Duta Besar Belgia untuk Indonesia, E. Stephane De Locker, mengaku terkesan dengan cita rasa kopi Gayo, Aceh.
Menurutnya, kualitas kopi Aceh yang ia nikmati selama di Banda Aceh sangatlah berkualitas dan ia juga tertarik untuk mempromosikan potensi Aceh itu.
“Saya juga ingin mempelajari, bagaimana proses produksinya sampai bisa menghasilkan rasa yang bagus,” ujar Stephane dalam pertemuan dengan tim Pemerintah Aceh di Ruang Rapat Gubernur Aceh, Kamis, (27/02).
Selain kopi, menurut Duta Besar Belgia itu, Aceh juga memiliki potensi pariwisata yang menakjubkan. Ia berharap, Pemerintah Aceh dapat melakukan sejumlah program dan strategi agar Aceh dapat lebih dikenal oleh dunia.
Stephane mengaku, sudah mengenal Aceh sejak masa konflik sampai dilanda tsunami. Dan hari ini, ia datang untuk melihat dan mecari informasi kondisi pembangunan ekonomi dan politik Aceh pasca tsunami dan perdamaian.
“Sebagai negara yang masuk dalam organisasi perdamaian dunia, kami juga terlibat dalam membantu resolusi konflik Aceh,”kata Stephane.
Menurut Duta Besar dari Belgia itu, kondisi Aceh saat ini sudah berkembang dan memiliki banyak perubahan, baik dari segi pembangunan maupun keamanan. Namun demikian, ia mempertanyakan pelaksanaan hukum cambuk di Aceh, yang dianggap olehnya membuat citra Aceh di luar tampak menakutkan.
Menanggapi pertanyaan hukum cambuk itu, Asisten Bidang Pembangunan dan Perekonomian Sekretaris Daerah Aceh, Teuku Ahmad Dadek, mengatakan, cambuk merupakan hukuman simbolik di Aceh.
“Tujuan hukuman itu adalah untuk memberi rasa malu agar pelanggar Qanun Jinayat seperti berzina, tidak mengulanginya lagi,” kata Dadek.
Dadek mengatakan, hukum cambuk yang diterapkan itu sudah melebur dengan aspek kehidupan sosial masyarakat Aceh. Dan masyarakat Aceh, kata Dadek, menerima dan tidak menganggap pelaksanaan hukum itu aneh.
“Ketika orang luar melihat hukum cambuk itu aneh, itu sama dengan kami, yang juga menganggap aneh negara- negara yang melegalkan ganja dan bebas memakai bikini,” ujar Dadek.
Dalam kesempatan itu, Dadek juga menyampaikan kondisi Aceh pasca perdamaian. Ia mengatakan, berkat Dana Otonomi Khusus (Otsus) hasil perjanjian damai konflik, kemiskinan masyarakat Aceh sudah menurun signifikan.
“Kemiskinan Aceh pasca bencana tsunami mencapai 32,6 persen dan sejak dikucurkan Dana Otsus pada tahun 2008, hari ini angka kemiskinan Aceh turun menjadi 15,01 persen,” kata Dadek.
Meskipun demikian, ujar Dadek, kemiskinan Aceh masih harus terus ditekan, sebab persentase kemiskinan tersebut masih berada di atas persentase nasional. Akan tetapi, lanjutnya, dana Otsus yang diandalkan Aceh untuk menekan kemiskinan itu akan diakhiri Pemerintah Pusat pada tahun 2027 mendatang.
Oleh sebab itu, Dadek meminta Duta Besar dari negara organisasi perdamaian dunia tersebut, untuk mendorong Pemerintah Pusat agar memperpanjang transfer dana Otsus untuk Aceh. Sebab, kata dia, dana tersebut masih dibutuhkan untuk melakukan pembangunan dan menurunkan kemiskinan lebih signifikan.
Sementara itu, Kepala Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Aceh, Mahdi Efendi mengatakan, kondisi keamanan Aceh saat ini sangat baik. Berbagai program pembangunan pun dapat dilakukan dengan lancar.
Untuk merawat perdamaian Aceh, kata Mahdi, pihaknya melakukan program edukasi tentang pentingnya perdamaian bagi masyarakat dan generasi penerus Aceh, khususnya kalangan pelajar dan mahasiswa.
“Kita berharap perdamaian Aceh ini dapat didukung semua pihak, sehingga kesejahteraan masyarakat dapat kita raih,” kata Mahdi.