Atase Pertanian Indonesia (Atani) untuk Uni Eropa di Brusel telah memastikan tak ada penolakan kopi arabika gayo di Pasar Uni Eropa, yang sempat beredar isu di tanah air belum lama ini.
Hal tersebut terungkap dalam seminar Sosialisasi Kopi Arabika Organik yang berlangsung di Gedung Olah Seni (GOS), Takengon, Aceh Tengah.
Plt Gubernur Aceh Nova Iriansyah,dalam pidato pembukaan, yang dibacakan Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) Aceh A Hanan, sangat meyayangkan mencuatnya khabar seakan-akan ada kopi gayo yang di pasarkan ke Uni Eropa (UE) ada yang tercemar residu herbisida jenis glyphosat.
Menurut Nova, bila isu tersebut terus berkembang dikhawatirkan akan mempengaruhi citra Kopi Arabika Gayo dan menimbulkan sintimen negaif di pasar dunia. Kopi Arabika, kata Nova, merupakan salah satu komuditi kopi yang paling terkenal dari Tanah Gayo dan sudah berhasil menembus pasar kopi dunia.
Tak kurang dari 60% dari produksi kopi di Aceh Tengah dan sekitarnya telah berhasil dipasarkan di pelbagai negara Eropa, Amerika Serikat, dan Asia. Citra kopi gayo ini harus terjaga agar pasarnya tidak tergangu, urai Nova.
“Mari kita jaga bersama citra Kopi Gayo agar pasarnya tidak terganggu,” ajak Nova dihadapan 600 orang peserta seminar yang terdiri dari petani, penyuluh, pengompul, dan eksportir kopi gayo yang memadati GOS itu.
Nova mengatakan, meski khabar penolakan pasar terhadap kopi arabika gayo tidak benar sama-sekali, namun upaya memperbaiki citra kopi gayo ini harus kita lakukan. Salah satu caranya mengembangkan kopi organik dengan pupuk alam. Pertanian organik menerapkan prinsip ekologi, keadilan, perlindungan alam, dan kualitas kopi pun sangat baik.
Hasil pertanian organik, lanjut Nova, memiliki banyak kelebihan dibanding pertanian dengan pemupukan kimia. Pertanian organik mengandung energi alami karena zat yang diserap dari energi tanah, lebih tahan hama, lebih lezat, lebih sehat, dan harganya pun lebih tinggi.
Sejumlah negara Eropa dan Amerika Serikat, lanjut Nova, peduli pada pengembangan pertanian organik. Bahkan ada kecenderungan sejumlah negara menolak kopi hasil pertanian kimia. Selain berbahaya bagi kesehatan, pertanian kimia berpotensi menggangu ekosistem alami, jelas Nova.
Nova menambahkan, jika petani kopi Gayo ingin sukses di pasar kopi arabika dunia, kita harus sosialisasikan pengembangan sistem pertanian organik. Bila semangat ini bisa kita budayakan, pasar kopi Gayo akan semakin luas, dan petani kopi makin sejahtera karena harga jual kopi-nya lebih tinggi di pasar dunia.
“Saya berharap para petani kopi Gayo sepakat meningkatkan pengembangan kopi arabika gayo sistem pertanian organik,” tutup Nova dan membuka acara sosialisasi tersebut secara resmi.
Sementara itu, salah satu pemateri sosialisasi kopi arabika organik dari Direktorat Perlindungan Perkebunan Kementerian Pertanian RI, Ebi Rulianti, SP, M.Sc meastikan tidak ada penolakan kopi organik arabika Gayo oleh buyer (pembeli) di UE. Pihaknya telah berkomunikasi langsung dengan Atase Pertanian Indonesia untuk Jerman, dan mendapat informasi tidak pernah ada penolakan terhadap kopi gayo organik, karena belum pernah ada pengiriman/ekspor kopi organik gayo ke UE, katanya.
Kondisi yang sebetulnya terjadi, jelas Ebi Rulianti, UE tertarik membeli kopi gayo organik, karena selama ini mereka membeli kopi gayo non organik. Ebi merinci ekspor kopi Gayo oleh salah satu Koperasi eksportir sekitar 970 ton per tahun, dengan rincian 65 % diekspor ke UE sebagai produk kopi non organik dan 35% ke Amerika Serikat sebagai produk kopi organik.
“Ekspor kopi ke UE non oraganik, bukan kopi organik,” tandas Ebi.
Ebi mengingatkan, Pasar UE menekankan pentingnya precision farming, post harvest handling, dan juga soal food safety sebagai persyaratan mutlak. Kopi yang diterima harus memenuhi standar dan diuji secara ketat. Karena itu, bila branding-nya kopi non organik jangan diklaim kopi organik. Kepercayaan buyer (pembeli) dan pasar terhadap kopi arabika Gayo harus kita jaga, katanya.
“Jangan mengklaim kopi arabika organik untuk kopi non organik, meski terhadap sampel kopi yang dikirim ke UE,” tandas Ebi mencerdaskan eksportir kopi Gayo.
Menyahuti keinginan UE terhadap pasokan kopi organik arabika Gayo, Kadistanbun Aceh A Hanan, MM mengatakan, luas kebun kopi dataran Gayo di Bener Meriah, Aceh Tengah, dan Gayo Lues, mencapai 100 ribu hektar. Artinya, lebih dari 33% kebun kopi Indonesia, yakni sekitar 300 ribu hektar, terdapat di dataran tinggi Gayo.
Karena itu, lanjut Hanan, pihaknya bersama kementerian terkait terus membantu petani kopi melakukan rehabilitasi tanaman kopi yang luasnya sekitar 1.350 hektar dan tersebar di Benar Meriah (500 Ha), Aceh Tengah (500 Ha0, dan di Gayo Lues (350 Ha), melalui sekolah lapangan, teknologi terintegrasi kopi dengan ternak, dan bimbingan teknis petani kopi milenial untuk peremajaan kopi arabika.
“Rehabilitasi tanaman kopi itu sangat penting dan akan mengajak petani kopi milenial untuk mengembangkan kopi arabika organik yang sangat diminati kosumen kopi dunia,” tutup Hanan.