Perempuan Pencari Tiram: Tiram Naik Kelas Tapi Menurun Keberadaannya

Permintaan pasar yang membeludak secara instan menyebabkan penangkapan yang berlebihan terhadap tiram.

Oyster atau disebut juga dengan tiram ialah molusca bivalvia yang hidup di perairan pantai beriklim sedang dan hangat. 

Memiliki kandungan protein tinggi, seperti sembilan asam amino esensial yang dibutuhkan tubuh serta antioksidan.

Perlahan-lahan, dibeberapa negara dan kota besar, kelangkaan memberikan predikat eksklusif dan status sosial lebih tinggi untuk tiram, yang kemudian menjadikannya identik sebagai kudapan mewah nan mahal dengan penyajian yang unik.

Namun eksklusifitas tiram belum sepenuhnya dirasakan oleh pencari tiram tradisional di pesisir kota Langsa. Karena ingin tahu, rasa penasaran mempertemukan saya dengan seorang perempuan pencari tiram Kuala Langsa, berbicara dan mendengarkan cerita darinya.

Pagi itu, saat tiba di depan rumahnya, sambil duduk berselonjor dan menonton telivisi, perempuan itu, menjawab salam dari luar rumah lalu bangun mempersilakan masuk. Ia membentang tikar agar nyaman berbincang. Dari ruang tamu, di tengah obrolan, Mahliana, nama perempuan itu, bercerita mengenai aktivitasnya sebagai mencari tiram yang mulai berkurang keberadaannya.

Wajahnya tampak lelah dan memerah karena paparan sinar matahari kala mencari tiram, namun begitu, kecantikan masih terlihat dari bawah samar-samar garis halus khas wanita pekerja keras. Ia mendengarkan setiap pertanyaan dengan seksama, berdiam dan berpikir sejenak lalu menjawab dengan hati-hati.

Perempuan itu berbagi kisah suka duka sebagai pencari tiram yang dirasakan olehnya serta teman sejawat, “iya, suka duka itu pasti ada, mana ada pekerjaan yang cuma enaknya aja” katanya sambil tersenyum.

Dalam seminggu, aktivitas mencari tiram ia lakukan sebanyak 3 – 4 kali tergantung kondisi pasang surut air laut. Pergi saat langit malam masih pekat dan kembali saat matahari telah di atas kepala.

Ia berangkat berkelompok dengan perahu mesin yang telah menjadi langganannya selama 12 tahun ini, membayar sebesar Rp.25.000 untuk sekali jalan.

“Kami berangkat pukul 4 subuh dan kembali pukul 12 siang tapi terkadang bisa sampai sore pulangnya karena harus menunggu air pasang dulu baru boatnya bisa jalan” jelasnya, sambil mengingat.

Begitu sampai, apakah mereka langsung mencari tiram? “Tentu tidak, perjalanan ke lokasi yaitu Ujoeng Perleng bisa sampai 1 jam, kami harus menunggu air surut dan langit terang terlebih dulu, baru turun mencari tiram, kalo masih gelap takutnya ada Ular.”lanjutnya.

Saat Mentari belum menyinsingkan sinarnya, Ia dan kelompok menunggu di tepi pantai, menyantap sarapan agar berenergi, lalu menapaki garis pantai menuju ke kedalaman hutan bakau yang berjarak setengah kilometer. Saat mencari tiram, mereka akan berpencar dengan radius jangkauan mata, “saling menjaga dan mengingatkan agar tetap aman” imbuhnya.

Jika matahari mulai meninggi dan keranjang dirasa telah penuh, mereka akan kembali berkumpul di tempat semula, sambil menunggu boat menjemput, mereka mencuci tiram-tiram dengan air laut agar bersih dan lebih mudah saat diasapi.

Biasanya hasil yang mereka dapatkan mencapai 4 – 6 kilogram setelah dikupas dengan harga jual Rp.25.000 per kilogram kepada penampung (Agen) yang datang mengambil setiap sore. Namun jika sedang beruntung, mereka bisa menjual kepada pengunjung wisata dengan harga Rp.30.000 – Rp.35.000 per kilogram.

Ia melanjutkan cerita, kali ini, senyumnya memudar dan tergantikan dengan tatapan nanar, “tapi, sudah dua tahun belakangan ini, pendapatan dari mencari tiram menurun, karena banyak sebab, selain karena pencari tiram yang terus bertambah juga cara mengambil yang tidak sesuai, menyebabkan tiram mati.” ujarnya.

Ia mengenang saat ia pernah mendapatkan hingga 11 kilogram pada tahun 2019 lalu, tidak hanya ia tapi juga pencari tiram lainnya. “Berbeda dengan sekarang, jika dulu yang cari tiram hanya dari Kuala dan beberapa hari dalam seminggu, sekarang entah dari mana saja, hampir setiap hari dan mereka juga mencari kerang, jadi tidak hanya tiram yang berkurang namun juga kerang” ucapnya dengan raut sendu.
,
Ia menjelaskan, bagaimana dampak dari pencari tiram yang tidak mau tahu (peduli) atau tidak paham cara mengambil tiram yang disarankan.

“kami mengambil seperlunya dan selalu dipilih karena tiram itu hidupnya saling nempel (berangkai), seharusnya diambil yang berukuran sedang atau besar saja, sedangkan tiram kecil diletakkan kembali agar dapat terus tumbuh, tapi ini malah kebalikan, satu gerombol itu diambil, jika pun nanti dibiarkan hidup di bawah rumah panggung itu tidak akan bertahan lama, pasti mati tiramnya.” lanjutnya lagi.

Selain itu, tiram itu di atas permukaan sedangkan kerang di dalam lumpur, jadi jika saat mengambil kerang tidak memperdulikan keberadaan tiram di atas, pasti menyebabkan tiramnya tenggelam ke dalam tanah dan membuatnya mati. “Kan kasian, mungkin karena itu juga tiramnya berkurang, padahal sebelumnya sudah pernah dijelaskan cara mengambil tiram yang benar oleh pihak Camat” tegasnya.

Apakah tiramnya tidak dibudidayakan saja? “Sudah pernah beberapa tahun lalu, mahasiswa KKN melakukan budidaya dengan ban tapi tidak berkembang, di bawah rumah kami juga tidak berhasil, jadi kami hanya mengandalkan tiram di alam saja” Mahliana menyakinkan.

Bagaimana dengan kondisi hutan Bakau? “Hutan Bakau di lokasi itu, masih bagus tidak rusak, jika pun ada yang menebang, hanya seperlunya saja seperti untuk penyangga rumah dan itu bukan dari kayu bakau sekitar sana” tambahnya.

Meski predikat tiram menjadi Eksklusif belum dirasakan oleh pencari tiram di Kuala Langsa namun keberadaan tiram yang menurun mulai dirasakan, faktor lingkungan ataukah serakah?. (Nurul Ali)

Berita Terkait

Berita Terkini

Google ads