Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh menyambut baik respon cepat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tangani pencemaran limbah udara dari proses produksi minyak dan gas milik PT Medco E&P Malaka.
Tim Pengendalian Pencemaran Udara (PPU) KLHK turun bertemu dengan warga, setelah kelompok perempuan Gampong Blang Nisam, Kecamatan Indra Makmur bersama WALHI Aceh melaporkan kebauan tersebut yang telah banyak memakan korban perempuan, anak, ibu hamil hingga lansia.
“Kita menyambut baik niat baik KLHK yang turun langsung bertemu, berdiskusi dan mendengar keluhan warga terkait kebauan yang diduga bersumber dari proses produksi PT Medco,” kata Direktur WALHI Aceh, Ahmad Shalihin, Jumat (20/1/2023).
Om Sol, sapaan akrab Ahmad Shalihin menyampaikan, kedatangan tim PPU KLHK berdiskusi dengan kelompok perempuan merupakan langkah maju atas perjuangan warga yang tinggal di lingkar tambang PT Medco E&P Malaka untuk mencari keadilan atas hak hidup sehat mereka.
“Ini merupakan kemenangan kecil dari warga yang tinggal di lingkar tambang PT Medco untuk memperjuangkan hak atas atas lingkungan hidup yang sehat,” jelas Om Sol.
Tim PPU KLHK berjumlah dua orang yaitu Jamsen dan Ahmad didampingi WALHI Aceh bertemu langsung dengan perwakilan kelompok perempuan di Kecamatan Indra Makmur, Kabupaten Aceh Timur, Rabu (18/1/2023) di Gampong Blang Nisam. Tim juga meninjau ke sejumlah titik perumahan warga yang berdekatan dengan PT Medco E&P Malaka.
Dalam pertemuan yang berlangsung selama 2 jam lebih, tim PPU KLHK menjaring aspirasi warga, dari kebauan, dampak kesehatan hingga pengelolaan dana Corporate Social Responsibility (CSR) yang dilakukan oleh perusahaan.
Om Sol menyebutkan, dalam pertemuan tersebut berbagai keluhan disampaikan oleh warga kepada tim PPU KLHK. Persoalan yang paling dominan muncul adalah dampak kebauan yang berakibat terganggu kesehatan hingga aktivitas ekonomi.
Sejak 2019 hingga akhir 2022 sudah 13 orang lebih yang menjadi korban, baik yang dirawat di Puskesmas maupun yang langsung dilarikan ke rumah sakit umum daerah Zubir Mahmud di Idi, Kabupaten Aceh Timur.
Keluhan mereka sesak nafas, mual, muntah-muntah, pusing, lemas hingga ada yang pingsan setelah menghirup bau busuk dari limbah proses produksi PT. Medco E&P Malaka. Korbannya lagi-lagi kebanyakan adalah perempuan, anak-anak serta lansia yang berusia di atas 80 tahun.
Baru-baru ini pada tanggal 2 Januari 2023, ada satu anak berusia 2 tahun dari Gampong Alue Patong harus dilarikan ke Puskesmas Alue Ie Merah dan satu orang dewasa mengalami sesak, mual-mual, muntah, pusing.
Untuk anak usia 2 tahun tersebut, pihak Puskesmas harus merujuk ke rumah sakit umum daerah Zubir Mahmud di Idi, karena tidak mampu ditangani di pusat kesehatan dasar.
Hal lain yang mengejutkan mengemuka dalam pertemuan tersebut, sebut Om Sol. Warga yang tinggal di lingkar tambang ternyata tidak mengetahui pengetahuan mitigasi tanggap darurat, bila sewaktu-waktu terjadi kebocoran atau kejadian luar biasa lainnya dari proses produksi minyak dan gas milik PT Medco E&P Malaka.
Menurut Om Sol, seyogyanya warga yang tinggal di lingkar tambang wajib dibekali pengetahuan mitigasi. Sehingga bila terjadi sesuatu dari proses produksi, dapat meminimalisir korban dan warga memiliki pengetahuan cara menyelamatkan diri.
Terlebih, sebut Om Sol, bila kejadian luar biasa terjadi saat warga sedang beraktivitas di luar rumah. Ada anak yang sedang sekolah dan anggota keluarga lainnya tidak di bersama, harus memiliki pengetahuan cara menyelamatkan diri untuk mencegah banyak korban berjatuhan.
