Kelompok Perempuan Sebut Tren Kekerasan Seksual di Aceh Terus Meningkat

Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKTP) merupakan kampanye untuk mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia. Setiap tahunnya, peristiwa ini diperingati dengan mengangkat tema yang berbeda.

Hari terakhir peringatan 16 HAKTP 2021, Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) bersama Forum Jurnalis Lingkungan (FJL), Flower Aceh dan Balai Syura mengadakan diskusi kelompok perempuan dan paralegal komunitas dengan pengambil Kebijakan dan Media dalam rangka
Kampanye 16 HAKTP 2021

“Pemenuhan HAM dan Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan” di kantor AJI Banda Aceh, Jumat, 10 Desember 2021.

Paralegal Komunitas di Aceh Besar, Lilis Suryani, mengatakan pada dasarnya angka kasus kekerasan seksual dari dulu sudah tinggi. Namun, dulu hanya sedikit orang yang berani melaporkan. Berbeda dengan sekarang, tren meningkat diiringi kepahaman orang dalam melapor.

“Orang sudah terbuka dan lebih paham tentang kekerasan seksual sehingga angka kekerasan yang tinggi diikuti dengan laporan masyarakat juga yang tinggi,” kata Lilis dalam kegiatan tersebut.

Lilis yang pernah menjabat sebagai tuha peut menyampaikan kekerasan seksual makin hari makin menjadi-menjadi dengan berbagai macam motif. Kemudian, kata Lilis, dirinya sebagai pendamping kerap sekali mendapatkan ancaman pihak pelaku.

“Tapi yang namanya kita kerja untuk kemanusiaan, perempuan, tidak ada istilah diancam. Karena mati itu kapanpun akan tiba juga. Tentu, dalam membela kebenaran tidak ada jalan mulus yang kita lewatkan,” tegas Lilis.

Paralegal Komunitas dan juga dewan Balai Syura Aceh Utara, Khuzaimah, menyampaikan kekerasan seksual di Aceh Utara termasuk yang tertinggi di Aceh terutama saat masa konflik dan pandemi. Namun, yang paling menyedihkan pelaku merupakan orang paling dekat dengan korban.

“Sekarang masa pandemi angka kekerasan seksual juga cukup tinggi. Dan yang paling sedih pelaku adalah orang terdekat korban. Hal itu bisa disebabkan karena kita dituntut di rumah,” sebut Khuzaimah yang juga pendamping korban kekerasan seksual di Aceh Utara.

Khuzaimah menyebutkan yang menjadi kendala di Aceh Utara adalah anggaran. Kemudian, tidak tersedia psikolog yang khusus menangani korban kekerasan seksual.

“Jadi terpaksa kami sendiri yang menjadi konselingnya. Kendati demikian, penanganan hukum di Aceh Utara sudah cukup baik,” tutur Khuzaimah.

Mewakili Kelompok Muda, Fakhraniah, mengatakan saat ini di kampus masih menjadi tempat paling rentan terjadi kekerasan.

“Saya rasa perlu di kampus melakukan upaya preventif agar tidak ada terjadi kekerasan seksual di tingkat kampus. Kemudian, bagaimana kampus menyediakan layanan pengaduan bagi mahasiswa juga penting,” ungkap Fakhraniah.

Penyintas Korban Konflik di Banda Aceh, Rasyidah, menambahkan korban kekerasan seksual harus mendapat penanganan yang baik. Kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di desa itu saat ini seperti fenomena gunung es.

“Dikit diluar, namun di dalam besar. Apalagi desa masih sulit mengemukakan kejadian suatu desa, jika bisa disembunyikan, disembunyikan terlebih dahulu,” sebutnya.

Koordinator Pemberdayaan Masyarakat Flower Aceh, Ernawati, menjelaskan kekerasan seksual saat ini menunjukkan tren peningkatan terutama masa pandemi Covid-19 dengan pelaku yang rata-rata adalah orang terdekat korban.

“Jadi seperti tidak ada ruang aman lagi untuk anak. Dia menyerang random tidak hanya anak, juga lansia. Sangat berisiko seperti tidak ada ruang aman lagi. Termasuk di kampus,” ungkap Erna yang juga juga pendamping kasus kekerasan seksual di Pidie.

Kepala UPTD PPA Aceh, Irmayani Ibrahim, menjelaskan angka kekerasan seksual di Aceh dari Januari hingha September 2021 berjumlah 697 kasus. Belum termasuk Oktober, November dan Desember. Peningkatan terjadi selama pandemi dengan pelaku rata-rata orang terdekat.

“Ini belum lagi yang tidak berani lapor, karena memang dianggap aib keluarga, mereka dapat tekanan dari pelaku sehingga ada rasa takut, cemas,” sebutnya.

Tahun depan, kata dia, Kota Banda Aceh sudah ada penganggaran dari Pemerintah Aceh untuk membangun rumah aman. Selama ini untuk rumah aman bekerjasama dengan dinas sosial.

“Program rumah aman, yang layak, ketika korban berada disitu tidak ada yang tahu. Dirumah aman ada ibu asuh dan pengamanan. Selama ini, ada beberapa korban yang kita tempatkan, disana ada tenaga kesehatan, tenaga psikolog dan pendamping yang responsif terhadap korban,” ungkap Irmayani.

Divisi Bidang Gender, Anak, dan Kelompok Marjinal AJI Banda Aceh, Nova Misdayanti mengungkapkan, pers memiliki banyak fungsi. Salah satu isu yang paling penting untuk diadvokasi oleh pers adalah kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.

“Jurnalis juga harus melakukan advokasi terhadap hak korban kekerasan seksual. Pemenuhan hak bagi korban menjadi modal besar bagi mereka untuk bisa kembali survive pasca menjadi korban,” kata Nova, jurnalis Kompas.id.

Direktur Flower Aceh, Riswati, mengatakan selama ini gerakan perempuan sangat terbantu dengan pemberitaan teman-teman media. Terutama AJI yang sangat konsisten mendukung dan mengadvokasi kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak.

“Tidak sekedar karya jurnalistik, namun wartawan selama ini juga mengadvokasi dan memastikan korban mendapatkan hak-haknya melalui tulisan di media. Kami sangat senang, ini menjadi kerja sama yang semua orang harus melakukan,” tegas Riswati.

Sementara itu, Ketua Komisi V Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), M. Rizal Falevi Kirani, menyampaikan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di Aceh terus terjadi. Kekerasan seksual termasuk dalam kriminal luar biasa. Karena itu, penanganannya juga harus dilakukan serius.

“Kami DPR Aceh sebagai wakil rakyat akan terus melakukan upaya nyata untuk menangani persoalan kekerasan seksual pada perempuan dan Anak melalui peran dan fungsi legislatif,” kata Rizal.

Berita Terkait

Berita Terkini

Google ads