Sebanyak 20 orang muslim dari Mindanao, Philipina berkunjung ke Baitul Mal Aceh, Selasa (02/07/2019). Kedatangan mereka tak lain yaitu ingin belajar bagaimana Aceh sebagai daerah yang bekas konflik seperti Mindanao mendirikan lembaga keistimewaan dan pengelolaan zakat.
Kunjungan tersebut disambut langsung Plt Kepala Baitul Mal Aceh, Drs. Mahdi Ahmadi, MM dan didamping beberapa kepala bidang dan bagian. Dalam paparannya Mahdi manjelaskan banyak hal seputar pengelolaan zakat yang dipraktikkan Baitul Mal Aceh dan kabupaten/kota selama ini.
“Aceh memiliki qanun yang dibuat oleh dewan perwakilan rakyat Aceh. Dengan qanun tersebut Aceh bisa mengatur semua yang Aceh inginkan atas persetujuan pemerintah pusat, termasuk dalam hal pengelolaan zakat,” kata Mahdi.
Selain itu katanya Aceh satu-satunya badan amil zakat yang pengelolaannya langsung dikoordinir oleh pemerintah, sehingga dari segi regulasi dan pengelolaannya Aceh lebih kuat serta pendapatan zakat lebih besar dibanding provinsi lain di Indonesia.
Mahdi juga menjelaskan bagaimana Aceh di bawah kontrol pemerintah selain memungut zakat juga mengutip infak dari siapa saja yang mendapatkan paket proyek dari pemerintah sebesar 0,5 persen.
“Maksudnya siapa saja yang mendapatkan proyek dari pemerintah di atas Rp50 juta, maka akan dipotong 0,5 persen, itu resmi,” sebut Mahdi.
Usai presentasi Plt Kepala Baitul Mal Aceh hingga ke model pemberdayaan zakat, para peserta tampak begitu antusias. Melalui translater, Shadia Marhaban mereka bertanya berapa besaran nisab zakat di Aceh yang harus dipotong oleh pemerintah.
Mereka juga sangat kagum kepada Aceh yang mampu menghimpun zakat yang begitu banyak. Informasi-informasi yang mereka dapatkan selama di Aceh akan mereka bawa pulang ke negaranya yang baru saja selesai konflik untuk diterapkan di sana.
Selain ke Baitul Mal Aceh, mereka juga akan menjumpai beberapa lembaga terkait lainnya yang memainkan peran integral selama transisi politik Aceh dan pengalaman reintegrasi.
“Kegiatan-kegiatan ini adalah bagian dari paket bantuan untuk membantu membangun dan meningkatkan kapasitas individu dan kolektif dari kepemimpinan Front Pembebasan Moro Islam (MILF) dalam mengelola jalan menuju transisi politik,” kata Shadia.
Kegiatan mereka selama di Banda Aceh dan Sabang sepenuhnya difasilitasi oleh UNDP untuk pelaksanaan latihan pembelajaran yang mulai tanggal 01 sampai 03 Juli 2019.[]