Termasuk titik kumpul untuk menyelamatkan diri dan pusat pertemuan keluarga saat berpencar karena kejadian luar biasa tersebut. Kata Om Sol, berdasar keterangan warga, hingga sekarang pengetahuan tersebut tidak dimiliki oleh warga.
“Bayangkan kalau anak di sekolah, orang tua di rumah, pasti akan orang tua panik dan akan bertindak gegabah, ini bisa berdampak terhadap keselamatan nyawa seseorang,” jelasnya.
CSR Tidak Partisipatif
Permasalahan yang terjadi menimpa warga yang tinggal di lingkar tambang tidak hanya menyangkut dengan kebauan yang berdampak terhadap menurunnya kualitas kesehatan warga. Tetapi juga muncul bahwa pengelolaan dana CSR yang dilakukan perusahaan tidak partisipatif.
Warga menjelaskan dalam pertemuan itu, program CSR yang merupakan kewajiban perusahaan dikelola bukan berdasarkan kebutuhan warga. Tetapi beberapa dana CSR itu diputuskan komoditinya oleh pihak perusahaan sendiri. Sehingga beberapa program CSR berdasarkan keterangan dari warga gagal.
“Jadi berdasarkan keterangan dari warga, penentuan komoditi itu bukan berdasarkan kebutuhan warga, tidak partisipatif,” kata Om Sol.
Salah satu program CSR yang dinilai gagal oleh warga saat pihak perusahaan menawarkan penanaman padi System of Rice Intensification (SRI). Selama ini warga menanam padi masih secara konvensional.
“Gak mungkin bisa terlaksana dalam satu tahun tanam padi SRI, kondisi tanah di sawah milik warga masih terkontaminasi pupuk mengandung zat kimia, jadi untuk mengubah tanah jadi organik butuh waktu lama,” tuturnya.
Yang terjadi kemudian, sebut Om Sol, produksi padi menggunakan SRI menurun, sehingga banyak warga yang kemudian meninggalkan padi SRI dan kembali menanam padi secara konvensional.
Kemudian ada juga pembagian bibit tanaman perkebunan, sebut Om Sol, seperti durian, rambutan dan beberapa jenis lainnya. Lagi-lagi tidak sesuai dengan keinginan warga.
Pasalnya saat warga terima, bibit didatangkan dari luar Aceh dan saat diminta sertifikasi dan surat karantina bibit, pihak yang mendatangkan bibit tidak mampu memperlihatkan seluruh administrasi tersebut.
“Jadi bibit itu ditolak warga dan kemudian memang diganti lain oleh pihak perusahaan, jadi kalau seperti ini dana yang banyak mengalir ke konsultan, bukan ke warga,” tukasnya.
Berdasarkan beberapa fakta dan temuan lapangan tersebut, kata Om Sol, PT Medco E&P Malaka terkesan tidak serius dalam memproteksi warga dari dampak produksi minyak dan gas tersebut, sehingga kebauan yang seharusnya dapat diantisipasi telah diabaikan.
Begitu juga pengelolaan dana CSR yang semestinya harus secara partisipatif. Perusahaan harus melibatkan secara penuh untuk menentukan program yang hendak dikerjakan untuk pengelolaan dana CSR.
“Jadi program CSR jangan diputuskan top down, tetapi harus button up, sehingga sesuai dengan keinginan dan kebutuhan warga,” jelasnya.
Atas dasar itu, WALHI Aceh bersama warga saat ini sedang melengkapi data dan fakta lapangan terkait dengan pencemaran udara. Hingga sekarang sudah berhasil merampungkan bukti-bukti kelalaian pihak perusahaan mencapai 90 persen.
“Kalau pihak perusahaan masih mengabaikan keluhan warga dan tidak segera mengantisipasi, tidak tertutup kemungkinan akan menempuh jalur hukum,” tukasnya.
Kendati demikian, saat ini WALHI Aceh bersama warga masih menempuh jalur non-litigasi dengan mengadvokasi pencemaran udara ini dengan mediasi. “Semoga pemerintah maupun pihak perusahaan jangan masuk angin, harus segera menyelesaikan permasalahan ini,” tutupnya.