Direktur Koalisi Ngo-HAM, Khairil Arista menyampaikan apresiasi kepada Presiden Jokowi atas keberaniannya mengakui kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh pada masa lalu.
Pengakuan tersebut menjadi harapan baru bagi korban dan keluarga korban yang sejak lama menunggu kepastian hukum dan pengakuan negara tersebut.
“Namun di Aceh tidak hanya itu kasusnya, tapi kita berharap dengan ada pengakuan ini, maka ada upaya selanjutnya dari negara untuk memberikan rasa keadilan bagi korban dan keluarga korban,” ujarnya.
Menurut Khairil, pelanggaran HAM terjadi hampir terjadi di seluruh Aceh pada masa konflik dari 1976-2005, meskipun negara baru mengakui tiga diantaranya masing-masing peristiwa Rumoh Geudong di Pidie, Jambo Keupok di Aceh Selatan dan Peristiwa Simpang KKA di Aceh Utara.
“Kita mencatat lebih 1400 peristiwa terjadi di Aceh, dan pernah kita sampaikan ke KKR Aceh dan Komnas HAM. Harapan kita tetap memberikan keadilan dan tidak berulang pelanggaran HAM di masa depan,” lanjutnya.
Khairil berharap pemerintah juga melihat peristiwa-peristiwa besar lain yang terjadi di Aceh sehingga korban bisa dipulihkan mental dari penderitaan masa lalu.
“Harapan kita dipulihkan baik dari secara psikis dan ekonomi, karena mereka sudah lama menunggu keadilan dari negara. Maka kita berharap negara tidak hanya mengakuinya tapi juga pemulihan korban,” tambahnya.
Sementara untuk pelaku, Khairil mengaku bisa diselesaikan dalam tahapan berikutnya setelah pemulihan korban. “Kalaupun pelaku diseret ke pengadilan HAM itu tidak akan menjawab persoalan,”.
Seperti diberitakan sebelumnya, Presiden Jokowi mengakui sejumlah pelanggaran HAM berat masa lalu yang pernah terjadi di Indonesia. Tiga di antaranya terjadi di Aceh.
Ketiga pelanggaran HAM berat itu adalah pertama peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh pada tahun 1998. Lokasi Rumoh Geudong adalah di Desa Bili, Kemukiman Aron, Kecamatan Glumpang Tiga, Kabupaten Pidie.
Kedua, peristiwa Simpang KKA di Aceh pada tahun 1999. Simpang KKA adalah sebuah persimpangan jalan dekat pabrik PT Kertas Kraft Aceh di Kecamatan Dewantara, Aceh Utara.
Peristiwa ketiga yakni tragedi Jambo Keupok Aceh pada tahun 2003. Peristiwa ini terjadi di Desa Jambo Keupok, Kecamatan Bakongan, Aceh Selatan.
Atas pengakuan Presiden tersebut, Ketua Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Mastur Yahya menyampaikan apresiasi dan berharap menjadi langkah baru untuk tindak lanjut dari kasus pelanggaran HAM tersebut.
Di KKR Aceh sendiri diakui Mastur, pihaknya mencatat lebih dari 5000-an korban pelanggaran HAM yang terjadi di masa konflik. Data tersebut juga sudah diserahkan kepada pemerintah Aceh, dan berharap bisa dikutsertakan dalam penyelesaian kasus-kasus yang sudah diumumkan oleh Presiden.
“Pengakuan Presiden tersebut menjadi pintu masuk bagi kita untuk mengikutsertakan lima ribuan kasus yang sudah kita kumpulkan. Sehingga tindaklanjut pemulihan tidak hanya terfokus pada tiga kasus yang sudah diakui negara,” ujarnya.
Mastur Yahya menambahkan korban selanjutnya berhak mendapatkan keadilan atas apa yang dialaminya pada masa lalu.
“Pengalaman kami dari 2017-2020 ketika menjumpai korban, tidak semua mereka menuntut peradilan, tapi dia butuh ganti rugi, kompensasi, reparasi harta bendanya yang hilang masa konflik, ada yang mengalami cacat fisik sehingga butuh biaya pengobatan, pendidikan keluarganya karena kepala keluarga hilang masa konflik, ada yang dokumen buku nikahnya yang tidak didapatkan masa konflik dan ada juga yang minta kenyamanan dari sisi psikologis, karena dia masih tinggal sekampung dengan orang yang bermasalah waktu konflik, sehingga dia minta solusi dari KKR Aceh,” lanjutnya.
KKR diakui Mastur butuh kerja keras untuk melakukan rekonsiliasi sehingga tidak ada lagi dendam ditengah masyarakat.