Salah satu penyebab provinsi Aceh masih menempati rangking satu sebagai daerah termiskin di Sumatera dikarenakan program pemberdayaan Ekonomi dan pengentasan kemiskinan dari Pemerintah Aceh serta Pemerintah Kabupaten/Kota tidak menyentuh langsung kantong – kantong kemiskinan yang ada.
Hal demikian disampaikan Koordinator Masyarakat Pengawal Otsus (MPO) Aceh, Syakya Meirizal menanggapi rilis BPS Aceh yang Kembali menempatkan Aceh sebagai provinsi termiskin di Sumatera. Padahal Aceh setiap tahun menerima kucuran dana Otonomi Khusus yang sangat besar dari pemerintah pusat.
Menurut Syakya, kegiatan yang dilaksanakan pemerintah tidak berkorelasi linier dengan substansi penyelesaian persoalan kemiskinan. Misalnya, pembangunan rumah dhuafa itu hanya diberikan kepada mereka yang punya tanah, sementara orang miskin tidak punya tanah. Begitu juga dengan bantuan bibit perikanan dan bibit perkebunan, bantuan tersebut diberikan kepada pemilik lahan.
“Sementara orang miskin hanyalah pekerja pada pemilik lahan tersebut. Jadi program pemberdayaan ekonomi dan pengentasan kemiskinan selama ini banyak yang tidak tepat sasaran,” ujar Syakya.
Seharusnya kata dia, program pemerintah bisa mengintervensi langsung pokok persoalan kemiskinan, yaitu penyedian pangan, sandang dan papan yang layak bagi seluruh rakyat. Akan tetapi faktanya pembangunan rumah layak huni atau rumah dhuafa malah dibatalkan atau ditunda berkali – kali.
“Padahal itu perintah Qanun No.1 tahun 2019 tentang RPJMA. Program yang telah ditetapkan sendiri saja diingkari apalagi yang lain. Mereka justeru sibuk melahirkan program baru yang tidak ada urgensinya sama sekali. Ini menunjukkan Pemerintah Aceh dibawah Gubernur Nova memang sense of crisis atau sensitifitas atas penderitaan rakyat,” lanjutnya lagi.
Padahal, catatan BPS Aceh pada Bulan Maret 2020 Aceh sudah beranjak ke posisi termiskin kedua diatas Bengkulu. Tapi itu bukan karena keberhasilan Pemerintah Aceh, karena faktanya angka kemiskinan Aceh saat itu justeru bertambah 5000 orang. Beruntungnya, penambahan angka kemiskinan di Provinsi Bengkulu jauh lebih tinggi dibandingkan Aceh. Sehingga peringkat Aceh sedikit terdongkrak.
“Kalau penyebabnya, bisa dikatakan Karena buruknya kinerja penanggulangan dampak pandemi Covid-19 oleh Pemerintah Aceh. Terutama penanganan dampak untuk kelas menengah bawah. Penyebab utamanya karena dibatalkannya pencairan Bansos senilai 1,5 Trilyun dari sumber refocussing APBA untuk masyarakat terdampak Covid-19. Kalau anggaran tersebut dicairkan pasti ceritanya akan berbeda,” tambah Syakya.
Selanjutnya kata Syakya yang harus dilakukan Pemerintah Aceh adalah mereformulasi pola pendekatan dalam upaya pengentasan kemiskinan agar lebih fokus pada sasaran.
“Selama ini kan jauh panggang dari api. Nah kedepan anggaran pemberdayaan ekonomi dan pengentasan kemiskinan ini wajib tepat sasaran. Harus dipastikan penerima manfaatnya adalah bagian dari 830.000 lebih masyarakat miskin sebagaimana data BPS. Bukan kelompok lain ataupun kroni penguasa. Tapi itu semua terpulang pada ada tidaknya good will dan political will dari penguasa,” tutupnya.