LSM Setara Institute menempatkan Banda Aceh sebagai kota nomor dua paling tidak toleran di Indonesia. Hasil survei itu menuai protes dari berbagai kalangan di Aceh. Mereka mempertanyakan indikator dan sampel yang digunakan lembaga tersebut.
“Survei yang menyatakan Kota Banda Aceh sebagai kota dengan tingkat toleransi rendah tidak seperti kenyataan. Riset tersebut tidak memahami kearifan lokal dan hukum-hukum yang berlaku di Aceh,” kata anggota DPR Aceh Komisi 6 Bidang Kesejahteraan Rakyat M. Tanwier Mahdi, dalam keterangan kepada wartawan, Selasa (11/12/2018).
Baca juga: Walkot Banda Aceh Marah Kotanya Disebut Paling Tidak Toleran Nomor 2
Menurutnya, kebudayaan lokal di Aceh sejak dulu tidak pernah mengganggu etnis minoritas. Dia mencontoh seperti etnis Tionghoa yang hidup tenteram dan damai serta lainnya.
“Hingga kini tidak ada catatan buruk etnis minoritas yang hidup di Banda Aceh. Mereka hidup damai dan tenteram seperti yang terlihat di sekitaran Pasar Peunayong, dan sudut Kutaraja lain,” jelas Tanwier.
“Setara Institute telah mengeluarkan hasil riset yang tak wajar. Di Banda Aceh tidak pernah terjadi pergesekan antara kaum minoritas dan mayoritas hingga mengakibatkan pertumpahan darah dan mengorbankan nyawa akibat konflik antar agama seperti yang pernah terjadi di Ambon dan Kupang,” ungkap Tanwier.
Menurutnya, riset tersebut tidak memiliki landasan instrumen yang jelas dan tidak ilmiah sehingga tidak layak menjadi konsumsi publik. Dia mengajak masyarakat untuk tidak menjadikan survei tersebut sebagai pedoman.
Dalam surveinya, Setara Insitute mengatakan bahwa standar penetapan tingkat toleransi berdasarkan teori dari Brian J Grim dan Roger Finke (2006).
“Indonesia sebagai negara hukum tidak sepatutnya mendefinisikan toleransi menurut versi Barat. Wacana toleransi tersebut standarnya harus dirumuskan menjadi undang-undang sehingga penilaian derajat kota toleran berlandaskan hukum yang berlaku,” ungkap politisi Partai Demokrat ini.
“Di Banda Aceh sikap saling menghargai satu sama lain telah mengakar turun temurun dan hukum-hukum yang berlaku ialah representatif dari seluruh kemajemukan yang ada di Aceh,” ucapnya.
Sementara itu, Wali Kota Banda Aceh Aminullah Usman, mengatakan, mengaku tidak terima dengan hasil survei tersebut. Dia menilai survei yang dikeluarkan Setara Institute sangat merugikan Banda Aceh.
“Aceh ini nama saja sudah jelas. Aceh (akronim dari) Arab, China, Eropa dan Hindia. Dari nenek moyang sangat toleran di Kota Banda Aceh. Jangan sekarang, dari nenek moyang kita sangat toleran. Kalau tidak teoleran, banyak yang bukan agama Islam di sini tidak akan bisa hidup,” kata Aminullah.
Pemeritah Kota Banda Aceh, kata Aminullah, kerap menggelar pertemuan dengan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) untuk mempererat kerukunan. Selama ini juga belum pernah ada konflik antar umat beragama yang terjadi Kota Banda Aceh.
“Ada sesuatu hal di Banda Aceh bukan karena umat beragama, tapi antar pribadi. Di Banda Aceh tidak pernah kita dengar terjadi (masalah antar umat beragama). Maka saya protes berat yang dilakukan survei itu, karena itu adalah merugikan Kota Banda Aceh,” jelas Aminullah.
Fraksi PKS DPR Kota Banda Aceh juga melayangkan protes terhadap survei tersebut. Ketua Fraksi PKS DPRK Banda Aceh Irwansyah mempertanyakan indikator penilaiannya.
“Fraksi PKS mempertanyakan atas dasar apa kemudian Setara menuding Banda Aceh tidak toleran, padahal faktanya tidak demikian,” kata Irwansyah dalam keterangan tertulis, Senin (10/12).
Irwansyah meminta Setara Institute tidak asal menuding tanpa mengetahui fakta yang sebenarnya. Selain itu, dia juga mempertanyakan lokasi survei yang dilakukan Setara Institute.
“Yang menjadi pertanyaan kita, apakah mereka datang survei ke Banda Aceh? atau hanya dengar dari orang-orang, lalu membuat kesimpulan yang itu sangat bertentangan dengan fakta sebenarnya. Ini sebenarnya metode apa yang digunakan? atau jangan-jangan ini seperti ada rencana untuk mengkerdilkan pemberlakuan syariat Islam di Banda Aceh?” ungkapnya. detik