Penjabat (Pj) Gubernur Aceh, Achmad Marzuki, mengajak pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK) seluruh Aceh untuk berkomitmen memberantas dan menghindari tindakan korupsi selama menjalankan tugas sebagai wakil rakyat.
“Korupsi itu dilarang oleh agama, tentunya kita khawatir mendapatkan dosa di dunia dan di akhirat,” ujar Achmad Marzuki dalam Rakor Pemberantasan Korupsi Terintegrasi Pimpinan DPRA dan DPRK se-Aceh bersama KPK RI, di Gedung Utama DPRA, Kamis, (15/12/2022).
Marzuki yakin, jika daerah bebas dari korupsi, maka pembangunan yang bermuara untuk kesejahteraan masyarakat dapat segera terwujud.
Lebih lanjut, Pj Gubernur Aceh itu bersyukur KPK RI senantiasa aktif memberikan pendampingan bagi Pemerintah Aceh, salah satunya melalui program Monitoring Center For Prevention (MCP).
Marzuki menyebutkan, ada delapan area yang menjadi intervensi KPK dalam program MCP, yaitu: perencanaan dan penganggaran APBD, pengadaan barang dan jasa, perizinan, pengawasan APIP, manajemen ASN, optimalisasi pajak daerah, manajemen aset daerah, serta tata kelola keuangan desa.
Menurut Pj Gubernur Aceh itu bila perbaikan terhadap 8 area itu bisa dilaksanakan dengan baik, maka bukan hanya meminimalisir terjadinya tindak pidana korupsi, tapi juga bermuara pada membaiknya kinerja pemerintah.
“Alhamdulillah, sejak penerapan MCP di Aceh pada tahun 2018, terlihat ada peningkatan terhadap langkah-langkah pencegahan korupsi di daerah kita,” ujar Achmad Marzuki.
Deputi Koordinasi dan Supervisi KPK RI, Didik Agung Widjanarko, menyebutkan, sepanjang tahun 2004 sampai semester pertama 2022, sebanyak 313 anggota DPR dan DPRD ditetapkan sebagai pelaku tindakan korupsi.
Dalam kesempatan itu, Didik mengingatkan seluruh pimpinan DPRK di Aceh itu untuk memahami kembali manajemen pokok pikiran (Pokir). Menurutnya, pada area tersebut menjadi sisi yang rawan para anggota DPR melakukan tindakan korupsi.
“Setelah disetujui dan masuk dalam APBD, pokir menjadi kewenangan eksekutif, sementara DPRD mengawasi pelaksanaan dan realisasinya,” kata Didik.
Didik menyebutkan sejumlah modus anggota dewan yang berpotensi dalam melakukan tindak korupsi pada usulan Pokir. Diantaranya, melakukan intimidasi terhadap SKPD untuk mengarahkan pelaksanaan pekerjaan. Kemudian menunjuk rekanan pelaksana pekerjaan pokir dan meminta fee dengan mengatasnamakan jasa memperjuangkan proyek.
“Korupsi terjadi karena adanya niat dan kesempatan, solusinya adalah membangun keinginan agar tidak mau melakukan, selain membentuk ruang agar tidak ada kesempatan dan niat hal itu terjadi,” kata Didik.