Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh telah menyurati Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), surat tersebut dilayangkan karena adanya pos anggaran dalam bentuk hibah yang diperuntukan Pemerintah Aceh ke Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Aceh, Kamis (14/11).
Dalam surat Nomor 146/B/G-Aceh/XI/2019 itu, GeRAK Aceh meminta KPK melakukan supervisi terhadap alokasi anggaran untuk KADIN Aceh. Dimana pengusulan anggaran untuk lembaga itu diduga bersumber dari APBA perubahan 2019 sebesar Rp 2.854 miliar lebih. Dicurigai, prosesnya juga tidak sesuai dengan mekanisme dan tata cara penganggaran keuangan daerah.
Kadiv Advokasi Korupsi GeRAK Aceh, Hayatuddin Tanjung mengatakan, surat ke KPK itu diberikan karena pihaknya menilai bantuan hibah sosial untuk Kadin secara kedudukan hukum dan tata kelola organisasi tidak memiliki kolerasi yang dapat dibenarkan.
Hal itu dapat dilihat dari komponen daerah bahwa lembaga Kadin bukan lembaga struktural organisasi pemerintahan atau perangkat kesatuan daerah yang dapat serta merta dianggarkan menyeluruh.
“Dapat diduga bahwa alokasi anggaran tersebut berpotensi menimbulkan celah adanya pelanggaran hukum terencana,” kata Hayatuddin Tanjung.
Hayatuddin menyampaikan, jika merujuk pada pasal 6 ayat (5) Permendagri Nomor 123 Tahun 2018 tentang perubahan ke empat atas Permendagri Nomor 32 Tahun 2011 disebutkan, hibah kepada badan dan lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d diberikan untuk badan dan lembaga yang bersifat nirlaba, sukarela dan sosial yang dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan, dan telah memiliki surat keterangan terdaftar dari menteri, Gubernur atau Bupati/Wali Kota.
Kemudian, kata Hayatuddin, jika melihat Undang-undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kadin sebagaimana dalam pasal 5 dijelaskan bahwa, Kadin itu bersifat mandiri, bukan organisasi pemerintah dan organisasi politik, serta dalam melakukan kegiatannya tidak mencari keuntungan.
Hayatuddin menuturkan, secara etika, Kadin merupakan lembaga privat sektor tidak dibenarkan membiayai organisasinya dengan menggunakan kesempatan dan sarana dari alokasi anggaran yang bersumber dari APBN maupun APBD, karena lembaga itu tempat berkumpulnya pihak-pihak yang anggarannya bersumber dari keanggotaan terbatas.
“Melihat dari nomenklatur dan tata organisasi, maka Kadin itu bukan bagian yang berhak mendapatkan anggaran secara terus menerus dalam bentuk hibah atau bansos,” ujarnya.
“Jika melihat dari alokasi APBA-P tahun 2019 maka pengusulan anggaran ini direncanakan secara sistematis dan terencana, ini menunjukkan bahwa proses pemberiannya memiliki hubungan conflik of interes serta dapat dipastikan bagian dari barter politik anggaran antara pemerintah Aceh dengan pengusaha,” tutur Hayatuddin.
Dalam pengusulan ini, GeRAK Aceh melihat seluruhnya bersifat illegal, dimana usulan tersebut tidak melalui skema perencanaan dan pembahasan bersama antara eksekutif dan legislatif, bahkan bisa dipastikan pengusulannya memiliki hubungan kolerasi politik yang sarat kepentingan, dan memiliki tujuan tertentu untuk mendapatkan barter politik anggaran yang dimainkan untuk kepentingan segelintir pengusaha.
Apalagi, lanjut Hayatuddin, dari mata anggaran itu menunjukkan adanya potensi dugaan setting pengadaan barang dan jasa untuk memenangkan kandidat atau perusahaan tertentu.
Selain itu, tambah Hayatuddin, selama ini diketahui bahwa Plt Gubernur Aceh saat melakukan kunjungan kerja baik di dalam daerah maupun luar negeri serta kegiatan lain seperti touring menggunakan motor gede, selalu bersamaan dengan para pengurus Kadin Aceh yang ikut mendampingi.
Untuk itu, GeRAK Aceh meminta kepada KPK RI dapat menindaklanjuti dan melakukan supervisi guna mencegah terjadinya perbuatan korupsi. Karena, hasil kajian pihaknya juga terdapat beberapa kejanggalan dalam pengusulan pengadaan dan mobiler untuk Kadin Aceh tersebut.
“Serta ditemukan adanya perbuatan melawan hukum yang pada pokoknya dapat menimbulkan dugaan tindak pidana korupsi terencana, sistematis dan dilakukan dengan melanggar hukum,” pungkas Hayatuddin.