Komisi I DPR Aceh menerima kunjungan Delegasi King Prajadhipok’s Institute-Thailand, dalam rangka membahas proses perdamaian Aceh, Senin (10/09).
Pertemuan tersebut dipimpin langsung oleh Ketua Komisi I DPR Aceh Azhari didampingi anggota komisi I yang jugaKetua Fraksi Partai Aceh DPR Aceh Iskandar Usman Alfarlaky.
Ketua DPR Aceh Muharuddin menyebutkan, Aceh mengalami konflik selama 30 tahun, terhitung sejak 1976 sampai dengan tahun 2005. Selama masa tersebut kata Muhar, telah terjadi beberapa tiga kali proses perdamaian dan terakhir pada tanggal 15 agustus 2005 yang menjadi tolak ukur Aceh sekarang dan selalu diperingati setiap tahun sebagai hari damai Aceh.
“Setelah terjadi proses perjanjian Helsinki, dibentuklah undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Dalam undang-undang tersebut, Aceh diberikan kewenangan untuk mengurus urusan pemerintahan disemua sektor publik kecuali urusan pemerintahan yang bersifat nasional, politik luar negeri, pertahanan, moneter dan fiskal, keamanan, yustisi dan urusan tertentu dalam agama,” ujar Muhar.
Selain itu lanjut Muharuddin, UUPA telah melahirkan beberapa produk hukum baru terkait pendapatan yang bersumber dari dana otonomi khusus yang bersumber dari APBN selama 20 tahun, yakni sebesar 2 % dari DAU Nasional dari tahun 2008 s/d 2022 dan 1 % dari tahun 2023 s/d 2028.
“Selanjutnya terdapat juga dana tambahan bagi hasil minyak dan gas bumi yaitu 55 % dari pertambangan minyak yang ada di aceh dan 40 % dari pertambangan gas bumi yang ada di Aceh,” lanjutnya lagi.
Kepada Delegasi dari Thailand, politisi Partai Aceh ini juga menyampaikan bahwa saat ini Aceh sudah sangat aman dan layak dikunjungi oleh para wisatawan dengan kuliner khas Aceh yang hampir sama dengan cita rasa rakyat Thailand.
“Kami berharap para delegasi yang hadir pada hari ini dapat melihat bagaimana aman, damai, indahnya alam Aceh dan enaknya kuliner Aceh, sehingga dapat diperkenalkan ketika kembali ke Thailand,” tambahnya lagi