Wacana tentang penghentian Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) telah menjadi topik pembicaraan yang luas di Aceh akhir-akhir ini. Redaksi menerbitkan seri wawancara eksklusif dengan sejumlah narasumber penting. Ini merupakan seri ke 2 dari 4 seri wawancara.
Pemerintah Aceh tak lagi menanggung premi Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) terhadap sebanyak 2.220.500 jiwa penduduk Aceh yang selama ini bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA).
Penghentian dukungan anggaran itu berdasarkan hasil rasionalisasi antara Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA) dengan Badan Anggaran (Banggar) DPRA saat pembahasan APBA 2022. Bantuan tersebut resmi berakhir mulai 1 April 2022.
Hal ini mengundang puluhan masyarakat sipil yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Aceh Menggugat (GERAM) melakukan unjuk rasa di Gedung DPRA, Senin (21/3/2022). Massa membentang spanduk bertuliskan ‘Jika Dihapus JKA, Gubernur Nova & DPRA Sungguh Tiada Berguna!’ dan juga karton diantaranya bertuliskan ‘Rakyat Aceh butuh JKA’ dan ‘JKA Salah Satu Janji Kampanye’.
Penanggung Jawab “Gerakan Rakyat Aceh Menggugat (GERAM) sekaligus Koordinator Masyarakat Pengawal Otsus (MPO), Syakya Meirizal mengatakan bahwa pihaknya mendorong DPRA untuk membentuk pansus dalam rangka membuka dan mengusut segala potensi skandal dan dugaan-dugaan terkait tata kelola JKA dalam kontrak kerja sama antara Pemerintah Aceh dengan BPJS Kesehatan. Menurutnya, pansus tersebut diperlukan untuk mengevaluasi penggunaan anggaran JKA.
Berikut wawancara lengkap Jay Musta dari Kantor Berita Radio Antero dengan Syakya Meirizal yang disiarkan secara live dalam program Selebrasi Pagi 102 FM, Senin (21/3/2022).
Mengapa GERAM melakukan demo ke DPRA? Bukankah yang mestinya didemo adalah BPJS Kesehatan karena tidak memberikan data yang transparan?
Masyarakat Aceh memberi mandat kepada gubernur dan DPR Aceh. Memilih dan memberikan suara langsung kepada mereka. Artinya, pihak yang kita percayai untuk mengurus hajat hidup seluruh rakyat Aceh itu adalah gubernur dan DPR Aceh.
Sementara pihak BPJS dalam hal ini adalah pihak yang melakukan kontrak kerja sama dengan Pemerintah Aceh sebagai pihak ke tiga. Nah, rakyat tidak memiliki akses langsung terhadap mereka. Pilihan untuk melakukan itu adalah pilihan Pemerintah Aceh. Setiap kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Aceh itu harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Jadi, saya pikir kalau kita kemudian mengejar BPJS itu salah sasaran.
Kita harus meminta pertanggungjawaban Pemerintah Aceh dalam konteks tata kelola, pelaksanaan, dan juga dalam pengganggaran dan pengawasan. Jadi, mengapa kita melakukan aksi ke DPRA? Karena DPRA adalah lembaga perwakilan rakyat. Kita ingin menyampaikan bahwa ada arus besar aspirasi masyarakat hari ini yang menolak wacana penghentian JKA.
Nah, ini yang ingin kita sampaikan kepada wakil rakyat yang ada di DPRA agar mereka kemudian mendengar dan memperjuangkan suara rakyat ini. Sehingga wacana penghentian itu bisa dianulir dan kemudian bisa dilanjutkan dengan catatan-catatan harus ada perbaikan, pembenahan, dan upaya-upaya sehingga tata kelola kedepan bisa lebih transparan, tepat sasaran, dan lebih efisien sehingga bisa menghemat potensi kebocoran dan kerugian uang rakyat ratusan milyar itu.
Jadi, intinya pada pihak mana mandat rakyat diberikan? Kepada merekalah kita harus meminta pertanggungjawaban. Kalau rakyat datang ke BPJS, BPJS tidak pernah melakukan kontrak dan kerja sama dengan rakyat. Jadi, kita melihat relevansi pihak mana yang paling bertanggungjawab kepada merekalah kita akan menyampaikan aspirasi dari masyarakat.
Mengapa tidak dikritisi dan minta diaudit kinerja BPJS Kesehatan?
Ya, kita meminta DPRA dan Pemerintah Aceh melakukan evaluasi bahkan kita mendorong DPRA untuk membentuk pansus dalam rangka membuka dan mengusut segala potensi skandal dan dugaan-dugaan terkait tata kelola JKA dalam kontrak kerja sama antara pemerintah Aceh dengan BPJS Kesehatan.
