setiap saat dirasakan oleh warga dengan durasi variasi – antara 1 sampai 2 jam. Tetapi selama ini pemerintah masih saja berlindung di balik Permen LHK No 14 Tahun 2020 tentang Indeks Standar Pencemaran Udara.
Seharusnya pemerintah, BPMA maupun DPRA harus memiliki sensitivitas terhadap dampak terhadap kesehatan warga. Terlebih warga memiliki hak untuk hidup sehat berdasar pasal 65 Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH).
Bila hak hidup sehat warga terus diabaikan oleh pemerintah, kata Om Sol, tidak menutup kemungkinan warga dapat menggunakan hak gugat masyarakat sesuai pasal 91 UU PPLH.
Kendati demikian, sebut Om Sol, warga yang tinggal di lingkar tambang dan maupun WALHI Aceh masih belum berniat untuk mempergunakan pasal tersebut. Karena masih berharap pemerintah, BPMA maupun DPRA untuk menuntaskan persoalan ini.
Meskipun warga saat ini sedang mengumpulkan dokumen dan bukti-bukti pencemaran udara tersebut. Bila sewaktu-waktu harus menempuh jalur hukum pencemaran udara yang terjadi di PT Medco E&P Malaka.
“BPMA dan Pemerintah Aceh itu jangan jadi juru bicara perusahaan, jangan selalu berlindung di balik Permen No 14 itu, harus memiliki sikap sensitivitas lah sedikit terhadap kondisi kesehatan warga,” kata Om Sol.
Berdasarkan catatan WALHI Aceh setelah beberapa kali menggelar pertemuan dengan warga. Sejak 2019 hingga akhir 2022 sudah 13 orang lebih yang menjadi korban, baik yang dirawat di Puskesmas maupun yang langsung dilarikan ke rumah sakit umum daerah Zubir Mahmud di Idi, Kabupaten Aceh Timur.
Keluhan mereka sesak nafas, mual, muntah-muntah, pusing, lemas hingga ada yang pingsan setelah menghirup bau busuk dari limbah proses produksi PT. Medco E&P Malaka. Korbannya lagi-lagi kebanyakan adalah perempuan, anak-anak serta lansia yang berusia di atas 80 tahun.
Baru-baru ini pada tanggal 2 Januari 2023, ada satu anak berusia 2 tahun dari Gampong Alue Patong harus dilarikan ke Puskesmas Alue Ie Merah dan satu orang dewasa mengalami sesak, mual-mual, muntah, pusing.
Untuk anak usia 2 tahun tersebut, pihak Puskesmas harus merujuk ke rumah sakit umum daerah Zubir Mahmud di Idi, karena tidak mampu ditangani di pusat kesehatan dasar.
Menurut Om Sol, penting DPRA segera membentuk Pansus atau Pansus yang sedang berjalan saat ini memiliki skala prioritas untuk mengaudit kebauan yang terjadi di PT Medco E&P Malaka.
“Jadi jangan menunggu korban semakin banyak, baru sibuk, boleh bentuk Pansus baru atau Pansus yang sudah ada harus memasukkan kasus kebauan di PT Medco tersebut agar lebih cepat,” ungkapnya.
Terlebih kasus kebauan yang terjadi di PT Medco E&P Malaka sudah direspon oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Tim Pengendalian Pencemaran Udara (PPU) KLHK berjumlah dua orang yaitu Jamsen dan Ahmad didampingi WALHI Aceh sudah menggelar pertemuan dengan perwakilan kelompok perempuan di Kecamatan Indra Makmur, Kabupaten Aceh Timur, Rabu (18/1/2023) di Gampong Blang Nisam.
Dalam pertemuan yang berlangsung selama 2 jam lebih, tim PPU KLHK menjaring aspirasi warga, dari kebauan, dampak kesehatan hingga pengelolaan dana Corporate Social Responsibility (CSR) yang dilakukan oleh perusahaan.
“Pihak KLHK justru sudah turun dari Jakarta, kok pemerintah Aceh terkesan mendiamkan, jadi gak salah pemerintah maupun BPMA macam juru bicara PT Medco,” tegasnya.
Atas dasar itulah, WALHI Aceh mendesak DPRA selaku wakil rakyat untuk bersuara dan segera memanggil pihak-pihak terkait agar persoalan kebauan ini segera dapat diselesaikan. Termasuk pembentukan Pansus pencemaran limbah udara PT Medco E&P Malaka.
Kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Gubernur Aceh untuk mengevaluasi kinerja BPMA atas kelalaian menjalankan tugas monitoring pelaksanaan kontrak kerja sama PT Medco E&P Malaka.
“Kalau kondisi seperti sekarang, warga bukan untung, justru warga jadi korban, kesehatan menurun. Kesehatan terganggu dipastikan juga terganggu perekonomian warga,” jelasnya.
WALHI Aceh juga menyerahkan dokumen rekomendasi tentang berbagai persoalan lingkungan di Aceh kepada Pansus DPRA usai RDP. Termasuk tentang pengelolaan tambang, baik legal maupun ilegal yang ada di seluruh Aceh.