Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) kembali mengelar diskusi tematik. Kali ini membahas apa yang dialami warga Desa Sungai Iyu, Aceh Tamiang, Provinsi Aceh yang tergusur oleh perusahaan sawit, PT Rapala.
Diskusi ini berlangsung di Warkop Abu Master, Lambhuk, Kecamatan Ulee Kareng, Banda Aceh, Jumat (19/10/2018).
Pada diskusi tersebut turut dihadiri salah seorang warga Desa Sungai Iyu, Sri Hari Yati yang didampingi Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Mustiqal Syahputra.
Sri Hari Yati menyebutkan, saat ini warga di desanya kerap mendapat surat dari pihak perusahaan yang meminta warga setempat untuk segera meninggalkan desa mereka.
Padahal, menurut Sri, desa itu sudah mereka tempati sejak tahun 1953, jauh sebelum perusahaan PT Rapala membuka perkebunan di sana. Bahkan saat ini sebanyak 22 warga setempat yang sudah ditetapkan sebagai tersangka meski belum di tahan.
“Kami juga diminta untuk tinggalin desa, perusahaan akan menggantikan uang sewa rumah sebesar Rp.10 juta dan juga mencabut status ke 22 tersangka tersebut, tapi kami menolak,” kata Sri.
Sri mengaku, selama sengketa tanah terjadi. Bila ada warga yang meninggal dunia, mereka terpaksa harus menguburukan di desa tetangga. Karena pihak perusahaan tidak mengizinkan untuk menguburkan di desa Sungai Iyu yang mereka tempati saat ini.
Sementar itu, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh Mustiqal Syahputra, mengatakan, pihaknya akan terus mengawal kasus ini hingga selesai. Dan akan terus melengkapi berkas sebelum kasus ini dialihkan ke PTUN.
Mustiqal menambahkan, ke 22 tersangka ditetapkan dengan pasal 5 junto pasal 6 peraturan pemerintah pengganti undang-undang no 51 tahun 1960, tentang pemakain tanah tanpa ijin atau yang berhak.
“Kita akan terus kawal, kasus ini dan akan terus melakukan pendampingan kepada masyarakat,” pungkas Mustiqal.