Banyak dugaan-dugaan yang beredar seperti pemberian atau penerimaan commitment fee antar pihak dalam kerjasama tersebut. Kemudian ada dugaan permainan data, manipulasi data yang tidak pernah divalidasi dan sebagainya. Kemudian ada dugaan permainan di level teknis. Kita akan mendorong dan meminta komitmen DPRA untuk membentuk pansus dan perlu diungkapkan semua. Mungkin nanti ada temuan-temuan menarik kalau ini mau dilakukan penyelidikan lebih lanjut melalui pansus. Pansus akan memanggil para pihak.
Selama ini kerja sama yang sejak awal Januari 2010, sebenarnya apa saja permasalahan yang timbul? Pansus bisa meminta BPK melakukan audit investigative untuk menemukan fakta dan data yang lebih real, misalnya soal angka-angka penerima bantuan iuran JKA. Apakah angkanya itu sudah tepat atau tidak? Kalau misalnya ada angka fiktif maka kita berharap ini segera ditindaklanjuti dengan menuntut pengembalian kelebihan bayar kepada pihak BPJS ke kas daerah pemerintah Aceh.
Jadi, saya pikir puncak dari jika DPRA serius adalah mau tidak mau membentuk pansus. Kalau hanya sekedar raker-raker saja, itu tidak akan ada efek yang signifikan untuk perbaikan tata kelola JKA ke depan. Kita berharap dari hasil pansus ini kemudian Pemerintah Aceh dan DPRA merumuskan formulasi baru untuk pelaksanaan program JKA ke depan sehingga tidak ada lagi persoalan-persoalan yang hari ini tidak pernah dibicarakan, seperti persoalan tidak ada data dan dugaan-dugaan permainan.
Kita juga membuka opsi: bisa tidak kalau pengelolaan JKA itu dialihkan, tidak lagi ke BPJS, walaupun sudah diatur oleh Perpres bahwa di Indonesia pengelola jaminan Kesehatan hanya BPJS. Ini yang kita dorong. Upaya-upaya ini harus dilakukan melalui pansus sehingga memiliki legitimasi yang lebih kuat. Kalau sekedar raker-raker saja mereka hadir, datang, membahas, tetapi begitu isu itu dingin di tengah publik maka ini juga akan hilang dengan sendirinya. Follow Up-nya tidak akan jelas. Ini banyak terjadi.
Nah, kita berharap dengan pansus. Kita akan mengawal proses pembentukan pansus tersebut. Apapun temuan dan rekomendasinya harus benar-benar dilaksanakan. Saya pikir komitmen antara DPRA dengan Pemerintah Aceh sebagai bahan evaluasi untuk menyusun tata kelola JKA ke depan.
Komisi V DPRA menyebutkan sejumlah alasan, misalnya mesti dilakukan cross check tumpang-tindih dengan data JKA, Askes, dan BPJS Tenaga Kerja serta BPJS Mandiri, tetapi pihak BPJS Kesehatan belum memberikan data tersebut. Apa tanggapan Anda?
Nah, ini ada yang aneh makanya kita persoalkan Pemerintah Aceh. Harusnya dalam klausul kontraknya itu memuat kewajiban para pihak. Kewajiban Pemerintah Aceh apa? Menyediakan dana. Kewajiban BPJS adalah menyediakan data. Mulai dari data premi sampai dengan data realisasi, data klaim perbulan. Kita tidak tahu ini kontrak kerja sama Pemerintah Aceh dengan BPJS seperti apa? Jangan-jangan dalam kontrak itu ada sebenarnya. Jangan-jangan BPJS juga sudah memberikan atau memiliki data, tetapi Pemerintah Aceh tidak bisa melihat di sana. Kan lucu juga kalau hari ini kita yang memberikan uang, tetapi kita tidak pegang data. Harusnya Pemerintah Aceh yang memberikan data kepada BPJS. Pemerintah Aceh tanda tangan kontrak dengan BPJS dan memberikan kepercayaan kepada mereka untuk mengelola. Jadi lucu saja, kita yang memberikan uang lalu data pada mereka, ya suka-suka merekalah.
Pemerintah Aceh ini yang tidak jelas sebenarnya skema penerimaan selama ini. Masa’ kita yang memberikan BPJS untuk mengelola jaminan Kesehatan rakyat kita, tetapi datanya dari orang. Harusnya data itu Pemerintah Aceh yang memberikan kepada BPJS dan BPJS berkewajiban meng-update dan melaporkan setiap bulan realisasi klaim dari setiap layanan yang diberikan.
Saya pikir yang terjadi hari ini adalah upaya-upaya untuk mengelabui publik. Seakan-akan yang salah si Fulan. Saling serang, saling tuding, saling menyalahkan, tetapi tidak mau mengevaluasi di mana sebenarnya posisi kesalahan. Ini yang sangat kita sayangkan. Menutupi kesalahan. Harusnya kesalahan dibuka saja untuk perbaikan. Menurut saya sangat aneh ketika pemerintah Aceh tidak punya data, tetapi membayar uang ratusan triliunan rupiah. Aneh saya pikir. Jadi, ini yang menjadi kritik kita juga.
