Sejumlah ulama dan intelektual dayah Aceh sepakat akan mencari solusi alternatif terhadap perlindungan pihak nasabah agar tidak dirugikan.
Hal ini disampaikan Tgk. Dr Muntasir Abdul Kadir, MA pada penutupan Forum Muhasabah Mahtsul Masail, Kamis (1/8).
Forum yang difasilitasi oleh Pemerintah Aceh melalui Dinas Pendidikan Dayah Aceh berlangsung selama empat hari, dari tanggal 29 Juli hingga 1 Agustus 2019 di Hotel Hanifi Lamprit, Banda Aceh. Adapun forum diskusi ilmiah ini mengusung tema “solusi terhadap legalitas jualbeli menggunakan jasa leasing menurut fiqih muamalah”.
Ayah Muntasir dalam sambutannya menguraikan sejumlah persoalan muamalah tentang kemaslahatan ummat. Menurutnya, apapun bentuk transaksi yang dilakukan dari tuntunan syariat Islam hukumnya haram, sehingga pihak pelaku akan mendapatkan ‘uqubat (sanksi).
Hal ini untuk menyikapi kebutuhan masyarakat dimana terdapat para pihak yang menyediakan berbagai fasilitas demi memudahkan masyarakat untuk mendapatkan segala sesuatu yang diinginkan. Di sisi lain, ada juga pihak tertentu yang terkadang hanya mementingkan keuntungan dalam penyediaan fasilitas tanpa berlandaskan prinsip-prinsip syariah.
“Ini sangat jelas terlihat pada berbagai jenis transaksi modern saat ini dimana perlu kajian lebih mendalam terkait legalitanya dalam pandangan syariat. Salah satu bentuk transaksi yang berkembang dewasa ini adalah jualbeli dengan menggunakan jasa leasing atau sistem pembiayaan lainnya. Jika dilihat dari segi legalitasnya, ini masih dikonversikan karena ada beberapa praktik di dalamnya yang dianggap mencederai keuntungan-keuntungan yang ditetapkan dalam fiqih muamalah,” ujar Ayah Muntasir.
Dalam sambutannya, Ayah Muntasir menjelaskan beberapa prinsip umum yang wajib diperhatikan dalam hukum muamalah syariah. Adapun prinsip itu diantaranya, barang yang dijadikan sebagai objek pembiyaan baik menggunakan sistem jualbeli (ba’i) maupun sewa (leasing/ijarah) harus menjadi milik penjual atau pihak penjual. Tujuannya agar pihak perusahaan pembiayaan harus memastikan bahwa barang tersebut sudah menjadi milik mereka sebelum menjual atau menyewakan kepada nasabah.
“Selanjutnya, uang muka atau down payment (DP) tidak boleh menjadi sesuatu yang sia-sia atau hangus. Akan tetapi harus menjadi bagian dari muamalah seperti menjadi bagian dari harga atau biaya sewa,” jelas Ayah Muntasir.
Ayah Muntasir menambahkan, kedua belah pihak, baik pihak leasing maupun nasabah tidak boleh dirugikan atau terzalimi dari berbagai bentuk transaksi apapun. Pasalnya, jika terjadinya penarikan barang yang menjadi objek pembiayaan, maka barang tersebut tidak boleh dipersentasekan (taqsith) dari beberapa yang menjadi hak perusahaan dan hak nasabah.
“Jadi tidak boleh adanya sanksi finansial dalam bentuk apapun. Segala bentuk perjanjian (wa’ad) yang tidak sesuai dengan konsekuensi akad tidak menjadi bagian dari akad. Bagitu juga dengan objek pembiayaan (mabi’) tidak boleh digunakan sebagai jaminan (marhum) utang pembiayaan,” tambah Ayah Muntasir.
Selanjutnya, dalam proses transaksi tersebut, tambah Ayah Muntasir, tidak boleh adanya dua harga, yaitu harga kredit dan kontan. Kemudian tidak bercampurnya dengan unsur-unsur yang dilarang oleh agama, seperti asuransi konvensional.
“Jadi dalam setiap prosesi transaksi, tidak boleh adanya unsur maisir, gharar, riba, haram, bathil serta ketidakjelasan atau majhul hal),” tutup Ayah Muntasir.