Kita jangan kemudian hanya fokus menyalahkan BPJS. Yang mengelola uang rakyat Aceh itu pemerintah Aceh. Kalau datanya tidak clear, ya jangan bayar. Mengapa dengan kontraktor-kontraktor bisa? Kalau kontraktor tidak bekerja seperti diputuskan dalam kontrak. Pasti ada dalam kontrak itu yang memuat setiap pelanggaran ada sanksi. Misalnya BPJS tidak komit menyerahkan data klaim, data realisasi, sanksinya apa? Ditunda pembayarannya.
Kita tidak tahu skema kerja sama antara Pemerintah Aceh dengan BPJS selama ini seperti apa. Akhirnya kita hanya terjebak dengan pernyataan jubir pemerintah Aceh bahwa BPJS tidak pernah mau memberikan data. Kok, BPJS tidak mau memberikan data? Data itu Pemerintah Aceh yang harus menyediakan, menunjuk, dan menyampaikan kepada BPJS, “Ini rakyat saya yang harus kalian urus. Ini 2 juta angkanya. Ini nama-namanya.” Pemerintah Aceh yang harus memberikan data. Ini harus diluruskan. Akhirnya kita hanya menyalahkan BPJS sedangkan persoalan yang ada di hulu kita tidak menentu. Persoalan yang ada di hulu saya yakini ada pada Pemerintah Aceh.
JKA ini telah berkembang menjadi isu yang dipolitisir sejumlah pihak sehingga membingungkan rakyat, termasuk pernyataan juru bicara pemerintah Aceh Muhammad MTA. Apa tanggapan Anda?
Ya, polemik politik di ruang publik dengan dengan pernyataan-pernyataan saling menyalahkan. Pemerintah Aceh menyalahkan DPRA. DPRA menyalahkan Pemerintah Aceh, dan sebagainya. Kita berharap ini segera dihentikan. Yang harus dilakukan adalah melakukan pertemuan.
Gubernur sampai hari ini tidak ada satu pun pernyataan dari dia yang merespon persoalan JKA. Hanya disampaikan oleh Jubir. Saya pikir persoalan JKA ini adalah persoalan yang sangat krusial dan urgen yang menyangkut hajat hidup seluruh rakyat Aceh. Gubernur harus berada di posisi terdepan untuk menyelesaikan persoalan ini. Tidak hanya mengandalkan jubir menyusun narasi-narasi yang bahkan kalau kita lihat lari jauh dari data dan fakta yang ada.
Kita berharap gubernur segera duduk bersama DPRA kemudian mengundang BPJS. Kita tidak tahu lanjutannya seperti apa. Apalagi waktunya semakin dekat. 1 April tidak lama lagi. Jadi, kalau tidak ada kesepakatan bersama untuk mengalokasikan anggaran lanjutan di APBA Perubahan yang akan datang pastinya JKA itu tidak otomatis akan terhenti kecuali ada komitmen baru antara Pemerintah Aceh, DPRA, dan BPJS mau menalanginya sebelum dilakukan perubahan APBA oleh pemerintah Aceh dan DPRA.
Saya pikir segera cari solusi konkritnya. Duduk bersama membicarakan bagaimana menjamin anggaran JKA bisa dialokasikan kembali di APBAP nanti sampai akhir tahun 2022. Skema jangka panjang, saya pikir DPRA membentuk pansus kemudian hasil pansus tersebut dijadikan bahan untuk menyusun regulasi baru tata kelola JKA ke depan sehingga di dalam alokasi penggagaran di tahun 2023 sudah merupakan format dan formulasi baru. Saya pikir itu yang harus segera dilakukan.
Apa solusi terbaik menurut GERAM?
Ya, kita harus duduk bersama dalam waktu segera. Tidak lagi membuang-buang waktu karena waktu 31 Maret itu tinggal hitungan hari lagi. Hari ini tanggal 21 Maret. Artinya, tinggal 11 hari lagi sudah berakhir anggaran yang tersedia. Jika tidak segera duduk bersama dan membuat komitmen bersama, persetujuan antara Gubernur Aceh dengan DPRA maka saya pikir tidak ada solusi. Tidak akan mampu menjawab harapan dan aspirasi rakyat yang menumpuk agar program JKA tidak dihapuskan. Itu yang harus segera dilakukan. Jadi, tidak ada solusi terbaik yang lain. Kalau perang opini di media itu tidak akan menyelesaikan persoalan. Ada tidak good will dan political will Gubernur Aceh dan DPRA untuk segera duduk bersama dan mengundang BPJS Kesehatan. Itu yang kita harapkan. (Lia Dali)